Saturday, November 12, 2011

Not A Fairy Tale

Terinspirasi lagu 'White Horse' - Taylor Swift

Ini sudah ketiga kalinya dalam dua minggu ini ia datang ke puskesmas untuk berobat. Seorang pria yang berusia dua puluh sembilan tahun dengan wajah sangat manis, tubuh tinggi semampai dan tutur bahasa yang halus. Mungkin karena ia seorang guru Kesenian di SMA yang terletak sekitar seratus meter dari Puskesmas ini.

Namanya Arif. Ia pasien pertamaku ketika aku sedang menjalani kepaniteraan klinik ilmu kesehatan masyarakat di puskesmas. Ia datang dengan keluhan macam-macam, sakit maag, sesak nafas dan kepala yang berdenyut-denyut, tetapi aku tidak menemukan kelainan yang berarti saat aku memeriksanya. Aku menyangka keluhan yang ia rasakan itu berhubungan dengan pikiran, jadi aku bertanya hati-hati.

"Apa jangan-jangan karena banyak pikiran, Pak Arif?"

Ia terdiam sejenak, wajah manisnya berubah keruh. Tebakanku tepat. Tapi aku tidak tahu itu adalah keuntungan atau bukan, karena selama sepuluh menit ke depan ia menceritakan padaku apa yang menjadi beban pikirannya. Istrinya, yang tidak tahu dan tidak mau tahu mengenai keadaan dirinya. Istrinya manja, malas mengurus rumah dan judes terhadap anak semata wayang mereka. Istrinya juga selalu mengeluh tentang kecilnya gaji yang Arif terima sebagai guru dan mengomel kenapa Arif tidak mau bekerja saja di perusahaan mertua yang lebih menjanjikan.

Aku kebingungan sekaligus kesal. Hari itu pas hari pertama 'tamu bulanan'-ku datang, udara di luar puskesmas panas setengah mati dan itu ikut memicu emosiku. Sabar Eris, kamu dokter muda di sini ... aku mengucapkan itu berulangkali dalam hati. Padahal aslinya aku mau berkata "Pak! Saya ini baru dua puluh tiga tahun, dan terakhir kali saya pacaran itu umur enam belas tahun, gimana saya mau mengerti masalah Bapak?!"

Di depan Arif aku masih bisa tersenyum dan mengangguk. Hanya itu yang aku lakukan sampai akhirnya ia selesai bicara. Aku menyarankan agar ia menjaga kesehatan dan tidak terlalu lelah, juga memberi resep vitamin. Ia tidak langsung pergi setelah menerima kertas resep, ia menatapku dalam-dalam dengan sepasang mata beningnya sampai aku jengah sendiri, kemudian tersenyum.

"Terimakasih dokter Eris, saya merasa lebih baik sekarang. Selama ini dokter-dokter lain tidak ada yang mau mendengarkan saya, mereka hanya memberi resep obat saja ... saya senang masih ada orang seperti dokter."

Pipiku memerah, aku merasa bahagia karena bisa sedikit mengobati sisi psikologis pasienku. Semangatku untuk melanjutkan kepaniteraan klinik sampai nanti mendapat gelar dokter pun semakin besar. Tapi kemudian aku mulai resah ketika aku tidak juga bisa mengenyahkan wajah manis itu dari pikiranku.

Aku mulai sering melihatnya, kadang pagi waktu aku memarkir mobilku di depan puskesmas, kadang siang hari ketika aku pulang.

"Selamat pagi, Bu Dokter! Baru datang?"

"Selamat siang, Bu Dokter! Pulang?"

Awalnya hanya dua kalimat itu yang rutin ia katakan padaku setiap kali bertemu. Aku hanya mengangguk, lalu membalas basa-basi. "Iya Pak Guru. Bagaimana? Sehat-sehat?"

Suatu kali motornya berhenti dan ia menghampiriku, memberiku sebuah buku yang katanya ia pinjam dari perpustakaan dekat rumah. Buku karya pengarang favoritku, Mira W. ia meminjamkannya padaku karena pengarang buku itu adalah dokter. Aku sudah membaca buku 'Cinta Cuma Sepenggal Dusta' ketika aku SMA dulu dan kami pun berdiskusi soal buku itu sambil duduk-duduk di kantin depan puskesmas.

"Inilah yang saya perlukan, dok ..." kata Arif. "Teman diskusi, yang bisa saya ajak bertukar pikiran mengenai kesukaan saya pada sastra dan seni. Istri saya tidak pernah mau tahu masalah begini, ia hanya suka sinetron dan gosip. Heran kenapa suka sekali mengurusi rumah tangga orang yang bahkan tidak pernah kita temui?"

"Orang kan beda-beda Pak!" aku mulai merasa tidak nyaman.

"Coba saya ketemu dokter lebih awal." ujarnya seraya menatapku selama beberapa detik, lalu menunduk malu-malu. Kemudian ia minta ijin kembali ke sekolah, karena masih ada kegiatan mengajar.

"Saya kira sudah pulang tadi. Maaf saya jadi membuat Pak Guru terlambat!" kataku gugup.

"Tidak apa-apa." ujarnya sambil menstater motornya. "Saya ke sini hanya mau menemui dokter saja kok."

Dan ia pun berlalu. Meninggalkanku yang tertegun bengong di sana. Selama beberapa detik semua terasa bagai kisah cinta Jane Eyre dan Mr. Rochester, tapi kesadaran memalu kepalaku keras, menghancurkan khayalan-khayalanku dan meninggalkanku dalam rasa takut. Apa-apaan aku ini? Duduk-duduk berdua mengobrol dengan suami orang ... bagaimana kalau ada petugas puskesmas yang melihat? Aku ke sini membawa nama fakultas juga!

Aku berusaha menghindarinya, tapi aku tidak bisa mencegahnya semakin sering datang ke Puskesmas untuk berobat. Ada-ada saja keluhannya, sakit perut, pusing, gatal-gatal... tapi hanya selama 2 menit saja ia mengeluh demikian, selanjutnya selalu tentang istrinya. Ia berkata sudah tidak tahan lagi, semakin stress di rumah dan hanya dengan mengobrol denganku ia merasa lega.

Aku akan berkata jujur, ada rasa senang saat aku mengobrol dengannya. Aku merasa dihargai dan dibutuhkan. Arif sangat berbeda dari orang yang selama ini kukenal. Ia cerdas dan berwawasan luas, tapi tidak kemudian menjadi sombong seperti beberapa orang yang aku tahu. Tutur bahasanya halus dan ia juga menghargai pendapat orang lain. Dan kadang aku berpikir ... apa yang terjadi kalau aku bertemu dengannya ketika kami sama-sama single? Bagaimana kalau aku berada dalam posisi Nindya - bekas murid yang sekarang menjadi istrinya.

Tapi aku tetap tidak bisa membayangkan akhir yang membahagiakan, bahkan dalam khayalanku. Sulit membayangkan diriku menggantikan posisi Nindya dan berperan sebagai ibu-ibu ideal di film, penuh senyum mengurus rumah, memasak, mengantarkan bekal ke sekolah untuk suami, menunggu suami pulang sambil bermain dengan anak-anak ... selalu ada yang terasa salah.

Karena ini bukan drama, dimana jika ada bagian yang tidak ter-shooting maka artinya bagian itu tidak penting. Aku belum pernah bertemu dengan Nindya dan anaknya, tapi mereka tetap keluarga Arif. Ini bukan cerita dongeng, dimana kalau aku sebagai tokoh utama akan selalu dibela oleh nasib dan mendapatkan akhir yang membahagiakan. Ini kehidupan nyata, bukan fantasi. Konsekuensi dari setiap tindakan tidak akan pernah bisa diduga dan dihindari. Kemungkinan terburuk masih mungkin terjadi.

Hari itu setelah kegiatan puskemas selesai, aku mengemasi alat-alat periksa di poliklinik yang sudah sepi. Ketika aku baru saja hendak pergi ke luar, aku tersentak melihat Arif ada di sana. Tersenyum manis, tapi aku tahu ia sama resahnya denganku karena berulangkali ia menoleh kesana-kemari memastikan tidak ada yang melihat.

"Ada apa Pak Guru?" tanyaku tanpa bisa menutupi getaran di suaraku.

"Enggak Bu Dokter, saya hanya mau ngasih ini ..." ia memberiku secarik kertas bertuliskan angka-angka. "Nomor HP saya, kalau nanti dokter perlu teman bicara atau apa!"

"Pak Guru, terimakasih sebelumnya atas perhatian Bapak tapi sebaiknya tidak!" tahu-tahu saja kalimat itu meluncur keluar dari bibirku.

"Kenapa Eris?" ujarnya, mengucapkan namaku untuk pertama kalinya. Hatiku semakin tidak karuan, tapi aku berusaha tetap menatap matanya. "Aku hanya mau ngobrol, diskusi sama kamu. Tidak lebih."

Aku menggeleng. "Rasanya tetap salah. Kamu sudah punya Nindya, Arif!"

"Tapi buat aku rasanya benar." Arif bersikeras. "Semua yang aku lakukan kamu, rasanya benar! Justru aku merasa serbasalah kalau sama Nindya."

"Kalau begitu kenapa kamu harus sembunyi-sembunyi seperti ini? Datang waktu kamu tahu sudah tidak ada orang di poli, tergesa-gesa takut ketahuan dan memberi nomer HP?"

Arif terdiam mendengar kata-kataku, kemudian menundukkan kepalanya. Aku tidak melepaskan pandanganku darinya ... seharusnya inilah saat dimana aku menangis, di sinetron-sinetron selalu begitu kan? Tapi tidak. Hatiku terasa sakit, tapi mataku tetap kering.

"Aku merasa bahagia di samping kamu..." lirih suara Arif. "Kamu ramah, kamu perhatian, kamu cerdas dan aku merasa kamu sangat mengerti aku. Tapi sepertinya aku salah ya?"

"Rif, kita hanya bertemu seminggu dua sampai tiga kali, mengobrol selama setengah jam... tidak adil kalau kamu membandingkan aku sama Nindya yang sudah bersama-sama dengan kamu selama enam tahun." kataku. "Kalau kita memutuskan menjalani hidup sama-sama, semakin kita mengenal pasangan kita pasti semakin banyak hal-hal baru yang kita ketahui tentang mereka. Kalau kita terus menghindar dan mencari yang lain setiap kali ada yang tidak berkenan, mau sampai kapan?"

Arif terdiam lagi, kemudian ia menatapku. "Lalu kita harus bagaimana?"

"Aku yakin, kamu lebih tau apa yang harus kamu lakukan."

Arif menjatuhkan kertas berisi nomor HP-nya ke lantai, lalu berbalik dan melangkah pergi dari sana. Langkahnya gontai dan ia tidak menoleh sama sekali. Ia berjalan ke luar, samar-samar aku mendengar suara motor distater. Ah, rupanya ia sengaja memarkir motornya di luar puskesmas supaya tidak menarik perhatian.

Aku mengambil kertas nomor HP Arif dari lantai, menyobek-nyobek lalu membuangnya di tempat sampah. Kemudian sambil berusaha menenangkan diri, aku keluar dari poliklinik menuju mobil. Masih ada sedikit rasa tidak enak ketika aku melewati kantin tempat pertama kali Arif mengutarakan perasaan hatinya padaku dulu, apa yang aku jalani ini bisa dinamakan ... perselingkuhan?

Setidaknya aku sudah mengakhirinya sekarang.


Catatan :
Empat minggu kemudian aku mengakhiri masa kepaniteraan klinik ilmu kesehatan masyarakat. Aku tidak bertemu lagi dengan Arif, tapi di hari terakhir aku sempat melihatnya ketika aku sedang menunggu kereta lewat di lintasan kereta api. Ia sedang duduk di depan klinik bidan bersama seorang wanita yang aku yakini adalah Nindya dan seorang anak kecil yang aku yakini adalah anak mereka. Perut Nindya agak membuncit di bawah daster batik yang ia kenakan. Nindya mengomel sambil mengipas-ngipas wajahnya, tapi dari wajahnya aku tahu sebenarnya ia hanya mau bermanja-manja pada suaminya. Arif tertawa lalu membukakan sebotol air mineral untuk istrinya, sementara anak mereka mengibar-ngibarkan sebuah pamflet di depan wajah ibunya. Aku tidak bisa lama-lama menatap mereka, karena saat itu pintu lintasan kereta mulai dibuka dan angkot di belakangku mulai mengklakson dengan tidak sabar. Itulah kali terakhir aku melihat Arif.

Cause I'm not your princess, this ain't a fairytale
I'm gonna find someone someday who might actually treat me well
This is a big world, that was a small town
There in my rearview mirror disappearing now

White Horse-Taylor Swift

Thursday, November 10, 2011

Cerita Si Seratus

Akhirnya aku menulis juga di blog ini :) blog ini nantinya akan menjadi blog khusus cerpenku. Aku dapat cerita ini dari salah seorang dokter pembimbingku di stase Obgyn RS Polri, dr. Eka yang minta aku menulis cerita 'Andai Aku Adalah Gundu' tahu-tahu aku terpikir cerita ini. Hehehe ... minta komentarnya ya, thank you :)


Cerita Si Seratus

Aku adalah salah satu dari seratus gundu yang ada di dalam stoples kaca berwarna bening. Setiap hari kerjaku hanya berdiam diri, tapi kadang pemilikku menyuntakkan seluruh isi stoples ke luar. Ia tidak kemudian mengadu kami dengan gundu lain kemudian memberikan salah satu dari kami sebagai hadiah untuk si pemenang. Ia mengelap tubuh kami satu demi satu dengan kertas tisu dan cairan pembersih kaca, lalu menaruh kami kembali di dalam kantong beludru kuning dalam keadaan bersih berkilat.

Entah sudah berapa lama sejak aku berpindah tangan. Tadinya aku adalah milik seorang anak bernama ‘Abang’. Dulu aku bagaikan prajurit perang baginya. Aku beserta sepuluh gundu lain, setiap hari kami maju perang melawan gundu-gundu milik lawan Abang. Setiap kali tubuh kami mengenai gundu milik lawan Abang, Abang bersorak gembira dan kemudian gundu itu bergabung dengan pasukan kami. Benar-benar mirip medan perang, hanya saja tidak ada prajurit yang bisa memilih untuk ‘Harakiri’ ala prajurit negeri matahari terbit. Kami berpindah kubu atas kehendak pemimpin pasukan, tidak ada tawar-menawar. Jumlah kami terus bertambah, kadang berkurang tapi kemudian bertambah lebih banyak lagi.

Kemudian tiba masa dimana kami tinggal di stoples dan hanya berdiam diri saja di dalam sana. Tepat ketika jumlah kami genap seratus pasukan gundu. Abang tidak lagi menyuruh kami berperang, dari balik kaca aku sering melihat Abang menghadap sebuah benda berbentuk kotak yang memancarkan cahaya aneka warna. Kotak itu bisa membuat Abang tertawa, marah dan menangis. Abang bisa duduk di depan kotak itu berjam-jam, sampai seorang wanita yang dipanggil ‘Ibu’ oleh Abang menarik telinganya. Kadang kotak itu dibawa keluar oleh Ibu, kalau sudah begitu Abang marah-marah dan mengacak-acak kamarnya. Kami tetap diam di sudut lemari buku Abang, tidak diperdulikan.

“Bagaimana ini? Kita sudah tidak pernah lagi berperang melawan kubu lain!” salah satu dari kami berkata jengkel. Dia adalah gundu berwarna biru telur asin, dulu Abang menyebutnya ‘gundu keberuntungan’ yang selalu berhasil membawa prajurit baru ke markas kami.

“Kita sudah digantikan oleh mereka!” kata gundu bermotif jingga. Ia yang paling agresif, karena sudah pernah berpindah tangan berkali-kali sebelum kemudian bertahan di markas kami. “Benda bernama ‘televisi’ dan ‘game’ itu. Jahat sekali mereka! Mereka bahkan meniru kita, aku pernah melihat mereka membuat ilusi di mata Abang, meniru cara kita berperang sehingga Abang percaya kalau ia sedang bermain dengan kita! Padahal, puih! Yang Abang lakukan hanya duduk diam saja di atas karpet serupa agar-agar raksasa!”

“Hey, kenapa kamu diam saja dari tadi?! Kamu tidak kesal dengan semua ini?!” seru gundu berwarna hitam.

“Terang saja. Dia kan pesolek, kerjanya hanya duduk manis di dasar stoples! Dia dulu langsung lari terbirit-birit ketika aku menyerangnya, sama sekali tidak mau mencoba bertahan. Apa yang ia tahu soal perang?” cemooh gundu berwarna jingga.

Aku tidak menjawab, karena saat itu aku sedang beradu pandang dengan seorang anak perempuan kecil bermata serupa tubuhku. Anak itu bernama ‘Adik’, kadang ia masuk ke kamar Abang dan hanya duduk diam saja memandangi kami berjam-jam. Seringkali Abang marah-marah dan menyuruhnya keluar, padahal ia tidak melakukan apa-apa kecuali memandangi kami. Aku tahu aku tidak boleh gede rasa, karena ada seratus dari kami di dalam stoples ... tapi aku rasa ia tertarik padaku. Ia menatapku lekat-lekat, sesekali menyentuh bagian luar stoples dengan jari mungilnya.

“Adik, kamu ngapain sih?” Abang menghampiri Adik. “Kan Abang sudah bilang jangan masuk ke sini! Nanti kalau kamu kenapa-kenapa Abang yang dimarahi, tau?!”

Adik tidak menjawab. Abang kemudian meraih stoples kami. Seluruh gundu bersorak gembira, menyangka kami akan pergi berperang lagi. Bunyi ‘klik klik klik’ nyaring terdengar, seperti prajurit yang membentur-benturkan tombak mereka ke lantai kalau sedang bersemangat. Akhirnya hari pertempuran ini tiba juga!

Tapi kemudian bunyi itu meredup, ketika Adik tidak menyuruh kami berperang seperti Abang. Adik membuka stoples, mengeluarkan kami satu demi satu, menjejerkan kami di atas hamparan empuk berwarna merah dan bukan di atas tanah berpasir seperti dulu. Mulut Adik menggumamkan ‘satu dua tiga’ sampai ‘seratus’. Aku adalah gundu nomer seratus. Adik memandangiku cukup lama, serius sekali seperti seorang peneliti, kemudian ia mengambil semacam kain basah, mengelap tubuhku sampai berkilau dan wangi. Adik mengamati keadaanku, tersenyum bahagia sebelum memasukkanku lagi ke dalam stoples. Begitu terus, sampai seratus gundu berkumpul lagi di dalam stoples dalam keadaan berkilau dan wangi.

Seluruh gundu kembali bergumam kecewa, khususnya si gundu jingga karena tadi ia yang paling bersemangat maju perang. Aku diam di dasar stoples, menyimpan rasa bahagiaku. Baru kali ini aku dianggap begitu berharga oleh seseorang ... dulu ketika aku masih bersama Abang, Abang menganggapku tidak cukup layak maju perang. Aku tahu karena pernah sekali ketika Abang tidak sengaja mengambilku dari dalam stoples, ia berdecak kesal dan melemparkanku lagi ke dalam stoples.

“Yang itu enggak mantap. Dulu aku gampang banget dapetinnya.” Kata Abang. Gundu-gundu yang lain tertawa mencemoohku, sejak saat itu aku diletakkan di dalam stoples dan tidak pernah maju perang lagi.

Sekarang semua gundu bernasib sama sepertiku. Setiap hari Adik menjejerkan kami, menghitung jumlah kami, mengelap tubuh kami satu-persatu sebelum memasukkan kami ke dalam stoples. Tiga kali sehari, rutin, sampai aku bisa memperkirakan kapan waktunya.
Gundu yang lain tidak lagi marah-marah. Kami sudah pasrah dengan nasib kami sebagai ‘pajangan’. Aku tetap tidak bicara apa-apa, tapi dalam hati aku merasa sedikit gembira. Aku selalu menjadi yang paling terakhir dikeluarkan, paling lama dipandangi, paling teliti dibersihkan dan paling pertama dimasukkan ke dalam stoples. Aku merasa istimewa.

Aku tidak sekedar ‘gede rasa’ di mata Adik aku memang istimewa. Setiap kali Adik ketakutan, aku yang selalu ia cari di dalam stoples dan kemudian ia genggam erat-erat. Aku bisa mendengar suara denyut nadi Adik, yang tadinya cepat kemudian melambat. Hanya dengan menggenggamku atau memutar-mutar tubuhku, Adik bisa tetap tenang sementara Ibu dan Ayah saling berteriak satu sama lain di luar kamar.

“Ini semua gara-gara kamu!” kata Abang suatu kali. “Kenapa kamu tidak bisa normal seperti anak-anak lain? Aku benci kamu. Bikin malu keluarga.”

Kadang Adik membawaku ke luar, tapi bukan untuk berperang. Bagi Adik, aku menjadi semacam jimat keberuntungan. Samar-samar aku mendengar Adik sering diteriaki ‘autis’ dan ‘idiot’, kalau sudah begitu seperti macan betina yang terluka Ibu akan balik meneriaki orang-orang itu. Adik tidak bereaksi, tidak ketika Ibu menciumi keningnya berulangkali sambil menangis dan berkata kalau Ibu tetap mencintainya apapun yang terjadi, juga nanti kalau Ayah jadi menceraikan Ibu dan membawa pergi Abang. Ibu akan tetap mencintai Adik.

Aku rasa itu yang membuatku bisa dekat dengan Adik. Kami saling membutuhkan satu sama lain. Sama seperti Adik yang tidak punya teman, aku juga tidak dianggap oleh gundu yang lain karena aku lemah dalam berperang. Aku tidak bisa bicara atau mengeluarkan cahaya-cahaya seperti ‘televisi’ dan ‘game’ milik Abang, aku hanya bisa berdiam diri dan tampak secemerlang mungkin untuk Adik.

Bagi Adik, aku bisa memberinya rasa aman, membuatnya merasa terlindungi dari dunia luar yang sering membuatnya takut. Kadang aku heran ... dari seratus gundu di dalam stoples, kenapa aku? Seperti apa diriku di mata Adik? Sampai sekarang, ketika Adik semakin besar dan semakin mirip dengan Ibu aku tetap tidak bisa menjawab pertanyaan itu.

Mungkin ... karena Adik mirip Ibu, yang juga bisa mencintai Adik tanpa syarat apa-apa.

Friday, January 7, 2011

Tentang Rasa ...

Aku berlari sekuatku menaiki tangga itu
Aku merasa ia ada di sana, di hadapanku
Ingin sekali aku menyusul langkahnya
Namun ia bagai bersayap
Kepakannya keras
Kecepatannya jauh melampaui tapak kakiku yang letih
Kadang aku terhenti ditengah-tengah anak tangga
Yang seolah tak berujung itu
Tapi dengan keras kepala aku kembali berjalan lagi
Karena aku yakin beberapa langkah lagi aku akan menggapainya
Aku hanya ingin menepuk bahunya
Agar ia berbalik dan tersenyum padaku
Itu saja
Aku ingin memanggil namanya
Sayang nafasku tidak cukup untuk mengucapkan sepatah katapun
Tiba-tiba saja di suatu bagian yang kuyakini sebagai puncak tangga ia berbalik
Aku tidak dapat melihat dengan jelas wajahnya
Karena di belakangnya cahaya matahari bersinar terang
Namun aku yakin, itu dia
Ia melambaikan tangannya di depan dada
Seolah berkata 'jangan menyusulku'
Kemudian ia berbalik dan kini aku bisa melihat dengan jelas
Di punggungnya ada sepasang sayap raksasa keperakan
Hembusan angin menerpa wajahku saat sayapnya mengepak
Aku kembali menaiki anak tangga itu namun langkahku terhenti di puncak tangga
Di hadapanku terhampar langit tak berbatas
Namun ... tidak ada dia
Aku hanya terdiam di sana,
Sementara air mata meleleh membasahi wajahku
Dadaku sesak dan kedua kakiku terasa begitu letih
Karena sudah entah berapa lama aku mengejar sesuatu yang semu
Sampai aku merasakan ada yang menyentuh bahuku
Aku menoleh dan aku lihat dia, adikku ...
Di belakangnya muncul wajah-wajah yang sangat kukenal
Dan mereka semua tersenyum padaku
Adikku mengulurkan tangannya padaku,
Tersenyum tanpa sedikitpun kesan mengejek kebodohanku
Ia hanya berkata
'Sudah siap turun?'