Wednesday, November 21, 2012

Satu Jam Saja

Aku menatap wajah ayumu. Matamu terpejam, bibir mungilmu yang mengatup mulai membiru, menandakan kalau waktuku tidak banyak. Kita hanya punya waktu satu jam, sayang ... dimulai dari sekarang. Jam sudah dihitung mundur, detik demi detik menguap di udara tanpa sanggup kucegah. Dalam pelukanku, kamu tertidur pulas tanpa menyadari kalau angkot yang membawa kita melewati jalan terjal yang semakin sulit untuk diarungi karena hujan lebat di luar sana. Di dalam angkot ini masih tersisa empat orang. Aku, kamu dan dua orang ibu-ibu. 

Mereka menatap aku dan kamu bergantian. Sorot mata mereka berubah-ubah, sebentar penuh belas kasihan ke arahmu kemudian penuh kutukan ke arahku. Biasanya aku akan memelototi mereka, mata merahku akan menyiratkan perintah untuk mengurusi urusan mereka dan jika tetap tidak dihiraukan, maka terpaksa kusuratkan isyarat itu melalui bentakan dan kata-kata kasar. Tapi kali ini tidak. Aku ingin memuaskan mataku menatap wajah cantikmu yang ada dalam dekapanku, berbisik penuh sayang di telingamu agar kamu tahu betapa aku mencintaimu.

Kita hanya punya waktu satu jam untuk bersama. Sekarang sudah berkurang lagi menjadi empat puluh lima menit. Kalau perkiraanku tepat, empat puluh lima menit lagi kita akan sampai ke tujuan. Ke tempat yang kuibaratkan sebagai pelabuhan dan kamu adalah nahkoda atas perahu kehidupanmu. Aku tidak berhak ikut karena orang yang wajahnya pasti sudah dipajang di dinding pos polisi bagian 'D.P.O' hanya akan menambah sulit perjalananmu.

Cukuplah badai dari luar yang akan menantang langkahmu, sayang ... jangan ada badai dari dalam juga.

Andai saja bisa kumanipulasi waktu semudah aku memanipulasi orang-orang dengan alasan bertahan hidup, aku akan meminta waktu berhenti di sini. Jangan berjalan lagi. Biarlah sisa empat puluh lima menit - ah sekarang sudah tinggal empat puluh empat menit! - tidak habis. Aku tidak ingin meminta terlalu banyak. Tidak ke masa remaja dimana kemarahanku mulai menggelegak seperti lava yang perlahan-lahan merembes naik ke permukaan bumi, sebelum kemudian meledak dan menghancurkan setiap makhluk hidup maupun mati di sekitarnya. 

Aku tidak mau kembali ke masa itu karena aku tahu tidak akan ada yang bisa diperbaiki. Aku harus tetap keluar dari rumah sejak orang-orang berseragam cokelat itu menyeret laki-laki itu keluar dan aku diseret oleh seorang perempuan bersergam sama keluar dari rumah, agar tidak lagi menyentuh pergelangan tangan ibuku sudah tak berdenyut. Aku harus tetap melarikan diri agar tidak masuk ke mulut harimau, padahal aku baru saja lepas dari mulut buaya. Aku harus tetap belajar melumpuhkan nurani karena nurani tidak bisa ditukar dengan perlengkapan untuk memperpanjang hidup. Tidak di kota bernama Jakarta yang serupa rimba beton penuh predator yang tidak hanya membunuh demi makan, tapi juga demi kesenangan. Aku harus tetap mengintimidasi, mencabik, mengerkah dan merampas atau kalau tidak maka imbuhan 'me' akan berubah menjadi 'di'.

Aku juga tidak akan memutar balik waktu agar kamu tidak pernah ada di hidupku, sayangku. Sepanjang hidupku, aku telah membuat kesalahan. Bahkan kelahiranku pun adalah kesalahan. Itu yang terus dikatakan oleh lelaki yang gemar menghantam tubuhku dan belum puas sebelum aku berlumur lebam dan darah. Itu juga yang dikatakan oleh ibu, walau ia mengatakannya sambil mencuci darahku yang bercampur dengan darahnya. Aku lahir dengan kesalahan. Setiap tindakan dan kata-kataku adalah kesalahan. Aku adalah kesalahan.

Lalu kamu datang dalam hidupku. Kamu bidadari yang turun dari khayangan, untuk pertama kali dalam hidupku aku tidak lagi membuat kesalahan. Aku sudah melakukan hal yang tepat ketika aku merengkuhmu dalam dekapanku dan membawamu pergi bersamaku. Kini kamu ada di sini, bersamaku. Tidak bisa aku ungkapkan perasaan bahagia yang ada dalam hatiku, sayangku. Kuucap nama-Nya seolah baru pertama kali aku menyebut. Kuhaturkan syukur pada-Nya atas dirimu.

Andai bisa kubalas kebaikan-Nya, aku rela menjual jiwaku karena sampai sekarang aku tidak tahu apa gunanya jiwa itu masih bercokol dalam ragaku. Sudah kutenggak racun hitam dalam bentuk gas, padat maupun cair, tapi tetap saja jiwa itu masih dengan keras kepalanya melekat. Setiap malam aku menjual jiwaku, menawarkannya pada setiap setan yang lewat, tapi tetap saja tidak ada yang mau. Apa jiwaku seburuk itu sampai setanpun tidak mau? Kalau begitu apa Ia mau membelinya?

Ah, omong apa aku ini. Ia bukanlah pedagang yang bermain jual beli. Bila kuberi sekian maka ia akan memberiku sekian. Tidak. Ia adalah ... 

Aku sudah tidak ingat lagi apa saja perumpamaan tentang diri-Nya yang diciptakan manusia untuk bisa memahami-Nya. Sebagian otakku sudah mati. 

Sayangku, tiga puluh menit sudah berlalu. Lima belas menit sisa waktu kita. Angkot yang membawa kita sudah menderu pergi setelah menurunkan kita di pinggir jalan. Ia melesat bagai kesetanan, seakan masih mengejar setoran. Padahal sekarang sudah jam sebelas malam. Mungkin ia sudah tidak sabar cepat-cepat menepi ke pangkalan dan mencuci seisi angkot luar dalam dengan air kembang. Lihat sayangku, bahkan di mata orang yang tidak kukenal pun mereka sudah tahu aku ini kesalahan. 

Aku menggendong tubuh mungilmu. Matamu membuka, menatapku. Menatap setiap rajahan yang ada di tubuhku yang tak berbaju. Andai saja masih ada waktu, aku akan menerangkan apa cerita di setiap rajahan itu. Tapi kali ini, cukuplah kamu tahu satu. Gambar malaikat dengan tulisan namamu di bawahnya : Liana. 

"Kamu lihat ini sayang? Ini aku buat untuk kamu ..." bisikku. Dua bulir air mata meluncur turun dari pipiku, ke pipimu. Kuhapus air mata itu tanpa bicara karena tenggorokanku seperti sedang dicekik orang. 

Lima, empat, tiga, dua, satu. Waktu kita sudah habis sayang. Harus kuucapkan selamat berpisah padamu sekarang. Kutatap rumah megah di hadapanku. Inilah pelabuhan tempat aku akan melepasmu sayang. Maaf tidak ada letusan senjata atau deru marching band bisa kusiapkan untukmu. Aku hanya bisa mengantar kepergianmu dengan doaku. Semoga jalan hidupmu tidak sedikitpun sama denganku. Bila harus kubayar semua kesalahanku dengan kematian di ujung belati atau timah panas, aku rela. Asal tidak dengan satu saja goresan di lahir ataupun batinmu. 

Aku melangkah gontai. Meninggalkanmu yang mulai menangis, berteriak-teriak membelah kesunyian malam. Aku bersembunyi di balik bayangan gelap malam. Seorang wanita berdaster bunga-bunga keluar dari rumah, bibirnya meneriakan nama-Nya saat melihatmu. Ia mengangkat tubuh mungilmu dan mengambil kertas yang kuselipkan di balik bebatan kain batik yang membungkus tubuhmu. Ia membaca tulisan di sana tanpa bicara, tapi aku masih hafal sekali apa isi tulisan itu. 

Tolong rawat bayi ini baik-baik, namanya Liana. 
Ibunya sudah meninggal dunia saat melahirkannya.
Ayahnya seorang preman yang mungkin sebentar lagi mati atau dipenjara.
Beritahu Liana bila ia sudah cukup besar untuk mengerti,
Bahwa tidak pernah sekalipun kami ingin menyingkirkannya,
Kami berdua sangat mencintainya

Ayah Liana

Thursday, August 23, 2012

Bintang di Mata Jelita


Miris sekali hatiku melihat keadaannya saat ini. Rambutnya kusut masai menutupi sebagian wajah tirus dengan mata cekung yang redup. Ah Jelita, tidak seharusnya kau seperti ini … dulu kau begitu cantik, dengan rambut panjang halus terurai, pipi bersemu kemerahan dan bintang yang bersinar di matamu. Dulu kau bagai bunga mawar yang merekah segar. Pesonamu memikat banyak kumbang … namun kau tidak membiarkan mereka lolos begitu saja dari semak durimu. 
Tidak sedikit orang yang iri padamu, menganggap kau memagari tubuhmu dengan duri-duri karena kau begitu sombong akan kecantikanmu. Mereka tidak tahu kalau di balik duri-durimu itu bukanlah kecantikanmu yang kau lindungi, melainkan aku. Aku yang rapuh serupa daun kering … namun kau perlakukan seperti permata yang paling berharga.
Itulah nama yang kau pilih untukku, Permata. Hampir semua orang tertawa mengejek saat tahu itu namaku. Nama itu tidak layak untuk seorang anak kurus kerempeng, berkulit cokelat kelam dan rutin sebulan sekali berobat ke puskesmas. Hanya di sampingmu aku merasa cantik dan berharga.
“Tersenyumlah, Permata …” itu yang selalu kau ucapkan setiap pagi. “Senyum adalah kunci keindahan seorang wanita.”
Kenapa kini kau begitu murung, Jelita? Tersenyumlah.
Aku baru menyadari secarik kertas yang ada di pangkuannya. Sebuah poster yang warnanya mulai pudar, tapi masih bisa kukenali tulisan dan gambarnya. Hatiku semakin miris …
“Klub Bintang Kejora Mempersembahkan … Jelita sang Primadona!”
Di bawahnya terdapat foto sang Primadona. Bintang di matanya bersinar terang menyilaukan, kedua tangannya terentang ke atas bagai sang juara, bibir merahnya yang semanis madu mengembang dalam seulas senyuman jumawa, wajahnya begitu ayu dan sangat serasi dengan gaun mewah yang ia kenakan … Jelita sang Primadona.
Kau menoleh, matamu beradu pandang denganku. Tidak ada bintang yang bersinar di sana. Tapi aku tahu bintang di matamu hanya tertutup awan, tidak lenyap. Bintang di galaksi mungkin punya batas usia, sebelum mereka hancur jadi debu yang beterbangan di ruang hampa udara … tapi tidak dengan bintang di matamu, Jelita.
Aku akan terus berusaha menyingkirkan awan di kedua mata itu. Di mata kanannya terdapat awan putih tipis bernama katarak yang rencananya akan dioperasi. Tapi aku tahu, aku bisa mendahului operasi dalam mengembalikan sinarnya. 
Kalau orang lain menganggap Jelita tidak bisa bersinar tanpa Klub Bintang Kejora yang sudah habis dibakar massa lima tahun lalu, mereka salah besar. Jelita punya sinarnya sendiri. Akan aku buat Jelita kembali bersinar sendiri. Seperti sepuluh tahun yang lalu …

Sepuluh tahun yang lalu, ketika itu aku sedang mengerjakan setumpuk PR yang harus kukerjakan untuk mengejar ketinggalan – lagi-lagi aku harus absen seminggu karena sakit. Suara gemericik air dari MCK sebelah berhenti, disusul suara pintu berderit membuka dan gumaman Jelita yang menyenandungkan lagu ‘Sirih Kuning’, kemarin ia membantuku belajar lagu itu untuk pelajaran kesenian.
Pintu depan membuka dan aku langsung menyimpan PR-ku. Aku tidak ingin melewatkan ritual yang sudah kulihat entah sudah keberapa ratus kalinya, tapi tetap saja tidak membosankan. Perlahan, aku menyibak sedikit gorden yang memisahkan ruang tidur dan ruang depan. Jeliat membuka tas berisi kosmetik, menegakkan kaca dan menatap bayangannya di cermin. Ia tersenyum pada bayangannya sendiri.
Ia selalu memulai ritual beriasnya dengan senyuman, mengenakan kunci keindahan setiap wanita seperti katanya. Tidak heran orang memanggilnya Jelita, siapa yang tidak terpesona melihat senyuman seindah itu? Terutama bintang yang selalu berbinar di kedua matanya setiap kali ia tersenyum. Bintang yang memiliki kekuatan seperti lubang hitam di luar angkasa, menarik benda-benda di sekitarnya.
Aku sudah hafal urutan ritualnya, dimulai dengan susu pembersih. Perlahan-lahan diusapkan ke pipi, kening dan dagu dengan kapas. Menurutku, Jelita sudah cukup cantik hanya dengan susu pembersih itu. Ia tidak perlu bedak, lipstik, pinsil alis atau kosmetik lainnya. Aku paling suka melihatnya setelah mencuci muka dan mengenakan susu pembersih, seperti saat ia membangunkanku setiap pagi.
Ia selalu bangun lebih awal dariku. Kemudian setelah mandi dan membersihkan wajah, ia membangunkanku, mengantarku ke MCK untuk mandi, mendandaniku, dengan bedak bayi dan minyak telon, sebelum kemudian mengantarku ke sekolah. Di jalan menuju gang depan rumah kami, aku menyadari beberapa mata yang menatap Jelita dengan hina dari ujung rambut hingga ujung kaki … kemudian bertambah jijik saat melihatku. Jelita tidak perduli, dengan dagu tegak ia berjalan penuh percaya diri, menggandeng tanganku erat-erat dan kadang menarikku pelan kalau aku mulai bersembunyi di belakang punggungnya.
“Jangan bersembunyi begitu, Permata …” ujar Jelita. “Biar semua orang melihat keindahan perhiasanku yang satu ini!”
Melihat bayanganku di etalase toko yang masih tutup saat kami lewati, terkadang aku minder. Jelita dengan segala pesonanya dan aku yang tampak bagai itik buruk rupa.
“Kamu adalah perhiasanku yang paling indah!” Jelita menatap mataku dalam-dalam. “Karena kamu adalah bukti kalau aku masih memiliki cinta di hidupku.”
Akal anak kecilku tidak bisa mencerna apa arti kata-kata Jelita saat itu. Tapi satu hal yang aku yakini, Jelita mencintaiku dan ia adalah sosok yang paling sempurna di mataku. Ketika wanita yang pernah kupanggil ‘Ibu’ meninggalkan rumah dan tidak kembali lagi, kukira ia akan langsung membawaku ke panti asuhan seperti yang dikatakan teman-temanku. Apalagi sebelum pergi, ‘Ibu’ sempat berkata kalau aku adalah kesalahan, tidak seharusnya aku lahir dan ia tidak mau melihat wajahku lagi.
Namun Jelita berkata padaku kalau ia tidak perduli kalau ada berkompi-kompi serdadu yang menyerang rumah ini, ia tidak akan pernah menyerahkanku pada siapapun. Jelas, aku jauh lebih mempercayai Jelita ketimbang sekelompok anak-anak yang bahkan sering berbohong untuk hal-hal kecil seperti tugas piket di sekolah. Jelita tidak pernah berbohong padaku.
Setiap kali hendak melepasku di gerbang sekolah, kurasakan genggaman tangan Jelita semakin erat. Jelita tahu, gedung bercat warna-warni dengan anak-anak yang bermain dengan riang di lapangan itu hampir sama menegangkannya dengan hutan rimba yang dipenuhi pemangsa. Jelita pernah mengalami penindasan kejam yang membuatnya pernah mencoba bunuh diri di sekolah dulu, sampai sekarang bekas luka di pergelangan tangan kirinya masih tampak samar-samar kalau diperhatikan dengan seksama.
“Baik-baik di sekolah, Permata …” Jelita memelukku erat-erat, aku menghirup dalam-dalam wangi tubuhnya. “Sampai nanti jam 1 siang.”
Kemudian ia membungkuk, menunjuk pipinya agar kucium. Aku mencium kedua pipinya masing-masing sekali, kadang dua kali. Teman-teman yang melihat meneriaki dan mengejekku, tapi aku tidak perduli. Aku tidak malu mencium Jelita di depan umum, walau mereka menganggap kelakuanku itu ‘seperti anak kecil’. Kalau syarat ‘menjadi remaja’ menurut mereka adalah tidak boleh mencium pipi keluarga di depan umum tapi harus mencium bibir cowok asing secara sembunyi-sembunyi di belakang sekolah, aku memilih tetap menjadi anak kecil.
Ketika aku pulang, Jelita sudah mempersiapkan makan siang untukku. Seperti sudah dikomando, perutku langsung berbunyi. Di sekolah, aku jarang merasa lapar dan paling hanya membeli minum di jam istirahat siang. Gara-gara ini juga guru di sekolah sempat menyangka aku kena gangguan perilaku makan dan memanggil Jelita ke sekolah untuk bicara 4 mata. Jelita tertawa mendengar prasangka guru-guruku itu. Ia yang tahu kalau di rumah aku menyantap habis semua makanan yang ia sajikan.
“Jangan dihiraukan!” kata Jelita. “Mereka tidak mengenal kita sama sekali. Tidak ada yang lebih mengenal aku ketimbang kamu, dan begitu juga sebaliknya!”
Jelita benar seratus persen soal itu. Hanya Jelita yang benar-benar mengenalku luar dalam. Walaupun secara fisik aku dan Jelita bagai bumi dan langit, tapi entah kenapa aku merasa aku jauh lebih mirip dengan Jelita ketimbang Ibu kandungku. Ketika Ibu kandungku pergi, aku sama sekali tidak merasa kehilangan. Di lain pihak, ketika Jelita terlambat pulang setengah jam saja, aku pasti sudah tidak bisa tidur dan menunggu di kamar depan sampai mendengar langkah kaki Jelita mendekati rumah.
“Maaf terlambat, Permata …” Jelita akan menggendongku dan memelukku erat. “Tadi ada sedikit gangguan di jalan, tapi sudah tidak apa-apa sekarang.”
Aku memeluk Jelita semakin erat. Aku tahu gangguan apa yang ia maksud. Pasti deretan laki-laki yang terpesona dengan Jelita dan menginginkan Jelita menjadi milik mereka. Aku tidak mau membagi Jelita dengan siapapun. Persetan walau laki-laki itu berkata mau menerimaku sekalian. Aku tidak mau ada orang lain di antara aku dan Jelita.
Pernah sekali hal itu terjadi, seorang lelaki yang datang hanya untuk menghisap madu Jelita kemudian pergi. Lelaki itu tidak ketahuan jejaknya, setelah menguras hampir separuh tabungan Jelita yang ia siapkan untuk membayar biaya ujian nasionalku. Jelita sempat layu, namun ia bukan tipe orang yang hanya duduk menangis dan mengasihani diri. Dengan cepat ia bangkit, mencari pinjaman kesana-kemari sampai biaya ujianku tercukupi.
“Jelita, kamu luar biasa!” kata salah seorang temannya yang tahu kejadian itu.
“Ini semua karena Permata!” kata Jelita tersenyum bahagia. “Ia adalah rantingku. Tidak perduli seberapa layunya aku, aku pasti akan bangkit kembali selama masih ada Permata.”
Kejadian itu baru sebulan yang lalu, tapi melihat betapa segarnya Jelita seakan-akan kejadian itu sudah berlangsung berpuluh-puluh tahun lalu. Ah, ia sudah selesai berdandan. Kini di hadapanku berdiri sosok Jelita sang primadona Klub Bintang Kejora, glamor dan mempersona. Jelita melangkah keluar dari rumah dan mengunci pintu. Mataku menangkap benda mungil di atas meja makan tempat Jelita berias tadi. Aku mendekati meja makan dan melihat benda itu. Sebuah kartu tanda pengenal.
Bram – Klub Bintang Kejora
Aku meraih kartu itu, tergesa membuka kunci dan berlari mengejarnya.
“Bapaakk!!” teriakku.
Sosok bergaun indah itu berbalik, langkahnya tergesa mendekati rumah. “Permata, jangan keluar rumah sendiri, nduk! Bahaya! Kenapa? Kamu sakit?”
“Kartu Bapak ketinggalan, nanti Bapak tidak bisa masuk kerja …” kataku memberikan kartu itu padanya.
“Aduh, nduk … terimakasih ya! Tapi habis ini kamu jangan keluar-keluar rumah ya. Bahaya, ini sudah malam. Ayo masuk rumah …” Jelita membimbingku masuk lagi ke dalam rumah dan menyuruhku segera mengunci pintu. Ia tidak beranjak sampai ia yakin aku sudah mengunci pintu dan masuk lagi ke dalam kamar.
Aku naik ke atas tempat tidur, memejamkan mata dan mencoba tidur. Bersabar menunggu esok pagi, dimana aku bisa melihat binar cahaya Jelita yang asli.

Aku membimbing Jelita turun ke tempat tidur, ke meja rias kecil yang ada di sudut kamar. Jelita tidak berkata apa-apa. Semenjak serangan stroke yang ia alami, ia menjadi jarang bicara. Hanya sesekali saja ia memanggilku dengan suara pelat. Ia juga jadi jarang tersenyum, sebagian karena sisi kiri wajahnya lumpuh dan kalaupun sedang begitu aku tidak bisa melihat binar bintang di matanya.
Tapi aku adalah ranting bagi Jelita. Aku tidak akan membiarkannya layu berlama-lama.
Aku mendudukannya di atas meja, mengambil sisir dan menyisiri rambut panjangnya. Aku mengepang rambut panjangnya ke belakang punggung, sekarang ia tampak lebih segar dan wajahnya pun lebih jelas terlihat. Aku mengambil susu pembersih, menuangnya di atas kapas dan mulai mengusap wajah yang sudah mulai kisut itu. Perlahan-lahan kabut yang menyelimutinya mulai terhapus. Kedua pipi yang tirus itu seolah mulai bersemu merah muda lagi dan keriput-keriput di wajahnya terasa memudar.
“Lihat, Bapak …” aku menempelkan pipiku ke pipinya, menatap ke arah cermin dengan haru. “Itu cahaya aslinya Jelita. Cantik sekali, Pak … paling cantik diantara yang cantik …”
Dua bulir air mata turun menelusuri pipi tirus itu. Tangan kanannya yang masih kuat bergerak, membelai-belai pipiku.
“Permataku.” Ujarnya dengan suara yang pelat, tapi sarat dengan kasih sayang. “Rantingku.”
Aku memeluk bahu kurusnya dan mencium pipinya. Pandangan mataku sendiri sudah kabur oleh air mata, tapi aku masih bisa melihat dengan jelas kelip bintang di mata Jelita. Bersinar jauh lebih terang dari yang sudah-sudah. 

Saturday, July 28, 2012

Diary Anonim

*this story based on a true event, dengan nama, kejadian dan tempat yang sudah kuganti ;) 

Hari itu sesi jaga malamku di stase forensik lumayan sibuk. Aku baru saja menyelesaikan visum ketika HP-ku berbunyi. Ada pesan yang masuk di blackberry messenger, mengatakan ada pemeriksaan luar di ruang post mortem. Huff ... padahal saat meminta keterangan dari korban pemukulan yang adalah seorang anak perempuan berusia tiga belas tahun itu, aku sudah cukup memakan banyak energi. Cerita anak itu agak berbelit-belit dan beberapa kali ia bungkam. Aku membujuknya berkali-kali, memintanya untuk bercerita dan tidak usah takut, karena banyak orang yang melindunginya di sini. Akhirnya ia mau bercerita, kalau pacarnya lah yang memukulinya saat mereka bertengkar.

Miris sekali hatiku mendengarnya ... dia anak  perempuan yang masih berusia13 tahun ... aku ingat betapa insecure-nya aku dulu ketika seusianya. Apalagi pelakunya berusia 18 tahun, lebih tua, lebih dipercaya oleh gadis itu ... apa yang ada di pikiran laki-laki itu ketika melayangkan tinjunya?

"Kamu itu terlalu sabar, Kay." kata Sandy, salah seorang teman jagaku. "Apalagi menghadapi kasus semacam itu. Aku sudah hilang sabar tadi, dikira kerjaan kita hanya dia apa?!"

"Ya namanya juga kasus pemukulan. Apalagi pelakunya pacar sendiri, wajarlah kalau dia shock dan masih denial ... selama ini dia sayang sama pacarnya, percaya sama dia ... pasti dia mikir lah, apa jangan-jangan dia yang salah.", kataku sambil berjalan di sebelah Sandy.

"What bullshit!!" maki Sandy. "Laki-laki yang memukul wanita itu bahkan kebagusan kalau dibilang "sampah masyarakat". By God ya, kalau sampai ada yang berani kayak gitu ke adikku atau ke orang terdekatku, aku akan membuat mereka merasakan hell on earth!"

"Ups, sabar, sabar Mas ... kita harus netral, remember? Tidak boleh memihak. Aku juga marah tadi, aku juga ingin pelakunya dihukum berat. Tapi itu sudah di luar kapasitas kita. Kita sudah melakukan apa yang kita bisa. Selebihnya, urusan penyidik ..." kataku.

Sandy menatapku, lalu nyengir. "Kamu memang calon dokter forensik yang baik."

Aku terbahak. "Amin!"

Kami sampai di ruang post mortem. Desta sedang memeriksa barang-barang si 'pasien' sementara Cathy  mencatat deskripsinya. "Nah syukurlah elo berdua dateng. Kay elo gantiin gue ya, Sandy elo bantu Cathy memeriksa pasiennya."

"Oke. Sip!"

Aku mengenakan sarung tangan dan mulai memeriksa barang-barang yang ada di samping si korban. "Meninggalnya kenapa?" tanyaku.

"Gak tau. Ditemukan di jalan. Belum ada keluarga yang bisa dihubungi." jawab Desta.

"Oh." aku melihat benda-benda yang ada. Sebuah handphone, seplastik uang dan sebuah buku notes kecil bersampul merah. Aku meraih buku itu, karena benda itu yang pertama kali menarik perhatianku. Tanganku hendak membuka halaman pertama buku itu, berharap di dalam buku itu ada nomor telfon keluarga si korban. Tapi kemudian aku teringat. AKu menoleh ke si korban ... seorang pria berusia dua puluhan yang tubuhnya kurus, mengenakan kaus hitam bertuliskan kata makian kasar, jins sobek-sobek dan sandal jepit.

"Bapak, maaf saya lihat bukunya ya. Siapa tahu ada nomer telfon yang bisa saya hubungi.", ujarku.

"Iya, Mbak'e ... buka aja!" Desta menyahut iseng. Aku nyengir.

Halaman pertama buku itu berisi lirik lagu. 'Jujur Saja' by Wonderboy ... begitu tulisannya. Ada huruf-huruf yang ditulis dengan huruf kapital, pertanda itulah bagian yang ditekankan si penulis.

JUJUR SAJA KAU ANGGAP AKU APA?
MENGAPA KAU TAK BERTERUS TERANG?
JUJUR SAJA KU RAGUKAN CINTAMU
KARENA DIRIMU TAK SEPERTI DULU

Di bawah lirik lagu itu ada tulisan : Jujur saja, kau anggap aku apa??

Dheg. Lagi-lagi aku merasa miris. Jika benar si korban (Ia masih dinamakan Mr.X, karena tidak ditemukan KTP atau tanda pengenal lain) yang menulisnya ... saat menulis ini ia pasti sedang galau luar biasa karena merasa terombang-ambing dalam ketidakpastian. Aku membuka halaman berikutnya, mencoba fokus pada menemukan nomer telfon yang bisa dihubungi, tapi lagi-lagi perhatianku teralihkan pada sketsa wajah seorang perempuan berambut keriting panjang seperti ilustrasi novel-novel roman zaman dulu, di bawahnya tertulis : I love you Kirana ... 


Di halaman lain ada catatan kecil. Hari ini ada satu kebahagiaan kecil yang kamu berikan untukku, yaitu kamu membalas sms-ku. Memang singkat, tapi aku tidak berharap banyak kok. Aku tahu kamu sibuk. Aku cukup senang kamu mau membalas sms-ku. 


Aku membalik lagi halamannya. Aku akan tetap menunggu kamu, mencintai kamu ... walau aku tahu kamu tidak perduli sama aku.  


Kirana,
satu nama itu selalu terpatri di hatiku
Kirana,
nama yang sempurna, sesempurna keindahanmu
Kirana,
nama yang menjadi pengganti doaku
setiap fajar membuka hari
Kirana,
ditengah malam beku ini, 
namamu bagaikan lilin kecil yang hangatkan hatiku
Kirana,
aku percaya suatu saat nanti 
kau akan pecaya betapa aku mencintaimu
Kirana,
biarlah kukecap pahit dan hujaman nyeri ini
karena aku yakin, akulah tempatmu pulang


Lalu ada lagi tulisan yang agak cakar ayam, menandakan penulisnya sedang dilanda emosi. Kamu jahat. Kamu hancurkan hatiku. Aku tulus sayang sama kamu, melebihi cinta tunangan kamu itu. Tunangan kamu enggak perduli sama kamu. Dia sering membuat kamu menangis kan? Buka hati kamu, Kirana. Buka sedikit untuk aku. Kenapa kamu tidak pernah menganggap aku ada? Lihat aku di sini, aku tulus mencintai kamu.


Kamu bilang kamu sayang aku. Tiga kata itu kamu ucapkan pagi ini ketika aku tanya bagaimana perasaan kamu ke aku. Dengan gampangnya aku luluh ... ah Kirana, aku memang selalu lemah kalau menyangkut kamu. 


Kirana, malam ini aku sakit lagi. Mungkin besok aku sudah tidak bernyawa. Aku menulis ini dengan sisa-sisa tenaga terakhir aku. Kirana, Kirana ... kamu di mana? Aku mau melihat kamu, sekali saja sebelum aku mati. Aku mencintai kamu, Kirana .... 


"Kay! Kok sampe terpesona gitu sih?" Cathy menepuk bahuku, ia melongok ke buku notes yang masih kubaca. "Ya ampunnn ... lebay sekali!" komentarnya.

"Bapaknya masih bisa denger kata-kata kamu lho!" ujarku.

"Ups! Maaf ya Pak ..." kata Cathy. "Tapi kamu yang fokus dong Kay ... kamu kan mau nyari nomer telfon yang bisa dihubungi, remember?"


"Iya, iya ... sori ..." aku membalik-balik halaman buku itu, mengabaikan tulisan demi tulisan yang melafalkan satu nama : Kirana. Lalu akhirnya aku menemukan beberapa nomer HP, salah satunya adalah nomer HP Kirana. Setelah mendeskripsikan barang-barang korban, aku meminta ijin sejenak menyerahkan buku itu ke petugas administrasi untuk menghubungi nomor telfon itu.

Pemeriksaan luar selesai, dan kami beristirahat di ruang jaga.

Aku memutuskan untuk tidur sejenak, karena tidak tahu apa yang akan datang nanti malam. Kupejamkan mata dan berusaha tidur. Aku teringat dua kasus yang aku hadapi hari ini ... yang satu dikhianati kepercayaannya oleh orang yang ia cintai, yang satu setengah mati mencintai (atau bisa dikatakan ... terobsesi?) ... tanpa bisa kucegah, imajinasiku melayang membayangkan apa jadinya kalau hidup mereka berdua adalah sebuah film romantic comedy. 


Si gadis bertemu dengan si Mr.X ... mungkin saat ia berlari menghindari kejaran pacarnya yang mau memukulinya? Mr.X menghajar pacar si gadis dengan maksud melindungi, kemudian mereka berkenalan, kemudian mereka saling curhat, kemudian mereka jatuh cinta, kemudian mereka melupakan yang menyia-nyiakan mereka dan akhirnya mereka hidup bahagia selamanya? Kenapa tidak bisa seperti itu? Itu ending yang ideal bukan? Menurutku sih ... 


Oh well ...lagi-lagi aku hanya bisa menemukan 'itulah hidup' - whatever that means - sebagai jawaban atas pertanyaanku. Semua orang ingin bahagia, ingin mencintai dan dicintai. Tapi dalam hidup, seringkali tidak bisa sesederhana itu. Haish ... memikirkannya saja sudah pusing. Lebih baik aku tidur dulu, mudah-mudahan nanti malam jagaku aman.

Aku tidak tahu kapan aku terlelap. Tahu-tahu saja aku merasa ada yang berdiri di depanku. Aku memicingkan mata, melihat sosok samar-samar yang kemudian semakin jelas. Seorang pria berambut emo, mengenakan baju hitam bertuliskan makian, jins sobek-sobek dan sandal jepit, tengah menatapku.  Ini kan ... Mr.X yang tadi!! Seruku dalam hati, tapi tidak ada kata-kata yang keluar. Ketika wajahnya semakin jelas, aku melihat sudut-sudut bibirnya terangkat sedikit dan ia mengangguk padaku, sebelum berjalan keluar kamar jaga.

"Kayla ..."

Ada suara laki-laki memanggil namaku. "Kayla? Kayla?" aku merasa ada yang mengguncang bahuku dan aku bangun gelagapan.

Desta nyengir melihatku. "Sori elo udah tidur yah? Barusan ada panggilan ke IGD, ada visum."

"Oh? Mmm ... okeh okeh, bentar ..."

Aku meraih HP yang tadi sedang di- charge, memastikan notesku ada di kantong baju jaga, sebelum mengikuti Desta dan teman-teman lain ke luar kamar jaga. Sepertinya, masih banyak cerita yang akan aku dengar malam ini ...

Saturday, November 12, 2011

Not A Fairy Tale

Terinspirasi lagu 'White Horse' - Taylor Swift

Ini sudah ketiga kalinya dalam dua minggu ini ia datang ke puskesmas untuk berobat. Seorang pria yang berusia dua puluh sembilan tahun dengan wajah sangat manis, tubuh tinggi semampai dan tutur bahasa yang halus. Mungkin karena ia seorang guru Kesenian di SMA yang terletak sekitar seratus meter dari Puskesmas ini.

Namanya Arif. Ia pasien pertamaku ketika aku sedang menjalani kepaniteraan klinik ilmu kesehatan masyarakat di puskesmas. Ia datang dengan keluhan macam-macam, sakit maag, sesak nafas dan kepala yang berdenyut-denyut, tetapi aku tidak menemukan kelainan yang berarti saat aku memeriksanya. Aku menyangka keluhan yang ia rasakan itu berhubungan dengan pikiran, jadi aku bertanya hati-hati.

"Apa jangan-jangan karena banyak pikiran, Pak Arif?"

Ia terdiam sejenak, wajah manisnya berubah keruh. Tebakanku tepat. Tapi aku tidak tahu itu adalah keuntungan atau bukan, karena selama sepuluh menit ke depan ia menceritakan padaku apa yang menjadi beban pikirannya. Istrinya, yang tidak tahu dan tidak mau tahu mengenai keadaan dirinya. Istrinya manja, malas mengurus rumah dan judes terhadap anak semata wayang mereka. Istrinya juga selalu mengeluh tentang kecilnya gaji yang Arif terima sebagai guru dan mengomel kenapa Arif tidak mau bekerja saja di perusahaan mertua yang lebih menjanjikan.

Aku kebingungan sekaligus kesal. Hari itu pas hari pertama 'tamu bulanan'-ku datang, udara di luar puskesmas panas setengah mati dan itu ikut memicu emosiku. Sabar Eris, kamu dokter muda di sini ... aku mengucapkan itu berulangkali dalam hati. Padahal aslinya aku mau berkata "Pak! Saya ini baru dua puluh tiga tahun, dan terakhir kali saya pacaran itu umur enam belas tahun, gimana saya mau mengerti masalah Bapak?!"

Di depan Arif aku masih bisa tersenyum dan mengangguk. Hanya itu yang aku lakukan sampai akhirnya ia selesai bicara. Aku menyarankan agar ia menjaga kesehatan dan tidak terlalu lelah, juga memberi resep vitamin. Ia tidak langsung pergi setelah menerima kertas resep, ia menatapku dalam-dalam dengan sepasang mata beningnya sampai aku jengah sendiri, kemudian tersenyum.

"Terimakasih dokter Eris, saya merasa lebih baik sekarang. Selama ini dokter-dokter lain tidak ada yang mau mendengarkan saya, mereka hanya memberi resep obat saja ... saya senang masih ada orang seperti dokter."

Pipiku memerah, aku merasa bahagia karena bisa sedikit mengobati sisi psikologis pasienku. Semangatku untuk melanjutkan kepaniteraan klinik sampai nanti mendapat gelar dokter pun semakin besar. Tapi kemudian aku mulai resah ketika aku tidak juga bisa mengenyahkan wajah manis itu dari pikiranku.

Aku mulai sering melihatnya, kadang pagi waktu aku memarkir mobilku di depan puskesmas, kadang siang hari ketika aku pulang.

"Selamat pagi, Bu Dokter! Baru datang?"

"Selamat siang, Bu Dokter! Pulang?"

Awalnya hanya dua kalimat itu yang rutin ia katakan padaku setiap kali bertemu. Aku hanya mengangguk, lalu membalas basa-basi. "Iya Pak Guru. Bagaimana? Sehat-sehat?"

Suatu kali motornya berhenti dan ia menghampiriku, memberiku sebuah buku yang katanya ia pinjam dari perpustakaan dekat rumah. Buku karya pengarang favoritku, Mira W. ia meminjamkannya padaku karena pengarang buku itu adalah dokter. Aku sudah membaca buku 'Cinta Cuma Sepenggal Dusta' ketika aku SMA dulu dan kami pun berdiskusi soal buku itu sambil duduk-duduk di kantin depan puskesmas.

"Inilah yang saya perlukan, dok ..." kata Arif. "Teman diskusi, yang bisa saya ajak bertukar pikiran mengenai kesukaan saya pada sastra dan seni. Istri saya tidak pernah mau tahu masalah begini, ia hanya suka sinetron dan gosip. Heran kenapa suka sekali mengurusi rumah tangga orang yang bahkan tidak pernah kita temui?"

"Orang kan beda-beda Pak!" aku mulai merasa tidak nyaman.

"Coba saya ketemu dokter lebih awal." ujarnya seraya menatapku selama beberapa detik, lalu menunduk malu-malu. Kemudian ia minta ijin kembali ke sekolah, karena masih ada kegiatan mengajar.

"Saya kira sudah pulang tadi. Maaf saya jadi membuat Pak Guru terlambat!" kataku gugup.

"Tidak apa-apa." ujarnya sambil menstater motornya. "Saya ke sini hanya mau menemui dokter saja kok."

Dan ia pun berlalu. Meninggalkanku yang tertegun bengong di sana. Selama beberapa detik semua terasa bagai kisah cinta Jane Eyre dan Mr. Rochester, tapi kesadaran memalu kepalaku keras, menghancurkan khayalan-khayalanku dan meninggalkanku dalam rasa takut. Apa-apaan aku ini? Duduk-duduk berdua mengobrol dengan suami orang ... bagaimana kalau ada petugas puskesmas yang melihat? Aku ke sini membawa nama fakultas juga!

Aku berusaha menghindarinya, tapi aku tidak bisa mencegahnya semakin sering datang ke Puskesmas untuk berobat. Ada-ada saja keluhannya, sakit perut, pusing, gatal-gatal... tapi hanya selama 2 menit saja ia mengeluh demikian, selanjutnya selalu tentang istrinya. Ia berkata sudah tidak tahan lagi, semakin stress di rumah dan hanya dengan mengobrol denganku ia merasa lega.

Aku akan berkata jujur, ada rasa senang saat aku mengobrol dengannya. Aku merasa dihargai dan dibutuhkan. Arif sangat berbeda dari orang yang selama ini kukenal. Ia cerdas dan berwawasan luas, tapi tidak kemudian menjadi sombong seperti beberapa orang yang aku tahu. Tutur bahasanya halus dan ia juga menghargai pendapat orang lain. Dan kadang aku berpikir ... apa yang terjadi kalau aku bertemu dengannya ketika kami sama-sama single? Bagaimana kalau aku berada dalam posisi Nindya - bekas murid yang sekarang menjadi istrinya.

Tapi aku tetap tidak bisa membayangkan akhir yang membahagiakan, bahkan dalam khayalanku. Sulit membayangkan diriku menggantikan posisi Nindya dan berperan sebagai ibu-ibu ideal di film, penuh senyum mengurus rumah, memasak, mengantarkan bekal ke sekolah untuk suami, menunggu suami pulang sambil bermain dengan anak-anak ... selalu ada yang terasa salah.

Karena ini bukan drama, dimana jika ada bagian yang tidak ter-shooting maka artinya bagian itu tidak penting. Aku belum pernah bertemu dengan Nindya dan anaknya, tapi mereka tetap keluarga Arif. Ini bukan cerita dongeng, dimana kalau aku sebagai tokoh utama akan selalu dibela oleh nasib dan mendapatkan akhir yang membahagiakan. Ini kehidupan nyata, bukan fantasi. Konsekuensi dari setiap tindakan tidak akan pernah bisa diduga dan dihindari. Kemungkinan terburuk masih mungkin terjadi.

Hari itu setelah kegiatan puskemas selesai, aku mengemasi alat-alat periksa di poliklinik yang sudah sepi. Ketika aku baru saja hendak pergi ke luar, aku tersentak melihat Arif ada di sana. Tersenyum manis, tapi aku tahu ia sama resahnya denganku karena berulangkali ia menoleh kesana-kemari memastikan tidak ada yang melihat.

"Ada apa Pak Guru?" tanyaku tanpa bisa menutupi getaran di suaraku.

"Enggak Bu Dokter, saya hanya mau ngasih ini ..." ia memberiku secarik kertas bertuliskan angka-angka. "Nomor HP saya, kalau nanti dokter perlu teman bicara atau apa!"

"Pak Guru, terimakasih sebelumnya atas perhatian Bapak tapi sebaiknya tidak!" tahu-tahu saja kalimat itu meluncur keluar dari bibirku.

"Kenapa Eris?" ujarnya, mengucapkan namaku untuk pertama kalinya. Hatiku semakin tidak karuan, tapi aku berusaha tetap menatap matanya. "Aku hanya mau ngobrol, diskusi sama kamu. Tidak lebih."

Aku menggeleng. "Rasanya tetap salah. Kamu sudah punya Nindya, Arif!"

"Tapi buat aku rasanya benar." Arif bersikeras. "Semua yang aku lakukan kamu, rasanya benar! Justru aku merasa serbasalah kalau sama Nindya."

"Kalau begitu kenapa kamu harus sembunyi-sembunyi seperti ini? Datang waktu kamu tahu sudah tidak ada orang di poli, tergesa-gesa takut ketahuan dan memberi nomer HP?"

Arif terdiam mendengar kata-kataku, kemudian menundukkan kepalanya. Aku tidak melepaskan pandanganku darinya ... seharusnya inilah saat dimana aku menangis, di sinetron-sinetron selalu begitu kan? Tapi tidak. Hatiku terasa sakit, tapi mataku tetap kering.

"Aku merasa bahagia di samping kamu..." lirih suara Arif. "Kamu ramah, kamu perhatian, kamu cerdas dan aku merasa kamu sangat mengerti aku. Tapi sepertinya aku salah ya?"

"Rif, kita hanya bertemu seminggu dua sampai tiga kali, mengobrol selama setengah jam... tidak adil kalau kamu membandingkan aku sama Nindya yang sudah bersama-sama dengan kamu selama enam tahun." kataku. "Kalau kita memutuskan menjalani hidup sama-sama, semakin kita mengenal pasangan kita pasti semakin banyak hal-hal baru yang kita ketahui tentang mereka. Kalau kita terus menghindar dan mencari yang lain setiap kali ada yang tidak berkenan, mau sampai kapan?"

Arif terdiam lagi, kemudian ia menatapku. "Lalu kita harus bagaimana?"

"Aku yakin, kamu lebih tau apa yang harus kamu lakukan."

Arif menjatuhkan kertas berisi nomor HP-nya ke lantai, lalu berbalik dan melangkah pergi dari sana. Langkahnya gontai dan ia tidak menoleh sama sekali. Ia berjalan ke luar, samar-samar aku mendengar suara motor distater. Ah, rupanya ia sengaja memarkir motornya di luar puskesmas supaya tidak menarik perhatian.

Aku mengambil kertas nomor HP Arif dari lantai, menyobek-nyobek lalu membuangnya di tempat sampah. Kemudian sambil berusaha menenangkan diri, aku keluar dari poliklinik menuju mobil. Masih ada sedikit rasa tidak enak ketika aku melewati kantin tempat pertama kali Arif mengutarakan perasaan hatinya padaku dulu, apa yang aku jalani ini bisa dinamakan ... perselingkuhan?

Setidaknya aku sudah mengakhirinya sekarang.


Catatan :
Empat minggu kemudian aku mengakhiri masa kepaniteraan klinik ilmu kesehatan masyarakat. Aku tidak bertemu lagi dengan Arif, tapi di hari terakhir aku sempat melihatnya ketika aku sedang menunggu kereta lewat di lintasan kereta api. Ia sedang duduk di depan klinik bidan bersama seorang wanita yang aku yakini adalah Nindya dan seorang anak kecil yang aku yakini adalah anak mereka. Perut Nindya agak membuncit di bawah daster batik yang ia kenakan. Nindya mengomel sambil mengipas-ngipas wajahnya, tapi dari wajahnya aku tahu sebenarnya ia hanya mau bermanja-manja pada suaminya. Arif tertawa lalu membukakan sebotol air mineral untuk istrinya, sementara anak mereka mengibar-ngibarkan sebuah pamflet di depan wajah ibunya. Aku tidak bisa lama-lama menatap mereka, karena saat itu pintu lintasan kereta mulai dibuka dan angkot di belakangku mulai mengklakson dengan tidak sabar. Itulah kali terakhir aku melihat Arif.

Cause I'm not your princess, this ain't a fairytale
I'm gonna find someone someday who might actually treat me well
This is a big world, that was a small town
There in my rearview mirror disappearing now

White Horse-Taylor Swift

Thursday, November 10, 2011

Cerita Si Seratus

Akhirnya aku menulis juga di blog ini :) blog ini nantinya akan menjadi blog khusus cerpenku. Aku dapat cerita ini dari salah seorang dokter pembimbingku di stase Obgyn RS Polri, dr. Eka yang minta aku menulis cerita 'Andai Aku Adalah Gundu' tahu-tahu aku terpikir cerita ini. Hehehe ... minta komentarnya ya, thank you :)


Cerita Si Seratus

Aku adalah salah satu dari seratus gundu yang ada di dalam stoples kaca berwarna bening. Setiap hari kerjaku hanya berdiam diri, tapi kadang pemilikku menyuntakkan seluruh isi stoples ke luar. Ia tidak kemudian mengadu kami dengan gundu lain kemudian memberikan salah satu dari kami sebagai hadiah untuk si pemenang. Ia mengelap tubuh kami satu demi satu dengan kertas tisu dan cairan pembersih kaca, lalu menaruh kami kembali di dalam kantong beludru kuning dalam keadaan bersih berkilat.

Entah sudah berapa lama sejak aku berpindah tangan. Tadinya aku adalah milik seorang anak bernama ‘Abang’. Dulu aku bagaikan prajurit perang baginya. Aku beserta sepuluh gundu lain, setiap hari kami maju perang melawan gundu-gundu milik lawan Abang. Setiap kali tubuh kami mengenai gundu milik lawan Abang, Abang bersorak gembira dan kemudian gundu itu bergabung dengan pasukan kami. Benar-benar mirip medan perang, hanya saja tidak ada prajurit yang bisa memilih untuk ‘Harakiri’ ala prajurit negeri matahari terbit. Kami berpindah kubu atas kehendak pemimpin pasukan, tidak ada tawar-menawar. Jumlah kami terus bertambah, kadang berkurang tapi kemudian bertambah lebih banyak lagi.

Kemudian tiba masa dimana kami tinggal di stoples dan hanya berdiam diri saja di dalam sana. Tepat ketika jumlah kami genap seratus pasukan gundu. Abang tidak lagi menyuruh kami berperang, dari balik kaca aku sering melihat Abang menghadap sebuah benda berbentuk kotak yang memancarkan cahaya aneka warna. Kotak itu bisa membuat Abang tertawa, marah dan menangis. Abang bisa duduk di depan kotak itu berjam-jam, sampai seorang wanita yang dipanggil ‘Ibu’ oleh Abang menarik telinganya. Kadang kotak itu dibawa keluar oleh Ibu, kalau sudah begitu Abang marah-marah dan mengacak-acak kamarnya. Kami tetap diam di sudut lemari buku Abang, tidak diperdulikan.

“Bagaimana ini? Kita sudah tidak pernah lagi berperang melawan kubu lain!” salah satu dari kami berkata jengkel. Dia adalah gundu berwarna biru telur asin, dulu Abang menyebutnya ‘gundu keberuntungan’ yang selalu berhasil membawa prajurit baru ke markas kami.

“Kita sudah digantikan oleh mereka!” kata gundu bermotif jingga. Ia yang paling agresif, karena sudah pernah berpindah tangan berkali-kali sebelum kemudian bertahan di markas kami. “Benda bernama ‘televisi’ dan ‘game’ itu. Jahat sekali mereka! Mereka bahkan meniru kita, aku pernah melihat mereka membuat ilusi di mata Abang, meniru cara kita berperang sehingga Abang percaya kalau ia sedang bermain dengan kita! Padahal, puih! Yang Abang lakukan hanya duduk diam saja di atas karpet serupa agar-agar raksasa!”

“Hey, kenapa kamu diam saja dari tadi?! Kamu tidak kesal dengan semua ini?!” seru gundu berwarna hitam.

“Terang saja. Dia kan pesolek, kerjanya hanya duduk manis di dasar stoples! Dia dulu langsung lari terbirit-birit ketika aku menyerangnya, sama sekali tidak mau mencoba bertahan. Apa yang ia tahu soal perang?” cemooh gundu berwarna jingga.

Aku tidak menjawab, karena saat itu aku sedang beradu pandang dengan seorang anak perempuan kecil bermata serupa tubuhku. Anak itu bernama ‘Adik’, kadang ia masuk ke kamar Abang dan hanya duduk diam saja memandangi kami berjam-jam. Seringkali Abang marah-marah dan menyuruhnya keluar, padahal ia tidak melakukan apa-apa kecuali memandangi kami. Aku tahu aku tidak boleh gede rasa, karena ada seratus dari kami di dalam stoples ... tapi aku rasa ia tertarik padaku. Ia menatapku lekat-lekat, sesekali menyentuh bagian luar stoples dengan jari mungilnya.

“Adik, kamu ngapain sih?” Abang menghampiri Adik. “Kan Abang sudah bilang jangan masuk ke sini! Nanti kalau kamu kenapa-kenapa Abang yang dimarahi, tau?!”

Adik tidak menjawab. Abang kemudian meraih stoples kami. Seluruh gundu bersorak gembira, menyangka kami akan pergi berperang lagi. Bunyi ‘klik klik klik’ nyaring terdengar, seperti prajurit yang membentur-benturkan tombak mereka ke lantai kalau sedang bersemangat. Akhirnya hari pertempuran ini tiba juga!

Tapi kemudian bunyi itu meredup, ketika Adik tidak menyuruh kami berperang seperti Abang. Adik membuka stoples, mengeluarkan kami satu demi satu, menjejerkan kami di atas hamparan empuk berwarna merah dan bukan di atas tanah berpasir seperti dulu. Mulut Adik menggumamkan ‘satu dua tiga’ sampai ‘seratus’. Aku adalah gundu nomer seratus. Adik memandangiku cukup lama, serius sekali seperti seorang peneliti, kemudian ia mengambil semacam kain basah, mengelap tubuhku sampai berkilau dan wangi. Adik mengamati keadaanku, tersenyum bahagia sebelum memasukkanku lagi ke dalam stoples. Begitu terus, sampai seratus gundu berkumpul lagi di dalam stoples dalam keadaan berkilau dan wangi.

Seluruh gundu kembali bergumam kecewa, khususnya si gundu jingga karena tadi ia yang paling bersemangat maju perang. Aku diam di dasar stoples, menyimpan rasa bahagiaku. Baru kali ini aku dianggap begitu berharga oleh seseorang ... dulu ketika aku masih bersama Abang, Abang menganggapku tidak cukup layak maju perang. Aku tahu karena pernah sekali ketika Abang tidak sengaja mengambilku dari dalam stoples, ia berdecak kesal dan melemparkanku lagi ke dalam stoples.

“Yang itu enggak mantap. Dulu aku gampang banget dapetinnya.” Kata Abang. Gundu-gundu yang lain tertawa mencemoohku, sejak saat itu aku diletakkan di dalam stoples dan tidak pernah maju perang lagi.

Sekarang semua gundu bernasib sama sepertiku. Setiap hari Adik menjejerkan kami, menghitung jumlah kami, mengelap tubuh kami satu-persatu sebelum memasukkan kami ke dalam stoples. Tiga kali sehari, rutin, sampai aku bisa memperkirakan kapan waktunya.
Gundu yang lain tidak lagi marah-marah. Kami sudah pasrah dengan nasib kami sebagai ‘pajangan’. Aku tetap tidak bicara apa-apa, tapi dalam hati aku merasa sedikit gembira. Aku selalu menjadi yang paling terakhir dikeluarkan, paling lama dipandangi, paling teliti dibersihkan dan paling pertama dimasukkan ke dalam stoples. Aku merasa istimewa.

Aku tidak sekedar ‘gede rasa’ di mata Adik aku memang istimewa. Setiap kali Adik ketakutan, aku yang selalu ia cari di dalam stoples dan kemudian ia genggam erat-erat. Aku bisa mendengar suara denyut nadi Adik, yang tadinya cepat kemudian melambat. Hanya dengan menggenggamku atau memutar-mutar tubuhku, Adik bisa tetap tenang sementara Ibu dan Ayah saling berteriak satu sama lain di luar kamar.

“Ini semua gara-gara kamu!” kata Abang suatu kali. “Kenapa kamu tidak bisa normal seperti anak-anak lain? Aku benci kamu. Bikin malu keluarga.”

Kadang Adik membawaku ke luar, tapi bukan untuk berperang. Bagi Adik, aku menjadi semacam jimat keberuntungan. Samar-samar aku mendengar Adik sering diteriaki ‘autis’ dan ‘idiot’, kalau sudah begitu seperti macan betina yang terluka Ibu akan balik meneriaki orang-orang itu. Adik tidak bereaksi, tidak ketika Ibu menciumi keningnya berulangkali sambil menangis dan berkata kalau Ibu tetap mencintainya apapun yang terjadi, juga nanti kalau Ayah jadi menceraikan Ibu dan membawa pergi Abang. Ibu akan tetap mencintai Adik.

Aku rasa itu yang membuatku bisa dekat dengan Adik. Kami saling membutuhkan satu sama lain. Sama seperti Adik yang tidak punya teman, aku juga tidak dianggap oleh gundu yang lain karena aku lemah dalam berperang. Aku tidak bisa bicara atau mengeluarkan cahaya-cahaya seperti ‘televisi’ dan ‘game’ milik Abang, aku hanya bisa berdiam diri dan tampak secemerlang mungkin untuk Adik.

Bagi Adik, aku bisa memberinya rasa aman, membuatnya merasa terlindungi dari dunia luar yang sering membuatnya takut. Kadang aku heran ... dari seratus gundu di dalam stoples, kenapa aku? Seperti apa diriku di mata Adik? Sampai sekarang, ketika Adik semakin besar dan semakin mirip dengan Ibu aku tetap tidak bisa menjawab pertanyaan itu.

Mungkin ... karena Adik mirip Ibu, yang juga bisa mencintai Adik tanpa syarat apa-apa.

Friday, January 7, 2011

Tentang Rasa ...

Aku berlari sekuatku menaiki tangga itu
Aku merasa ia ada di sana, di hadapanku
Ingin sekali aku menyusul langkahnya
Namun ia bagai bersayap
Kepakannya keras
Kecepatannya jauh melampaui tapak kakiku yang letih
Kadang aku terhenti ditengah-tengah anak tangga
Yang seolah tak berujung itu
Tapi dengan keras kepala aku kembali berjalan lagi
Karena aku yakin beberapa langkah lagi aku akan menggapainya
Aku hanya ingin menepuk bahunya
Agar ia berbalik dan tersenyum padaku
Itu saja
Aku ingin memanggil namanya
Sayang nafasku tidak cukup untuk mengucapkan sepatah katapun
Tiba-tiba saja di suatu bagian yang kuyakini sebagai puncak tangga ia berbalik
Aku tidak dapat melihat dengan jelas wajahnya
Karena di belakangnya cahaya matahari bersinar terang
Namun aku yakin, itu dia
Ia melambaikan tangannya di depan dada
Seolah berkata 'jangan menyusulku'
Kemudian ia berbalik dan kini aku bisa melihat dengan jelas
Di punggungnya ada sepasang sayap raksasa keperakan
Hembusan angin menerpa wajahku saat sayapnya mengepak
Aku kembali menaiki anak tangga itu namun langkahku terhenti di puncak tangga
Di hadapanku terhampar langit tak berbatas
Namun ... tidak ada dia
Aku hanya terdiam di sana,
Sementara air mata meleleh membasahi wajahku
Dadaku sesak dan kedua kakiku terasa begitu letih
Karena sudah entah berapa lama aku mengejar sesuatu yang semu
Sampai aku merasakan ada yang menyentuh bahuku
Aku menoleh dan aku lihat dia, adikku ...
Di belakangnya muncul wajah-wajah yang sangat kukenal
Dan mereka semua tersenyum padaku
Adikku mengulurkan tangannya padaku,
Tersenyum tanpa sedikitpun kesan mengejek kebodohanku
Ia hanya berkata
'Sudah siap turun?'

Friday, December 31, 2010

Cerita Dari Tahun Nol

Namaku Luna, usiaku enam belas tahun dalam perhitungan tahun masehi. Jujur saja agak aneh rasanya menggunakan perhitungan tahun masehi saat ini. Banyak orang yang mulai protes tentang cara perhitungan hari, bulan dan tahun, mengingat pergerakan planet saat ini sangat berbeda dibandingkan dulu. Walaupun kami masih menggunakan aturan 1 hari 24 jam, tapi sekarang kami sudah tidak bisa membedakan siang dan malam.

Laboratorium pusat yang menjadi patokan penuh waktu kami, mereka yang menentukan kapan waktunya bekerja dan kapan waktunya beristirahat melalui siaran di televisi.
Dulu sempat ada beberapa kalangan yang protes, tapi toh mereka tidak bisa memberikan solusi yang tepat tentang bagaimana cara menghitung waktu, jadi untuk sementara ini kami masih menggunakan cara yang ditentukan oleh laboratorium pusat.

Aku akan menceritakan sedikit tentang masa sekarang ini. Dari yang aku dengar, dulu di masa ketika Mamaku masih seusiaku, terjadi bencana besar di bumi. Alam yang sudah tidak tahan lagi terus-menerus disiksa oleh manusia melawan balik dan manusia pun tidak berdaya melawan kemurkaannya. Apa yang ada di atas permukaan laut habis tanpa sisa.

Segelintir manusia yang bisa bertahan hidup terpaksa hidup dalam tempat-tempat perlindungan yang sebelumnya telah mereka bangun. Hanya manusia yang membangun tempat perlindungan dalam air saja yang bisa bertahan hidup hingga sekarang, karena yang berada di atas tanah ikut hangus terkena amukan cahaya matahari yang sudah tidak terkendali sejak lapisan ozon tercabik habis. Kini manusia yang tinggal dalam tempat perlindungan di bawah air berusaha menemukan cara untuk tetap hidup dan syukur-syukur bisa mengembalikan sekian persen kualitas hidup mereka seperti dulu.
Hal itu tidak mudah, karena apapun yang berada di atas tanah kini sudah hancur lebur. Sampai saat ini, tidak mungkin kami mencapai kedalaman kurang dari seribu meter dari permukaan laut tanpa terpanggang panasnya sinar matahari. Masa ini dinamakan tahun nol oleh para ilmuwan, karena saat ini manusia dikembalikan lagi ke titik nol dimana kami harus memulai segalanya dari awal lagi.

Aku termasuk yang beruntung karena ketika aku lahir, peradaban sudah mulai stabil dan tidak sekacau dulu. Salah satu langkah besar yang berhasil dicapai adalah, para ilmuwan sudah mulai menyetujui penggunaan makanan dan minuman sintetis untuk kelangsungan hidup kami – yah, mereka tidak punya banyak pilihan juga, karena sedikit sekali hewan dan tumbuhan yang masih bisa bertahan hidup di laboratorium khusus mereka.

Sekarang buah-buahan, sayur, telur, daging dan susu sudah mulai dijual lagi walaupun hanya tersedia di toko-toko khusus. Keluarga pemilik perusahaan udara bersih yang menjadi sponsor penjualannya dan mereka menggelar gala dinner untuk meresmikannya. Aku melihat liputannya di televisi, benar-benar luar biasa. Mereka makan sayur dan buah yang tampak segar, minum susu murni dari gelas-gelas kristal ... entah berapa trilyun uang yang mereka keluarkan untuk makanan mewah seperti itu.

Aku sendiri hanya pernah minum susu murni di acara pernikahan salah seorang teman Mama. Aku hanya boleh minum secicip saja karena bagaimanapun juga tubuhku sudah terbiasa dengan bahan-bahan sintetik sejak lahir, takutnya aku bakal sakit kalau terpapar makanan dan minuman murni dalam jumlah besar. Aku tahu kenapa sebotol susu murni harganya bisa sampai ratusan ribu ... rasanya sangat lezat dan tidak bisa aku lukiskan dengan kata-kata. Sekarang saja mulutku sudah berair mengingat-ingat rasa gurih dan manisnya.

Aku iri mendengar cerita orang-orang dewasa yang sempat merasakan kemewahan hidup sebelum tahun nol. Katanya, mereka bisa menikmati makanan-makanan mewah itu setiap hari (sampai bosan!) dan mereka juga tidak pernah khawatir jatuh sakit. Bahkan katanya, mereka bisa memakan daging sapi dan ayam! Bayangkan! Padahal sekarang ini hewan-hewan itu termasuk hewan-hewan yang dilindungi dan dijaga secara ketat di laboratorium karena tidak bisa hidup di lingkungan sembarangan.

Aku termasuk pengagum makhluk hidup. Sejak film animasi ‘Life Before Zero’ mulai booming, aku mulai tahu soal hewan-hewan unik di zaman sebelum tahun nol. Anjing, kucing, tikus, cicak ... film itu luar biasa sekali! Sebelumnya aku tidak bisa membayangkan melihat hewan-hewan itu dalam keadaan hidup, bukan sekedar foto di buku ensiklopedia. Aku bisa menonton film itu setiap hari dan tidak pernah bosan. Kadang aku suka berpura-pura kalau aku hidup di zaman itu, ketika anjing dan kucing liar berkeliaran, cicak merembet di dinding rumah dan tikus mengintip dari sela-sela dinding.

Sekarang di tempatku hidup, sudah tidak ada sama sekali hewan atau serangga yang bisa bertahan hidup di luar laboratorium. Walaupun aku tinggal di dasar laut, tapi aku tidak pernah melihat makhluk bernama ‘ikan’ yang dulu katanya hidup di dalam air. Kalau aku menyibakkan gorden jendela rumah, sejauh mata memandang hanya terlihat air yang berwarna biru suram, pasir kelabu, gedung-gedung bawah air yang kusam, dan sesekali ada kapal selam bermotif tentara yang lewat.

Beberapa orang dewasa yang aku kenal sering menyindir tentang betapa beruntungnya anak-anak muda sekarang ini, karena selama beberapa tahun setelah bencana besar terjadi hanya para ilmuwan yang berhak menggunakan kapal selam itu. Sempat ada suatu masa dimana para manusia betul-betul stuck di rumah bawah air mereka tanpa bisa kemana-mana. Masa itu dinamakan ‘masa kegelapan’, banyak manusia yang menjadi gila lalu bunuh diri atau mencelakakan teman mereka yang lain. Para ilmuwan sempat kewalahan menangani masalah itu, karena saat itu mereka masih setengah mati memikirkan cara bertahan hidup dengan makanan dan minuman sintetis. Beberapa ilmuwan stres, jatuh sakit dan ada yang meninggal ketika mereka memaksakan diri untuk membuat puluhan kapal selam yang kini kami gunakan sebagai alat transportasi. Manusia tidak lagi terjebak di satu tempat dan perlahan-lahan mereka mulai membangun pertokoan dan tempat hiburan.

Aku merasa beruntung, karena katanya sebentar lagi akan dibuka kebun binatang tidak jauh dari tempat tinggalku. Para ilmuwan berhasil merekonstruksi tulang-belulang binatang yang tersisa dan mereka akan memamerkannya di sana. Tidak hanya itu, katanya akan ada teater dengan film dokumenter alam bebas, juga patung fiber glass yang menyerupai hewan-hewan itu! Aku melihat iklannya di televisi dan rasanya aku bisa meledak oleh kegembiraan. Akhirnya aku akan melihat kehidupan di hutan tropis, laut dan padang rumput Afrika zaman dulu! Setelah selama ini hanya memelototi gambarnya di internet atau buku ensiklopedia tua milik Mamaku, aku bisa melihat filmnya! Aku harus datang ke acara pembukaan kebun binatang itu. Mama sudah janji akan mengantarku ke sana. Aku tidak sabar lagi! Lusa, cepatlah datang ...


Aku enggak percaya kalau beberapa jam yang lalu aku masih bersenang-senang membayangkan serunya petualanganku nanti di kebun binatang. Saat ini aku sudah enggak bisa lagi merasakan rasa gembira dan penuh harapan yang tadi sempat aku rasakan. Sekarang yang aku rasakan hanya marah, kecewa dan sedih sekali. Barusan saja, Mama berkata kalau pembukaan kebun binatang dibatalkan sampai batas waktu yang belum bisa ditentukan. Alasannya, beberapa replika binatang, tulang-tulang dan beberapa file film dokumenter hilang secara misterius. Polisi menduga hal ini ada hubungannya dengan perdagangan gelap yang belakangan ini mulai marak.

Serius ya, aku sangat, sangat marah! Para pelakunya pasti termasuk dari golongan senior kan? Mereka pasti pernah merasakan hidup di zaman penuh kemewahan sebelum bencana besar terjadi! Apa sih salahnya membiarkan orang-orang yang tidak seberuntung mereka untuk merasakan sepersekian dari apa yang pernah mereka rasakan dulu? Aaargh! Pokoknya aku kesal, kesal, kesal!

“Begitulah, Luna ...” Mama berkata dengan sedih tadi ketika melihatku marah-marah. “Rupanya sampai sekarang ini beberapa manusia memang belum bisa berubah ...”

“Apa mereka tidak puas merasakan bencana besar?!” ujarku marah. “Apa mereka mau kalau air laut di atas kita habis terkena cahaya matahari seperti ozon dulu, lalu peradaban manusia benar-benar tamat?!”

Tadinya aku menyangka Mama akan menegurku untuk tidak berbicara ngawur, tapi ternyata tidak. Mama terdiam lama, sementara aku berusaha menenangkan diri dengan menenggak sari buah sintetis yang dingin banyak-banyak. Tenggorokanku terasa sakit karena kandungan zat entah apa di dalamnya, tapi aku tetap menenggaknya untuk melampiaskan rasa marahku.

Tidak lama, aku mendengar Mama berbisik lirih. “Maafkan Mama Luna ...”

“Kenapa Mama yang minta maaf?” tanyaku. “Mama kan enggak berbuat apa-apa ...”

Tahu-tahu saja aku melihat dua butir air mata mengalir di pipi Mama. Aku kaget dan bingung melihatnya. Aku tidak tahu kenapa Mama menangis.

“Justru karena itu, Nak!” kata Mama dengan suara bergetar. “Justru karena Mama enggak berbuat apa-apa ...”

Setelah itu Mama bangkit dan masuk ke kamarnya, meninggalkan aku yang hanya bisa terpaku di ruang makan sendirian.