Saturday, July 28, 2012

Diary Anonim

*this story based on a true event, dengan nama, kejadian dan tempat yang sudah kuganti ;) 

Hari itu sesi jaga malamku di stase forensik lumayan sibuk. Aku baru saja menyelesaikan visum ketika HP-ku berbunyi. Ada pesan yang masuk di blackberry messenger, mengatakan ada pemeriksaan luar di ruang post mortem. Huff ... padahal saat meminta keterangan dari korban pemukulan yang adalah seorang anak perempuan berusia tiga belas tahun itu, aku sudah cukup memakan banyak energi. Cerita anak itu agak berbelit-belit dan beberapa kali ia bungkam. Aku membujuknya berkali-kali, memintanya untuk bercerita dan tidak usah takut, karena banyak orang yang melindunginya di sini. Akhirnya ia mau bercerita, kalau pacarnya lah yang memukulinya saat mereka bertengkar.

Miris sekali hatiku mendengarnya ... dia anak  perempuan yang masih berusia13 tahun ... aku ingat betapa insecure-nya aku dulu ketika seusianya. Apalagi pelakunya berusia 18 tahun, lebih tua, lebih dipercaya oleh gadis itu ... apa yang ada di pikiran laki-laki itu ketika melayangkan tinjunya?

"Kamu itu terlalu sabar, Kay." kata Sandy, salah seorang teman jagaku. "Apalagi menghadapi kasus semacam itu. Aku sudah hilang sabar tadi, dikira kerjaan kita hanya dia apa?!"

"Ya namanya juga kasus pemukulan. Apalagi pelakunya pacar sendiri, wajarlah kalau dia shock dan masih denial ... selama ini dia sayang sama pacarnya, percaya sama dia ... pasti dia mikir lah, apa jangan-jangan dia yang salah.", kataku sambil berjalan di sebelah Sandy.

"What bullshit!!" maki Sandy. "Laki-laki yang memukul wanita itu bahkan kebagusan kalau dibilang "sampah masyarakat". By God ya, kalau sampai ada yang berani kayak gitu ke adikku atau ke orang terdekatku, aku akan membuat mereka merasakan hell on earth!"

"Ups, sabar, sabar Mas ... kita harus netral, remember? Tidak boleh memihak. Aku juga marah tadi, aku juga ingin pelakunya dihukum berat. Tapi itu sudah di luar kapasitas kita. Kita sudah melakukan apa yang kita bisa. Selebihnya, urusan penyidik ..." kataku.

Sandy menatapku, lalu nyengir. "Kamu memang calon dokter forensik yang baik."

Aku terbahak. "Amin!"

Kami sampai di ruang post mortem. Desta sedang memeriksa barang-barang si 'pasien' sementara Cathy  mencatat deskripsinya. "Nah syukurlah elo berdua dateng. Kay elo gantiin gue ya, Sandy elo bantu Cathy memeriksa pasiennya."

"Oke. Sip!"

Aku mengenakan sarung tangan dan mulai memeriksa barang-barang yang ada di samping si korban. "Meninggalnya kenapa?" tanyaku.

"Gak tau. Ditemukan di jalan. Belum ada keluarga yang bisa dihubungi." jawab Desta.

"Oh." aku melihat benda-benda yang ada. Sebuah handphone, seplastik uang dan sebuah buku notes kecil bersampul merah. Aku meraih buku itu, karena benda itu yang pertama kali menarik perhatianku. Tanganku hendak membuka halaman pertama buku itu, berharap di dalam buku itu ada nomor telfon keluarga si korban. Tapi kemudian aku teringat. AKu menoleh ke si korban ... seorang pria berusia dua puluhan yang tubuhnya kurus, mengenakan kaus hitam bertuliskan kata makian kasar, jins sobek-sobek dan sandal jepit.

"Bapak, maaf saya lihat bukunya ya. Siapa tahu ada nomer telfon yang bisa saya hubungi.", ujarku.

"Iya, Mbak'e ... buka aja!" Desta menyahut iseng. Aku nyengir.

Halaman pertama buku itu berisi lirik lagu. 'Jujur Saja' by Wonderboy ... begitu tulisannya. Ada huruf-huruf yang ditulis dengan huruf kapital, pertanda itulah bagian yang ditekankan si penulis.

JUJUR SAJA KAU ANGGAP AKU APA?
MENGAPA KAU TAK BERTERUS TERANG?
JUJUR SAJA KU RAGUKAN CINTAMU
KARENA DIRIMU TAK SEPERTI DULU

Di bawah lirik lagu itu ada tulisan : Jujur saja, kau anggap aku apa??

Dheg. Lagi-lagi aku merasa miris. Jika benar si korban (Ia masih dinamakan Mr.X, karena tidak ditemukan KTP atau tanda pengenal lain) yang menulisnya ... saat menulis ini ia pasti sedang galau luar biasa karena merasa terombang-ambing dalam ketidakpastian. Aku membuka halaman berikutnya, mencoba fokus pada menemukan nomer telfon yang bisa dihubungi, tapi lagi-lagi perhatianku teralihkan pada sketsa wajah seorang perempuan berambut keriting panjang seperti ilustrasi novel-novel roman zaman dulu, di bawahnya tertulis : I love you Kirana ... 


Di halaman lain ada catatan kecil. Hari ini ada satu kebahagiaan kecil yang kamu berikan untukku, yaitu kamu membalas sms-ku. Memang singkat, tapi aku tidak berharap banyak kok. Aku tahu kamu sibuk. Aku cukup senang kamu mau membalas sms-ku. 


Aku membalik lagi halamannya. Aku akan tetap menunggu kamu, mencintai kamu ... walau aku tahu kamu tidak perduli sama aku.  


Kirana,
satu nama itu selalu terpatri di hatiku
Kirana,
nama yang sempurna, sesempurna keindahanmu
Kirana,
nama yang menjadi pengganti doaku
setiap fajar membuka hari
Kirana,
ditengah malam beku ini, 
namamu bagaikan lilin kecil yang hangatkan hatiku
Kirana,
aku percaya suatu saat nanti 
kau akan pecaya betapa aku mencintaimu
Kirana,
biarlah kukecap pahit dan hujaman nyeri ini
karena aku yakin, akulah tempatmu pulang


Lalu ada lagi tulisan yang agak cakar ayam, menandakan penulisnya sedang dilanda emosi. Kamu jahat. Kamu hancurkan hatiku. Aku tulus sayang sama kamu, melebihi cinta tunangan kamu itu. Tunangan kamu enggak perduli sama kamu. Dia sering membuat kamu menangis kan? Buka hati kamu, Kirana. Buka sedikit untuk aku. Kenapa kamu tidak pernah menganggap aku ada? Lihat aku di sini, aku tulus mencintai kamu.


Kamu bilang kamu sayang aku. Tiga kata itu kamu ucapkan pagi ini ketika aku tanya bagaimana perasaan kamu ke aku. Dengan gampangnya aku luluh ... ah Kirana, aku memang selalu lemah kalau menyangkut kamu. 


Kirana, malam ini aku sakit lagi. Mungkin besok aku sudah tidak bernyawa. Aku menulis ini dengan sisa-sisa tenaga terakhir aku. Kirana, Kirana ... kamu di mana? Aku mau melihat kamu, sekali saja sebelum aku mati. Aku mencintai kamu, Kirana .... 


"Kay! Kok sampe terpesona gitu sih?" Cathy menepuk bahuku, ia melongok ke buku notes yang masih kubaca. "Ya ampunnn ... lebay sekali!" komentarnya.

"Bapaknya masih bisa denger kata-kata kamu lho!" ujarku.

"Ups! Maaf ya Pak ..." kata Cathy. "Tapi kamu yang fokus dong Kay ... kamu kan mau nyari nomer telfon yang bisa dihubungi, remember?"


"Iya, iya ... sori ..." aku membalik-balik halaman buku itu, mengabaikan tulisan demi tulisan yang melafalkan satu nama : Kirana. Lalu akhirnya aku menemukan beberapa nomer HP, salah satunya adalah nomer HP Kirana. Setelah mendeskripsikan barang-barang korban, aku meminta ijin sejenak menyerahkan buku itu ke petugas administrasi untuk menghubungi nomor telfon itu.

Pemeriksaan luar selesai, dan kami beristirahat di ruang jaga.

Aku memutuskan untuk tidur sejenak, karena tidak tahu apa yang akan datang nanti malam. Kupejamkan mata dan berusaha tidur. Aku teringat dua kasus yang aku hadapi hari ini ... yang satu dikhianati kepercayaannya oleh orang yang ia cintai, yang satu setengah mati mencintai (atau bisa dikatakan ... terobsesi?) ... tanpa bisa kucegah, imajinasiku melayang membayangkan apa jadinya kalau hidup mereka berdua adalah sebuah film romantic comedy. 


Si gadis bertemu dengan si Mr.X ... mungkin saat ia berlari menghindari kejaran pacarnya yang mau memukulinya? Mr.X menghajar pacar si gadis dengan maksud melindungi, kemudian mereka berkenalan, kemudian mereka saling curhat, kemudian mereka jatuh cinta, kemudian mereka melupakan yang menyia-nyiakan mereka dan akhirnya mereka hidup bahagia selamanya? Kenapa tidak bisa seperti itu? Itu ending yang ideal bukan? Menurutku sih ... 


Oh well ...lagi-lagi aku hanya bisa menemukan 'itulah hidup' - whatever that means - sebagai jawaban atas pertanyaanku. Semua orang ingin bahagia, ingin mencintai dan dicintai. Tapi dalam hidup, seringkali tidak bisa sesederhana itu. Haish ... memikirkannya saja sudah pusing. Lebih baik aku tidur dulu, mudah-mudahan nanti malam jagaku aman.

Aku tidak tahu kapan aku terlelap. Tahu-tahu saja aku merasa ada yang berdiri di depanku. Aku memicingkan mata, melihat sosok samar-samar yang kemudian semakin jelas. Seorang pria berambut emo, mengenakan baju hitam bertuliskan makian, jins sobek-sobek dan sandal jepit, tengah menatapku.  Ini kan ... Mr.X yang tadi!! Seruku dalam hati, tapi tidak ada kata-kata yang keluar. Ketika wajahnya semakin jelas, aku melihat sudut-sudut bibirnya terangkat sedikit dan ia mengangguk padaku, sebelum berjalan keluar kamar jaga.

"Kayla ..."

Ada suara laki-laki memanggil namaku. "Kayla? Kayla?" aku merasa ada yang mengguncang bahuku dan aku bangun gelagapan.

Desta nyengir melihatku. "Sori elo udah tidur yah? Barusan ada panggilan ke IGD, ada visum."

"Oh? Mmm ... okeh okeh, bentar ..."

Aku meraih HP yang tadi sedang di- charge, memastikan notesku ada di kantong baju jaga, sebelum mengikuti Desta dan teman-teman lain ke luar kamar jaga. Sepertinya, masih banyak cerita yang akan aku dengar malam ini ...