Thursday, August 23, 2012

Bintang di Mata Jelita


Miris sekali hatiku melihat keadaannya saat ini. Rambutnya kusut masai menutupi sebagian wajah tirus dengan mata cekung yang redup. Ah Jelita, tidak seharusnya kau seperti ini … dulu kau begitu cantik, dengan rambut panjang halus terurai, pipi bersemu kemerahan dan bintang yang bersinar di matamu. Dulu kau bagai bunga mawar yang merekah segar. Pesonamu memikat banyak kumbang … namun kau tidak membiarkan mereka lolos begitu saja dari semak durimu. 
Tidak sedikit orang yang iri padamu, menganggap kau memagari tubuhmu dengan duri-duri karena kau begitu sombong akan kecantikanmu. Mereka tidak tahu kalau di balik duri-durimu itu bukanlah kecantikanmu yang kau lindungi, melainkan aku. Aku yang rapuh serupa daun kering … namun kau perlakukan seperti permata yang paling berharga.
Itulah nama yang kau pilih untukku, Permata. Hampir semua orang tertawa mengejek saat tahu itu namaku. Nama itu tidak layak untuk seorang anak kurus kerempeng, berkulit cokelat kelam dan rutin sebulan sekali berobat ke puskesmas. Hanya di sampingmu aku merasa cantik dan berharga.
“Tersenyumlah, Permata …” itu yang selalu kau ucapkan setiap pagi. “Senyum adalah kunci keindahan seorang wanita.”
Kenapa kini kau begitu murung, Jelita? Tersenyumlah.
Aku baru menyadari secarik kertas yang ada di pangkuannya. Sebuah poster yang warnanya mulai pudar, tapi masih bisa kukenali tulisan dan gambarnya. Hatiku semakin miris …
“Klub Bintang Kejora Mempersembahkan … Jelita sang Primadona!”
Di bawahnya terdapat foto sang Primadona. Bintang di matanya bersinar terang menyilaukan, kedua tangannya terentang ke atas bagai sang juara, bibir merahnya yang semanis madu mengembang dalam seulas senyuman jumawa, wajahnya begitu ayu dan sangat serasi dengan gaun mewah yang ia kenakan … Jelita sang Primadona.
Kau menoleh, matamu beradu pandang denganku. Tidak ada bintang yang bersinar di sana. Tapi aku tahu bintang di matamu hanya tertutup awan, tidak lenyap. Bintang di galaksi mungkin punya batas usia, sebelum mereka hancur jadi debu yang beterbangan di ruang hampa udara … tapi tidak dengan bintang di matamu, Jelita.
Aku akan terus berusaha menyingkirkan awan di kedua mata itu. Di mata kanannya terdapat awan putih tipis bernama katarak yang rencananya akan dioperasi. Tapi aku tahu, aku bisa mendahului operasi dalam mengembalikan sinarnya. 
Kalau orang lain menganggap Jelita tidak bisa bersinar tanpa Klub Bintang Kejora yang sudah habis dibakar massa lima tahun lalu, mereka salah besar. Jelita punya sinarnya sendiri. Akan aku buat Jelita kembali bersinar sendiri. Seperti sepuluh tahun yang lalu …

Sepuluh tahun yang lalu, ketika itu aku sedang mengerjakan setumpuk PR yang harus kukerjakan untuk mengejar ketinggalan – lagi-lagi aku harus absen seminggu karena sakit. Suara gemericik air dari MCK sebelah berhenti, disusul suara pintu berderit membuka dan gumaman Jelita yang menyenandungkan lagu ‘Sirih Kuning’, kemarin ia membantuku belajar lagu itu untuk pelajaran kesenian.
Pintu depan membuka dan aku langsung menyimpan PR-ku. Aku tidak ingin melewatkan ritual yang sudah kulihat entah sudah keberapa ratus kalinya, tapi tetap saja tidak membosankan. Perlahan, aku menyibak sedikit gorden yang memisahkan ruang tidur dan ruang depan. Jeliat membuka tas berisi kosmetik, menegakkan kaca dan menatap bayangannya di cermin. Ia tersenyum pada bayangannya sendiri.
Ia selalu memulai ritual beriasnya dengan senyuman, mengenakan kunci keindahan setiap wanita seperti katanya. Tidak heran orang memanggilnya Jelita, siapa yang tidak terpesona melihat senyuman seindah itu? Terutama bintang yang selalu berbinar di kedua matanya setiap kali ia tersenyum. Bintang yang memiliki kekuatan seperti lubang hitam di luar angkasa, menarik benda-benda di sekitarnya.
Aku sudah hafal urutan ritualnya, dimulai dengan susu pembersih. Perlahan-lahan diusapkan ke pipi, kening dan dagu dengan kapas. Menurutku, Jelita sudah cukup cantik hanya dengan susu pembersih itu. Ia tidak perlu bedak, lipstik, pinsil alis atau kosmetik lainnya. Aku paling suka melihatnya setelah mencuci muka dan mengenakan susu pembersih, seperti saat ia membangunkanku setiap pagi.
Ia selalu bangun lebih awal dariku. Kemudian setelah mandi dan membersihkan wajah, ia membangunkanku, mengantarku ke MCK untuk mandi, mendandaniku, dengan bedak bayi dan minyak telon, sebelum kemudian mengantarku ke sekolah. Di jalan menuju gang depan rumah kami, aku menyadari beberapa mata yang menatap Jelita dengan hina dari ujung rambut hingga ujung kaki … kemudian bertambah jijik saat melihatku. Jelita tidak perduli, dengan dagu tegak ia berjalan penuh percaya diri, menggandeng tanganku erat-erat dan kadang menarikku pelan kalau aku mulai bersembunyi di belakang punggungnya.
“Jangan bersembunyi begitu, Permata …” ujar Jelita. “Biar semua orang melihat keindahan perhiasanku yang satu ini!”
Melihat bayanganku di etalase toko yang masih tutup saat kami lewati, terkadang aku minder. Jelita dengan segala pesonanya dan aku yang tampak bagai itik buruk rupa.
“Kamu adalah perhiasanku yang paling indah!” Jelita menatap mataku dalam-dalam. “Karena kamu adalah bukti kalau aku masih memiliki cinta di hidupku.”
Akal anak kecilku tidak bisa mencerna apa arti kata-kata Jelita saat itu. Tapi satu hal yang aku yakini, Jelita mencintaiku dan ia adalah sosok yang paling sempurna di mataku. Ketika wanita yang pernah kupanggil ‘Ibu’ meninggalkan rumah dan tidak kembali lagi, kukira ia akan langsung membawaku ke panti asuhan seperti yang dikatakan teman-temanku. Apalagi sebelum pergi, ‘Ibu’ sempat berkata kalau aku adalah kesalahan, tidak seharusnya aku lahir dan ia tidak mau melihat wajahku lagi.
Namun Jelita berkata padaku kalau ia tidak perduli kalau ada berkompi-kompi serdadu yang menyerang rumah ini, ia tidak akan pernah menyerahkanku pada siapapun. Jelas, aku jauh lebih mempercayai Jelita ketimbang sekelompok anak-anak yang bahkan sering berbohong untuk hal-hal kecil seperti tugas piket di sekolah. Jelita tidak pernah berbohong padaku.
Setiap kali hendak melepasku di gerbang sekolah, kurasakan genggaman tangan Jelita semakin erat. Jelita tahu, gedung bercat warna-warni dengan anak-anak yang bermain dengan riang di lapangan itu hampir sama menegangkannya dengan hutan rimba yang dipenuhi pemangsa. Jelita pernah mengalami penindasan kejam yang membuatnya pernah mencoba bunuh diri di sekolah dulu, sampai sekarang bekas luka di pergelangan tangan kirinya masih tampak samar-samar kalau diperhatikan dengan seksama.
“Baik-baik di sekolah, Permata …” Jelita memelukku erat-erat, aku menghirup dalam-dalam wangi tubuhnya. “Sampai nanti jam 1 siang.”
Kemudian ia membungkuk, menunjuk pipinya agar kucium. Aku mencium kedua pipinya masing-masing sekali, kadang dua kali. Teman-teman yang melihat meneriaki dan mengejekku, tapi aku tidak perduli. Aku tidak malu mencium Jelita di depan umum, walau mereka menganggap kelakuanku itu ‘seperti anak kecil’. Kalau syarat ‘menjadi remaja’ menurut mereka adalah tidak boleh mencium pipi keluarga di depan umum tapi harus mencium bibir cowok asing secara sembunyi-sembunyi di belakang sekolah, aku memilih tetap menjadi anak kecil.
Ketika aku pulang, Jelita sudah mempersiapkan makan siang untukku. Seperti sudah dikomando, perutku langsung berbunyi. Di sekolah, aku jarang merasa lapar dan paling hanya membeli minum di jam istirahat siang. Gara-gara ini juga guru di sekolah sempat menyangka aku kena gangguan perilaku makan dan memanggil Jelita ke sekolah untuk bicara 4 mata. Jelita tertawa mendengar prasangka guru-guruku itu. Ia yang tahu kalau di rumah aku menyantap habis semua makanan yang ia sajikan.
“Jangan dihiraukan!” kata Jelita. “Mereka tidak mengenal kita sama sekali. Tidak ada yang lebih mengenal aku ketimbang kamu, dan begitu juga sebaliknya!”
Jelita benar seratus persen soal itu. Hanya Jelita yang benar-benar mengenalku luar dalam. Walaupun secara fisik aku dan Jelita bagai bumi dan langit, tapi entah kenapa aku merasa aku jauh lebih mirip dengan Jelita ketimbang Ibu kandungku. Ketika Ibu kandungku pergi, aku sama sekali tidak merasa kehilangan. Di lain pihak, ketika Jelita terlambat pulang setengah jam saja, aku pasti sudah tidak bisa tidur dan menunggu di kamar depan sampai mendengar langkah kaki Jelita mendekati rumah.
“Maaf terlambat, Permata …” Jelita akan menggendongku dan memelukku erat. “Tadi ada sedikit gangguan di jalan, tapi sudah tidak apa-apa sekarang.”
Aku memeluk Jelita semakin erat. Aku tahu gangguan apa yang ia maksud. Pasti deretan laki-laki yang terpesona dengan Jelita dan menginginkan Jelita menjadi milik mereka. Aku tidak mau membagi Jelita dengan siapapun. Persetan walau laki-laki itu berkata mau menerimaku sekalian. Aku tidak mau ada orang lain di antara aku dan Jelita.
Pernah sekali hal itu terjadi, seorang lelaki yang datang hanya untuk menghisap madu Jelita kemudian pergi. Lelaki itu tidak ketahuan jejaknya, setelah menguras hampir separuh tabungan Jelita yang ia siapkan untuk membayar biaya ujian nasionalku. Jelita sempat layu, namun ia bukan tipe orang yang hanya duduk menangis dan mengasihani diri. Dengan cepat ia bangkit, mencari pinjaman kesana-kemari sampai biaya ujianku tercukupi.
“Jelita, kamu luar biasa!” kata salah seorang temannya yang tahu kejadian itu.
“Ini semua karena Permata!” kata Jelita tersenyum bahagia. “Ia adalah rantingku. Tidak perduli seberapa layunya aku, aku pasti akan bangkit kembali selama masih ada Permata.”
Kejadian itu baru sebulan yang lalu, tapi melihat betapa segarnya Jelita seakan-akan kejadian itu sudah berlangsung berpuluh-puluh tahun lalu. Ah, ia sudah selesai berdandan. Kini di hadapanku berdiri sosok Jelita sang primadona Klub Bintang Kejora, glamor dan mempersona. Jelita melangkah keluar dari rumah dan mengunci pintu. Mataku menangkap benda mungil di atas meja makan tempat Jelita berias tadi. Aku mendekati meja makan dan melihat benda itu. Sebuah kartu tanda pengenal.
Bram – Klub Bintang Kejora
Aku meraih kartu itu, tergesa membuka kunci dan berlari mengejarnya.
“Bapaakk!!” teriakku.
Sosok bergaun indah itu berbalik, langkahnya tergesa mendekati rumah. “Permata, jangan keluar rumah sendiri, nduk! Bahaya! Kenapa? Kamu sakit?”
“Kartu Bapak ketinggalan, nanti Bapak tidak bisa masuk kerja …” kataku memberikan kartu itu padanya.
“Aduh, nduk … terimakasih ya! Tapi habis ini kamu jangan keluar-keluar rumah ya. Bahaya, ini sudah malam. Ayo masuk rumah …” Jelita membimbingku masuk lagi ke dalam rumah dan menyuruhku segera mengunci pintu. Ia tidak beranjak sampai ia yakin aku sudah mengunci pintu dan masuk lagi ke dalam kamar.
Aku naik ke atas tempat tidur, memejamkan mata dan mencoba tidur. Bersabar menunggu esok pagi, dimana aku bisa melihat binar cahaya Jelita yang asli.

Aku membimbing Jelita turun ke tempat tidur, ke meja rias kecil yang ada di sudut kamar. Jelita tidak berkata apa-apa. Semenjak serangan stroke yang ia alami, ia menjadi jarang bicara. Hanya sesekali saja ia memanggilku dengan suara pelat. Ia juga jadi jarang tersenyum, sebagian karena sisi kiri wajahnya lumpuh dan kalaupun sedang begitu aku tidak bisa melihat binar bintang di matanya.
Tapi aku adalah ranting bagi Jelita. Aku tidak akan membiarkannya layu berlama-lama.
Aku mendudukannya di atas meja, mengambil sisir dan menyisiri rambut panjangnya. Aku mengepang rambut panjangnya ke belakang punggung, sekarang ia tampak lebih segar dan wajahnya pun lebih jelas terlihat. Aku mengambil susu pembersih, menuangnya di atas kapas dan mulai mengusap wajah yang sudah mulai kisut itu. Perlahan-lahan kabut yang menyelimutinya mulai terhapus. Kedua pipi yang tirus itu seolah mulai bersemu merah muda lagi dan keriput-keriput di wajahnya terasa memudar.
“Lihat, Bapak …” aku menempelkan pipiku ke pipinya, menatap ke arah cermin dengan haru. “Itu cahaya aslinya Jelita. Cantik sekali, Pak … paling cantik diantara yang cantik …”
Dua bulir air mata turun menelusuri pipi tirus itu. Tangan kanannya yang masih kuat bergerak, membelai-belai pipiku.
“Permataku.” Ujarnya dengan suara yang pelat, tapi sarat dengan kasih sayang. “Rantingku.”
Aku memeluk bahu kurusnya dan mencium pipinya. Pandangan mataku sendiri sudah kabur oleh air mata, tapi aku masih bisa melihat dengan jelas kelip bintang di mata Jelita. Bersinar jauh lebih terang dari yang sudah-sudah. 

No comments: