Sunday, August 29, 2010

The Call

Dia baru pulang dan ketakutan ketika mendengar telepon itu berdering. Gadis yang masih mengenakan seragam putih merah itu gemetar. Kaki kurusnya seolah tidak sanggup menopang tubuhnya yang mungil. Ia meraih gagang telfon dan berbisik setenang mungkin. “Selamat siang, rumah keluarga-...”
“Joan?” suara wanita di sana memotong kata-katanya.
Joan mendeguk ludah. “Iya, Tante Erin.”
“Kenapa lama sekali sih? Sudah dari tadi Tante menelfon!” bentak Tante Erin di seberang sana.
“Maaf, Tante Erin ... tadi saya sedang membuat PR.” Jawab Joan.
“Ck! Alasan saja kamu! Mana Mbak Inem?”
“Sebentar, Tante Erin ...” Joan membawa telfon cordless itu ke ruang tengah, tempat para pembantu sedang menonton TV dengan suara pol. Jeritan seorang gadis yang sedang dijambak rambutnya sambil ditampari oleh seorang wanita berdandanan menor itu terdengar memenuhi ruangan, sementara para pembantu yang berjumlah tiga orang itu menatapi layar dengan tatapan haus.
“Mbak Inem, telfon dari Tante Erin...” kata Joan.
Mbak Inem yang berbadan subur itu melonjak bangkit dan menyambar telfon itu. Joan menundukkan kepalanya, tasnya terasa jauh lebih berat ketika ia menyeret langkahnya menjauh.
“DASAR ANAK JALANG! KELAKUANMU MACAM PELACUR!” teriak televisi itu dengan suara keras, disusul lebih banyak lagi bunyi tamparan yang menyerupai bunyi cemeti, bersahut-sahutan dengan lolongan minta ampun.
Joan merasa perutnya mulas. Ia berlari ke lantai 2, ke kamarnya, masuk ke dalam kamar mandi kamar dan mengunci pintunya.

Malamnya, Joan tidak bisa tidur. Rasa berdenyut di punggungnya akibat lima kali sabetan ikat pinggang sudah mereda sejak Mbok Isah mengolesinya dengan balsem. Kini punggungnya terasa panas terbakar, tapi lebih panas lagi perasaan di hati Joan. Ia bangkit dari tidurnya, berjalan ke arah lemari bukunya dan mengambil sesuatu dari balik kardus ensiklopedi. Sebuah boneka Barbie.
“Kamu memang wanita jalang. Kelakuanmu seperti pelacur.” Bisik Joan, mengambil sebuah cutter dan menggorok leher Barbie itu. “Mati kamu. Mati...”
“Kenapa kamu datang ke rumah? Gara-gara kamu Mami pergi dan tidak kembali. Aku mau Mamiku. Aku mau Mamiku. Pergi sana kamu ke neraka. Mati dan membusuk di sana selamanya. Kembalikan Mamiku. Mati kamu perempuan jalang. Mati.” Bisikan Joan semakin parau,rasa panas di dadanya menggelegak, ia merasakan rasa ekstasi yang begitu meluap-luap... enak sekali rasanya membaret-baret boneka seperti itu, apalagi ia membayangkan Tante Erin yang saat itu dalam genggamannya ... tergolek tanpa daya sementara ia dengan leluasa bisa menyiksanya. Gantian!
“Huhh ...” setengah jam kemudian Joan terduduk lelah. Boneka Barbie itu tetap tidak putus lehernya, tapi Joan merasa cukup puas telah menjambaki rambut pirangnya yang indah dan menyobek-nyobek baju glamornya.
Joan merasa lega ... dan ia ingin tidur lelap sampai besok pagi. Jam sudah menunjukkan pukul dua pagi, ia hanya punya waktu 4 jam lagi sebelum ia harus bangun ... mandi ... sarapan ... lalu sekolah ... PR-nya belum dikerjakan. Pasti besok ia kena marah ...
Joan menarik nafas tajam tiba-tiba, memeluk kedua lututnya. Ia teringat sesuatu... pada sepucuk surat yang sudah seminggu ia sembunyikan di dasar tasnya. Surat panggilan.
Bu Diah yang menulisnya sendiri. Ia marah karena memergoki Joan dan beberapa orang temannya kepergok men-download sebuah video di HP milik Joan. Padahal Joan tidak menonton video itu sama sekali. Teman-temannya yang berkata hendak meminjam HP Joan yang canggih. Melihat temannya tertawa cekikikan seru sambil sesekali menjerit ‘ih jorok’ Joan penasarn dan ingin ikut melihat, tapi salah seorang dari mereka menyikutnya keras. Sakit sekali karena sikutan itu tepat mengenai antara kedua dada Joan. Rasa itu kini menetap ... setelah kejadian itu terjadi.
Bu Diah tahu-tahu saja datang, merebut HP itu dan wajahnya berubah merah-ungu. “HP SIAPA INI?!” jeritnya. Takut-takut, Joan mengangkat tangan dan satu tamparan langsung mengenai samping tubuhnya. Ia diseret ke ruang KEPSEK untuk diadili. Sekolah pun memutuskan untuk memanggil kedua orangtua Joan. Bu Diah memberikan surat panggilan yang ditulisnya dalam waktu kurang dari lima menit.
“Saya mohon, Bu ... jangan panggil orangtua saya ...” rintih Joan. Tubuhnya gemetar membayangkan hukuman macam apa yang akan ia terima. Kemarin ia mendapat sabetan rotan di punggungnya karena Tante Erin menuduhnya diam-diam berpacaran. Luka-luka bekas ‘pelajaran untuk tidak bertingkah bagai pelacur’ itu masih ada sampai sekarang. Satu-satunya hal baik yang bisa Joan rasakan dari hukuman itu adalah ia bebas ikut pelajaran olah raga sampai waktu yang tidak ditentukan.
“Tidak bisa!” Bu Diah menggeleng, wajahnya angkuh. “Orangtua kamu harus tahu soal ini. Apa yang kamu lakukan itu sangat tidak bermoral! Melanggar norma suslia! Memalukan nama sekolah! Anak sekecil kamu sudah menonton video cabul ... ini harus dihentikan sebelum merusak anak-anak yang lain!”
Sia-sia Joan memohon dan meminta. Bu Diah bersikeras tetap memanggil orangtua Joan. Seminggu penuh Joan berdoa semoga Bu Diah lupa. Bu Diah itu ‘tua bangka pikun’, seperti kata teman-temannya. Karena itu siapa tahu saja Bu Diah lupa ... tapi ternyata tidak. Malah sejak 3 hari lalu Bu Diah megancam akan menelfon orangtua Joan sendiri kalau mereka tidak juga datang.
Joan gemetar hebat. Perutnya mual. Ia lari ke kamar mandi dan muntah-muntah. Setelah yang keluar dari perutnya hanya cairan pahit,tubuhnya terasa sangat lemas. Ia jatuh duduk di lantai kamar mandi, terisak-isak. “Indigo ...” bisiknya lirih. “Indigo, tolonglah aku ...”
“Sshh ... jangan takut, manis. Aku di sini ...” suara berat itu terdengar tepat di samping Joan. Joan bisa menghirup dalam-dalam wangi cengkeh yang kuat, wangi khas Indigo yang sudah sangat ia kenal. “Hei... jangan takut. Semua akan baik-baik saja. Aku janji.”
“No, it’s fucking not!” Joan menirukan kata-kata yang pernah ia dengar dari Tante Erin. “Besok mungkin Bu Diah akan benar-benar menelfon rumah, perempuan jalang itu akan memilih waktu dimana aku masih di sekolah dan ia yakin ada orang di rumah. Lalu apa yang bisa aku lakukan untuk mencegahnya? Hah? Enggak ada! Aku enggak tahu hukuman apa lagi yang akan aku terima ... mungkin oom-oom berbadan besar yang suka datang ke rumah membawa orang untuk dipukuli di gudang belakang rumah itu akan menyeretku ke sana, lalu aku akan dipukuli habis-habisan... dulu laki-laki berbadan tinggi itu saja jadi lemas seperti tikus mati... bagaimana aku? Satu injakan saja dari mereka dan aku akan mati! Aku akan mati kesakitan!”
“Manisku, semua itu tidak akan terjadi. Tidak kalau kamu menuruti apa yang akan aku katakan.” Joan merasakan tangan Indigo menyentuh rambutnya, membelainya penuh sayang. “Bu Diah tidak akan menelfon siapapun besok. Pak KEPSEK juga akan lebih sibuk dengan urusan lain.”
“Urusan apa?” potong Joan nyaris tak percaya.
“Sini, sini, aku bisikin ...” Indigo berbisik di telinga Joan.
Joan tertawa mengikik. “Indigo kamu pintar sekali!”
“Apapun untukmu, Joan-ku yang manis ...”

Satu hari berlalu, setiap telfon berdering Joan masih sering gemetar...
Dua hari berlalu, Joan masih agak tegang tapi sudah lebih mendingan ...
Tiga hari berlalu ...
Empat hari ...
Lima hari ...
Dan akhirnya satu minggu berlalu ... Joan mulai tidak lagi mendengar suara telfon itu. Ia sudah bisa tenang-tenang duduk di kamarnya membaca buku cerita atau menyayat-nyayat wajah boneka Barbie-nya. Tidak ada lagi yang perlu ia takuti.

(Tulisan di papan pengunguman sekolah)
Berita duka. Telah meninggal dunia Ibu Guru kita tercinta : IBU DIAH kemarin pukul 11.35 WIB. Hari ini kegiatan belajar/mengajar hanya sampai jam 10, setelah itu akan dilanjutkan dengan melayat ke rumah duka.

“Asik kan, Joan?” Indigo berkata sembari nyengir lebar ketika mereka berdua sedang menggambar bersama di lantai kamar Joan.
“Asik sekali Indigo! Asik sekali!” Joan mengangguk sambil tertawa senang. Tangannya yang menggenggam krayon semakin bersemangat mencoret-coret kertas gambarnya. Gambar stick figure, mengenakan rok yang berarti orang itu perempuan. Terbaring di lantai. Ada gelas pecah di sampingnya. Dari mulut gambar perempuan itu ada coretan-coretan warna hitam yang berbentuk seperti awan.
Kring ... kring ... kring ... terdengar suara telfon samar-samar dari lantai 1.
Joan menatap Indigo. Makhluk aneh berbadan pria tegap tapi berkepala kelinci itu balik menatapnya dengan jenaka, matanya dijulingkan dan bibirnya menggerak-gerakkan cangklong yang mengepulkan asap berbau tembakau.
Joan menirukan ekspresi mata juling Indigo, dan mereka berdua pun tertawa keras.
Sementara itu telfon masih terus berdering.
Tidak ada yang mau perduli.


This story is highly inspired by a short-movie ‘Doll’ by Mouly Surya. For anyone who is curious, the movie can be seen in youtube. Here’s the link: http://www.youtube.com/watch?v=7GqCVUZEnQs

The Choice is Yours ...

Gelap. Bau apak. Kepalaku pusing. Tiga hal itu yang mendominasi semua inderaku ketika aku mulai mengembalikan kesadaranku. Aku tersadar aku sedang berada di sebuah gudang tua. Kedua tanganku terikat di belakang punggung. Apa yang terjadi? Aku mencoba mengingat-ingat disela-sela denyutan nyeri yang terasa di kepalaku.

Ah iya ... aku mendadak terkekeh geli. Aku ingat, aku sedang melakukan ‘kop-dar’ dengan seorang temanku di dunia maya. Ia mengajakku ke sebuah kafe yang belum pernah kukunjungi sebelumnya. Tidak ada orangtua, jangan bilang-bilang Mama kamu ya ... itu katanya, aku ingin kita hanya berdua saja. Biar lebih romantis. Oke. Romantis. Lalu ... setelah itu aku minum ... atau makan sesuatu? Dan kemudian tahu-tahu saja aku sudah berada di sini.

“Sudah sadar, cantikku?”

Di depanku ada sepasang kaki. Aku tidak perlu mendongak untuk mengkonfirmasi siapa orang yang ada di hadapanku ini. Dia.

“Martin ...” gumamku. Kalau itu memang namamu! Aku melirik ke arah jendela, tubuhku gemetaran saat melihat langit yang gelap gulita. Sudah tengah malamkah ini? Sial. Sudah berapa lama aku pingsan?

“Loe itu cantik-cantik tapi tolol ya!” ia terkekeh. “Dan sekarang loe akan membayar mahal atas ketololan loe itu.”

“Martin, loe enggak perlu melakukan ini.” Kataku.

Jdaaakkk!! Kakinya menendang perutku.

Shit. Tendangan tadi keras juga. Punggungku ikut terasa nyeri karena tubuhku terpental dan menabrak dinding di belakangku. Martin kemudian berjongkok di depanku, tangannya menjambak rambutku dan memaksaku mendongak menatap wajahnya.

“Itu adalah apa yang akan loe terima kalau loe bicara tanpa ijin gue.” Desisnya. Matanya menyala-nyala liar. “Di sini, gue yang menentukan semuanya, termasuk apa loe masih boleh hidup atau tidak. Oke?!!”

Orang ini sakit jiwa, pikirku. Yeah, obviously ... apa sih yang aku harapkan dari seseorang yang begitu banyak mengumbar kata-kata manis penuh rayuan, mulai dari yang wajar sampai yang begitu intim, di setiap pertemuan di dunia maya? Aku ingat kata-katanya kemarin, ketika aku curhat soal Mama yang sepertinya tidak mengertiku sama sekali.

“Suatu saat nanti gue akan membawa loe pergi dari dunia loe yang menyebalkan itu. Percayalah sama gue, sayang ... gue bakal menjauhkan loe dari semua hal-hal brengsek di sekitar loe. Gue akan membawa loe ke suatu dunia yang enggak pernah loe bayangin sebelumnya, dimana hanya ada gue dan elo. Loe hanya butuh gue, sayang ... percaya sama gue, loe enggak butuh orang lain.”

“Elo itu milik gue. Gue harap loe tau itu. Gue enggak suka melihat comment orang lain di account facebook loe. Apalagi ngeliat foto loe sama orang lain. Semua itu menyakiti gue, tau! Gue cuma mau loe itu milik gue seorang. Enggak ada urusan lagi sama orang lain.”

Dan kenapa aku masih mau kop-dar dengannya ya? Hahahaha ...

“LOE DENGER APA ENGGAK?!! Jawab gue, sialan!!” Martin berteriak lagi, sekali ini tangannya bergerak menampar wajahku.

“Loe masih punya kesempatan untuk melepaskan gue. Gue enggak akan bilang ke siapa-siapa.” Kataku setelah meludahkan darah yang mengucur keluar dari mulut. “Gue janji.”

“Diam!!” tangannya bergerak lagi meninju wajahku sampai aku terpelanting ke belakang. “Diam!! Diam!! Diam!!” ia terus berteriak, menendang dan menginjak-injakku. Tubuhku tersentak beberapa kali terkena serangannya. Nafasku terkesiap beberapa kali ketika kakinya menendang perutku. Setelah ia lelah, ia berbalik dan sambil berteriak keras melemparkan sebuah kursi ke dinding.

Hening. Hanya terdengar deru nafasnya yang liar. “Gue akan membiarkan loe di sana sementara waktu dan ketika gue kembali, gue harap loe bakal bersikap lebih kooperatif ... kalau loe masih menolak ... gue bakal liat berapa lama loe bisa bertahan ... sial ... kenapa cewek-cewek brengsek itu keras kepala banget sih? Mereka kira diri mereka itu siapa? Gue tuan mereka. Mereka harus nurut sama gue.”

Aku melirik ke jendela. Perlahan-lahan awan gelap mulai bergerak ditiup angin malam. Bayangan bulan purnama mulai nampak.

“Ini udah yang ke ... ke berapa ya? Hahahahaha ... gue bahkan enggak mau ngitung berapa banyak cewek-cewek brengsek yang pernah gue ... hahahahaha ... maka, bekerjasamalah, manisku ... loe tentu enggak mau masuk daftar orang hilang untuk selamanya, kan? Maka saat gue kembali nanti, gue harap loe udah jadi budak gue yang baik ...”

Tubuhku gemetaran hebat. Aku menyeringai. “Tentu saja, sayang. Tapi sebelumnya ...”

Dalam satu sentakkan aku melepaskan pengikat yang mengikat pergelangan tanganku. Aku melompat dan berdiri tegak di hadapan Martin sambil meraung keras. Aku menyaksikan wajah Martin yang tadinya dipenuhi amarah liar, berubah pucat pasi ketika aku berubah dari sosok gadis ringkih berpakain sobek-sobek menjadi makhluk raksasa yang tingginya nyaris menyentuh langit-langit. Kesepuluh jemariku melengkung, menunjukkan cakar-cakar setajam pisau yang panjangnya nyaris mencapai 10 sentimeter. Dari mulut yang lebih tepat kusebut moncong, aku mengeluarkan raungan liar yang menggetarkan seisi ruangan.

“Aaaaaaa!!!” ia berteriak sambil melemparkan sebuah bangku, dengan mudah aku menepisnya seakan-akan bangku itu terbuat dari styrofoam. Ia mencoba memukulku dengan batangan besi. Menikamku dengan potongan kayu berujung tajam. Semuanya sia-sia. Aku melompat maju dan menepiskan tubuhnya dalam satu hantaman. Ia menabrak dinding gudang dan sebelum ia mencoba berdiri, aku mencengkeram lehernya dengan sebelah tangan dan mengangkat tubuhnya. Kakinya menendang-nendang.

“Aku tidak akan menyia-nyiakan tenagaku kalau aku jadi kamu ...” geramku sambil menunjukkan sederetan gigi-gigi tajam.

“Inilah masalahku yang sebenarnya, sayangku!” aku terbahak. “Mamaku tidak suka dengan hobiku ini... ia takut kalau aku akan membuka rahasia klan kami suatu hari nanti... hahaha ... ia tidak merasakan nikmatnya melihat bagaimana si pemburu menjadi yang diburu dalam hitungan detik. “ aku menatap tajam ke wajah Martin. Ahh ... itu dia ... lihat aku dengan matamu yang penuh ketakutan itu. Sadarlah: aku yang berkuasa di sini sekarang. Aku mengalahkanmu! Ha-ha! Beat you to it!

Aku menjatuhkan tubuhnya ke lantai. “Tadi gue sudah ngasih loe pilihan kan? Loe bisa aja melepaskan gue. Gue udah tau kalau loe yang menguasai keadaani. Cukup itu aja kan sebenarnya eh? Loe udah merasa berkuasa tadi. Tapi enggak ... loe terlalu rakus dan rakus itu adalah hal yang membahayakan diri loe sendiri.”

Aku terkekeh melihatnya merayap di lantai menjauhiku. Tangannya mencakar-cakar lantai kayu, menuju pintu. “Sekarang gue bakal ngasih loe kesempatan kedua.” Geramku. “Pilihannya ada di tangan loe. Baik sekali ya, gue ini ... enggak semua orang mau ngasih kesempatan kedua ...”

Ia membuka pintu dan berlari keluar sambil berteriak-teriak keras. “Tolong! Tolong aku!!”

Aku tertawa keras. Sepertinya ia sudah lupa alasannya memilih tempat ini untuk menculikku. Mau berteriak sekeras apapun, tidak akan ada yang mendengar. Tidak ada yang akan datang untuk menolong.

“Tu-wa-ga-pat-ma-nam-ju-pan-lan-luh!” gumamku pada diri sendiri, lalu mengambil ancang-ancang menerjang keluar dari sana. “READY OR NOT, HERE I COME!!!”