Miris sekali hatiku melihat
keadaannya saat ini. Rambutnya kusut masai menutupi sebagian wajah tirus dengan
mata cekung yang redup. Ah Jelita, tidak seharusnya kau seperti ini … dulu kau
begitu cantik, dengan rambut panjang halus terurai, pipi bersemu kemerahan dan
bintang yang bersinar di matamu. Dulu kau bagai bunga mawar yang merekah segar.
Pesonamu memikat banyak kumbang … namun kau tidak membiarkan mereka lolos
begitu saja dari semak durimu.
Tidak sedikit orang yang iri padamu,
menganggap kau memagari tubuhmu dengan duri-duri karena kau begitu sombong akan
kecantikanmu. Mereka tidak tahu kalau di balik duri-durimu itu bukanlah
kecantikanmu yang kau lindungi, melainkan aku. Aku yang rapuh serupa daun kering
… namun kau perlakukan seperti permata yang paling berharga.
Itulah nama yang kau pilih untukku,
Permata. Hampir semua orang tertawa mengejek saat tahu itu namaku. Nama itu
tidak layak untuk seorang anak kurus kerempeng, berkulit cokelat kelam dan
rutin sebulan sekali berobat ke puskesmas. Hanya di sampingmu aku merasa cantik
dan berharga.
“Tersenyumlah, Permata …” itu yang
selalu kau ucapkan setiap pagi. “Senyum adalah kunci keindahan seorang wanita.”
Kenapa kini kau begitu murung,
Jelita? Tersenyumlah.
Aku baru menyadari secarik kertas
yang ada di pangkuannya. Sebuah poster yang warnanya mulai pudar, tapi masih
bisa kukenali tulisan dan gambarnya. Hatiku semakin miris …
“Klub Bintang Kejora Mempersembahkan … Jelita sang
Primadona!”
Di bawahnya terdapat foto sang
Primadona. Bintang di matanya bersinar terang menyilaukan, kedua tangannya
terentang ke atas bagai sang juara, bibir merahnya yang semanis madu mengembang
dalam seulas senyuman jumawa, wajahnya begitu ayu dan sangat serasi dengan gaun
mewah yang ia kenakan … Jelita sang Primadona.
Kau menoleh, matamu beradu pandang
denganku. Tidak ada bintang yang bersinar di sana. Tapi aku tahu bintang di
matamu hanya tertutup awan, tidak lenyap. Bintang di galaksi mungkin punya
batas usia, sebelum mereka hancur jadi debu yang beterbangan di ruang hampa
udara … tapi tidak dengan bintang di matamu, Jelita.
Aku akan terus berusaha menyingkirkan
awan di kedua mata itu. Di mata kanannya terdapat awan putih tipis bernama
katarak yang rencananya akan dioperasi. Tapi aku tahu, aku bisa mendahului
operasi dalam mengembalikan sinarnya.
Kalau orang lain menganggap Jelita
tidak bisa bersinar tanpa Klub Bintang Kejora yang sudah habis dibakar massa lima
tahun lalu, mereka salah besar. Jelita punya sinarnya sendiri. Akan aku buat
Jelita kembali bersinar sendiri. Seperti sepuluh tahun yang lalu …
Sepuluh tahun yang lalu, ketika itu
aku sedang mengerjakan setumpuk PR yang harus kukerjakan untuk mengejar
ketinggalan – lagi-lagi aku harus absen seminggu karena sakit. Suara gemericik
air dari MCK sebelah berhenti, disusul suara pintu berderit membuka dan gumaman
Jelita yang menyenandungkan lagu ‘Sirih Kuning’, kemarin ia membantuku belajar
lagu itu untuk pelajaran kesenian.
Pintu depan membuka dan aku langsung
menyimpan PR-ku. Aku tidak ingin melewatkan ritual yang sudah kulihat entah
sudah keberapa ratus kalinya, tapi tetap saja tidak membosankan. Perlahan, aku
menyibak sedikit gorden yang memisahkan ruang tidur dan ruang depan. Jeliat
membuka tas berisi kosmetik, menegakkan kaca dan menatap bayangannya di cermin.
Ia tersenyum pada bayangannya sendiri.
Ia selalu memulai ritual beriasnya
dengan senyuman, mengenakan kunci keindahan setiap wanita seperti katanya. Tidak
heran orang memanggilnya Jelita, siapa yang tidak terpesona melihat senyuman
seindah itu? Terutama bintang yang selalu berbinar di kedua matanya setiap kali
ia tersenyum. Bintang yang memiliki kekuatan seperti lubang hitam di luar
angkasa, menarik benda-benda di sekitarnya.
Aku sudah hafal urutan ritualnya,
dimulai dengan susu pembersih. Perlahan-lahan diusapkan ke pipi, kening dan
dagu dengan kapas. Menurutku, Jelita sudah cukup cantik hanya dengan susu
pembersih itu. Ia tidak perlu bedak, lipstik, pinsil alis atau kosmetik
lainnya. Aku paling suka melihatnya setelah mencuci muka dan mengenakan susu
pembersih, seperti saat ia membangunkanku setiap pagi.
Ia selalu bangun lebih awal dariku.
Kemudian setelah mandi dan membersihkan wajah, ia membangunkanku, mengantarku
ke MCK untuk mandi, mendandaniku, dengan bedak bayi dan minyak telon, sebelum
kemudian mengantarku ke sekolah. Di jalan menuju gang depan rumah kami, aku
menyadari beberapa mata yang menatap Jelita dengan hina dari ujung rambut
hingga ujung kaki … kemudian bertambah jijik saat melihatku. Jelita tidak
perduli, dengan dagu tegak ia berjalan penuh percaya diri, menggandeng tanganku
erat-erat dan kadang menarikku pelan kalau aku mulai bersembunyi di belakang
punggungnya.
“Jangan bersembunyi begitu, Permata
…” ujar Jelita. “Biar semua orang melihat keindahan perhiasanku yang satu ini!”
Melihat bayanganku di etalase toko
yang masih tutup saat kami lewati, terkadang aku minder. Jelita dengan segala
pesonanya dan aku yang tampak bagai itik buruk rupa.
“Kamu adalah perhiasanku yang paling
indah!” Jelita menatap mataku dalam-dalam. “Karena kamu adalah bukti kalau aku
masih memiliki cinta di hidupku.”
Akal anak kecilku tidak bisa mencerna
apa arti kata-kata Jelita saat itu. Tapi satu hal yang aku yakini, Jelita
mencintaiku dan ia adalah sosok yang paling sempurna di mataku. Ketika wanita
yang pernah kupanggil ‘Ibu’ meninggalkan rumah dan tidak kembali lagi, kukira
ia akan langsung membawaku ke panti asuhan seperti yang dikatakan
teman-temanku. Apalagi sebelum pergi, ‘Ibu’ sempat berkata kalau aku adalah
kesalahan, tidak seharusnya aku lahir dan ia tidak mau melihat wajahku lagi.
Namun Jelita berkata padaku kalau ia
tidak perduli kalau ada berkompi-kompi serdadu yang menyerang rumah ini, ia
tidak akan pernah menyerahkanku pada siapapun. Jelas, aku jauh lebih
mempercayai Jelita ketimbang sekelompok anak-anak yang bahkan sering berbohong
untuk hal-hal kecil seperti tugas piket di sekolah. Jelita tidak pernah
berbohong padaku.
Setiap kali hendak melepasku di
gerbang sekolah, kurasakan genggaman tangan Jelita semakin erat. Jelita tahu,
gedung bercat warna-warni dengan anak-anak yang bermain dengan riang di
lapangan itu hampir sama menegangkannya dengan hutan rimba yang dipenuhi
pemangsa. Jelita pernah mengalami penindasan kejam yang membuatnya pernah
mencoba bunuh diri di sekolah dulu, sampai sekarang bekas luka di pergelangan
tangan kirinya masih tampak samar-samar kalau diperhatikan dengan seksama.
“Baik-baik di sekolah, Permata …”
Jelita memelukku erat-erat, aku menghirup dalam-dalam wangi tubuhnya. “Sampai
nanti jam 1 siang.”
Kemudian ia membungkuk, menunjuk
pipinya agar kucium. Aku mencium kedua pipinya masing-masing sekali, kadang dua
kali. Teman-teman yang melihat meneriaki dan mengejekku, tapi aku tidak
perduli. Aku tidak malu mencium Jelita di depan umum, walau mereka menganggap
kelakuanku itu ‘seperti anak kecil’. Kalau syarat ‘menjadi remaja’ menurut
mereka adalah tidak boleh mencium pipi keluarga di depan umum tapi harus
mencium bibir cowok asing secara sembunyi-sembunyi di belakang sekolah, aku
memilih tetap menjadi anak kecil.
Ketika aku pulang, Jelita sudah
mempersiapkan makan siang untukku. Seperti sudah dikomando, perutku langsung
berbunyi. Di sekolah, aku jarang merasa lapar dan paling hanya membeli minum di
jam istirahat siang. Gara-gara ini juga guru di sekolah sempat menyangka aku
kena gangguan perilaku makan dan memanggil Jelita ke sekolah untuk bicara 4
mata. Jelita tertawa mendengar prasangka guru-guruku itu. Ia yang tahu kalau di
rumah aku menyantap habis semua makanan yang ia sajikan.
“Jangan dihiraukan!” kata Jelita.
“Mereka tidak mengenal kita sama sekali. Tidak ada yang lebih mengenal aku
ketimbang kamu, dan begitu juga sebaliknya!”
Jelita benar seratus persen soal itu.
Hanya Jelita yang benar-benar mengenalku luar dalam. Walaupun secara fisik aku
dan Jelita bagai bumi dan langit, tapi entah kenapa aku merasa aku jauh lebih
mirip dengan Jelita ketimbang Ibu kandungku. Ketika Ibu kandungku pergi, aku
sama sekali tidak merasa kehilangan. Di lain pihak, ketika Jelita terlambat
pulang setengah jam saja, aku pasti sudah tidak bisa tidur dan menunggu di
kamar depan sampai mendengar langkah kaki Jelita mendekati rumah.
“Maaf terlambat, Permata …” Jelita
akan menggendongku dan memelukku erat. “Tadi ada sedikit gangguan di jalan,
tapi sudah tidak apa-apa sekarang.”
Aku memeluk Jelita semakin erat. Aku
tahu gangguan apa yang ia maksud. Pasti deretan laki-laki yang terpesona dengan
Jelita dan menginginkan Jelita menjadi milik mereka. Aku tidak mau membagi
Jelita dengan siapapun. Persetan walau laki-laki itu berkata mau menerimaku
sekalian. Aku tidak mau ada orang lain di antara aku dan Jelita.
Pernah sekali hal itu terjadi,
seorang lelaki yang datang hanya untuk menghisap madu Jelita kemudian pergi.
Lelaki itu tidak ketahuan jejaknya, setelah menguras hampir separuh tabungan
Jelita yang ia siapkan untuk membayar biaya ujian nasionalku. Jelita sempat
layu, namun ia bukan tipe orang yang hanya duduk menangis dan mengasihani diri.
Dengan cepat ia bangkit, mencari pinjaman kesana-kemari sampai biaya ujianku
tercukupi.
“Jelita, kamu luar biasa!” kata salah
seorang temannya yang tahu kejadian itu.
“Ini semua karena Permata!” kata
Jelita tersenyum bahagia. “Ia adalah rantingku. Tidak perduli seberapa layunya
aku, aku pasti akan bangkit kembali selama masih ada Permata.”
Kejadian itu baru sebulan yang lalu,
tapi melihat betapa segarnya Jelita seakan-akan kejadian itu sudah berlangsung
berpuluh-puluh tahun lalu. Ah, ia sudah selesai berdandan. Kini di hadapanku
berdiri sosok Jelita sang primadona Klub Bintang Kejora, glamor dan mempersona.
Jelita melangkah keluar dari rumah dan mengunci pintu. Mataku menangkap benda
mungil di atas meja makan tempat Jelita berias tadi. Aku mendekati meja makan
dan melihat benda itu. Sebuah kartu tanda pengenal.
Bram – Klub Bintang Kejora
Aku meraih kartu itu, tergesa membuka
kunci dan berlari mengejarnya.
“Bapaakk!!” teriakku.
Sosok bergaun indah itu berbalik,
langkahnya tergesa mendekati rumah. “Permata, jangan keluar rumah sendiri, nduk! Bahaya! Kenapa? Kamu sakit?”
“Kartu Bapak ketinggalan, nanti Bapak
tidak bisa masuk kerja …” kataku memberikan kartu itu padanya.
“Aduh, nduk … terimakasih ya! Tapi habis ini kamu jangan keluar-keluar
rumah ya. Bahaya, ini sudah malam. Ayo masuk rumah …” Jelita membimbingku masuk
lagi ke dalam rumah dan menyuruhku segera mengunci pintu. Ia tidak beranjak
sampai ia yakin aku sudah mengunci pintu dan masuk lagi ke dalam kamar.
Aku naik ke atas tempat tidur,
memejamkan mata dan mencoba tidur. Bersabar menunggu esok pagi, dimana aku bisa
melihat binar cahaya Jelita yang asli.
Aku membimbing Jelita turun ke tempat
tidur, ke meja rias kecil yang ada di sudut kamar. Jelita tidak berkata apa-apa.
Semenjak serangan stroke yang ia
alami, ia menjadi jarang bicara. Hanya sesekali saja ia memanggilku dengan
suara pelat. Ia juga jadi jarang tersenyum, sebagian karena sisi kiri wajahnya
lumpuh dan kalaupun sedang begitu aku tidak bisa melihat binar bintang di
matanya.
Tapi aku adalah ranting bagi Jelita.
Aku tidak akan membiarkannya layu berlama-lama.
Aku mendudukannya di atas meja,
mengambil sisir dan menyisiri rambut panjangnya. Aku mengepang rambut
panjangnya ke belakang punggung, sekarang ia tampak lebih segar dan wajahnya
pun lebih jelas terlihat. Aku mengambil susu pembersih, menuangnya di atas
kapas dan mulai mengusap wajah yang sudah mulai kisut itu. Perlahan-lahan kabut
yang menyelimutinya mulai terhapus. Kedua pipi yang tirus itu seolah mulai
bersemu merah muda lagi dan keriput-keriput di wajahnya terasa memudar.
“Lihat, Bapak …” aku menempelkan
pipiku ke pipinya, menatap ke arah cermin dengan haru. “Itu cahaya aslinya Jelita.
Cantik sekali, Pak … paling cantik diantara yang cantik …”
Dua bulir air mata turun menelusuri
pipi tirus itu. Tangan kanannya yang masih kuat bergerak, membelai-belai
pipiku.
“Permataku.” Ujarnya dengan suara
yang pelat, tapi sarat dengan kasih sayang. “Rantingku.”
Aku memeluk bahu kurusnya dan mencium
pipinya. Pandangan mataku sendiri sudah kabur oleh air mata, tapi aku masih
bisa melihat dengan jelas kelip bintang di mata Jelita. Bersinar jauh lebih
terang dari yang sudah-sudah.
No comments:
Post a Comment