Wednesday, November 21, 2012

Satu Jam Saja

Aku menatap wajah ayumu. Matamu terpejam, bibir mungilmu yang mengatup mulai membiru, menandakan kalau waktuku tidak banyak. Kita hanya punya waktu satu jam, sayang ... dimulai dari sekarang. Jam sudah dihitung mundur, detik demi detik menguap di udara tanpa sanggup kucegah. Dalam pelukanku, kamu tertidur pulas tanpa menyadari kalau angkot yang membawa kita melewati jalan terjal yang semakin sulit untuk diarungi karena hujan lebat di luar sana. Di dalam angkot ini masih tersisa empat orang. Aku, kamu dan dua orang ibu-ibu. 

Mereka menatap aku dan kamu bergantian. Sorot mata mereka berubah-ubah, sebentar penuh belas kasihan ke arahmu kemudian penuh kutukan ke arahku. Biasanya aku akan memelototi mereka, mata merahku akan menyiratkan perintah untuk mengurusi urusan mereka dan jika tetap tidak dihiraukan, maka terpaksa kusuratkan isyarat itu melalui bentakan dan kata-kata kasar. Tapi kali ini tidak. Aku ingin memuaskan mataku menatap wajah cantikmu yang ada dalam dekapanku, berbisik penuh sayang di telingamu agar kamu tahu betapa aku mencintaimu.

Kita hanya punya waktu satu jam untuk bersama. Sekarang sudah berkurang lagi menjadi empat puluh lima menit. Kalau perkiraanku tepat, empat puluh lima menit lagi kita akan sampai ke tujuan. Ke tempat yang kuibaratkan sebagai pelabuhan dan kamu adalah nahkoda atas perahu kehidupanmu. Aku tidak berhak ikut karena orang yang wajahnya pasti sudah dipajang di dinding pos polisi bagian 'D.P.O' hanya akan menambah sulit perjalananmu.

Cukuplah badai dari luar yang akan menantang langkahmu, sayang ... jangan ada badai dari dalam juga.

Andai saja bisa kumanipulasi waktu semudah aku memanipulasi orang-orang dengan alasan bertahan hidup, aku akan meminta waktu berhenti di sini. Jangan berjalan lagi. Biarlah sisa empat puluh lima menit - ah sekarang sudah tinggal empat puluh empat menit! - tidak habis. Aku tidak ingin meminta terlalu banyak. Tidak ke masa remaja dimana kemarahanku mulai menggelegak seperti lava yang perlahan-lahan merembes naik ke permukaan bumi, sebelum kemudian meledak dan menghancurkan setiap makhluk hidup maupun mati di sekitarnya. 

Aku tidak mau kembali ke masa itu karena aku tahu tidak akan ada yang bisa diperbaiki. Aku harus tetap keluar dari rumah sejak orang-orang berseragam cokelat itu menyeret laki-laki itu keluar dan aku diseret oleh seorang perempuan bersergam sama keluar dari rumah, agar tidak lagi menyentuh pergelangan tangan ibuku sudah tak berdenyut. Aku harus tetap melarikan diri agar tidak masuk ke mulut harimau, padahal aku baru saja lepas dari mulut buaya. Aku harus tetap belajar melumpuhkan nurani karena nurani tidak bisa ditukar dengan perlengkapan untuk memperpanjang hidup. Tidak di kota bernama Jakarta yang serupa rimba beton penuh predator yang tidak hanya membunuh demi makan, tapi juga demi kesenangan. Aku harus tetap mengintimidasi, mencabik, mengerkah dan merampas atau kalau tidak maka imbuhan 'me' akan berubah menjadi 'di'.

Aku juga tidak akan memutar balik waktu agar kamu tidak pernah ada di hidupku, sayangku. Sepanjang hidupku, aku telah membuat kesalahan. Bahkan kelahiranku pun adalah kesalahan. Itu yang terus dikatakan oleh lelaki yang gemar menghantam tubuhku dan belum puas sebelum aku berlumur lebam dan darah. Itu juga yang dikatakan oleh ibu, walau ia mengatakannya sambil mencuci darahku yang bercampur dengan darahnya. Aku lahir dengan kesalahan. Setiap tindakan dan kata-kataku adalah kesalahan. Aku adalah kesalahan.

Lalu kamu datang dalam hidupku. Kamu bidadari yang turun dari khayangan, untuk pertama kali dalam hidupku aku tidak lagi membuat kesalahan. Aku sudah melakukan hal yang tepat ketika aku merengkuhmu dalam dekapanku dan membawamu pergi bersamaku. Kini kamu ada di sini, bersamaku. Tidak bisa aku ungkapkan perasaan bahagia yang ada dalam hatiku, sayangku. Kuucap nama-Nya seolah baru pertama kali aku menyebut. Kuhaturkan syukur pada-Nya atas dirimu.

Andai bisa kubalas kebaikan-Nya, aku rela menjual jiwaku karena sampai sekarang aku tidak tahu apa gunanya jiwa itu masih bercokol dalam ragaku. Sudah kutenggak racun hitam dalam bentuk gas, padat maupun cair, tapi tetap saja jiwa itu masih dengan keras kepalanya melekat. Setiap malam aku menjual jiwaku, menawarkannya pada setiap setan yang lewat, tapi tetap saja tidak ada yang mau. Apa jiwaku seburuk itu sampai setanpun tidak mau? Kalau begitu apa Ia mau membelinya?

Ah, omong apa aku ini. Ia bukanlah pedagang yang bermain jual beli. Bila kuberi sekian maka ia akan memberiku sekian. Tidak. Ia adalah ... 

Aku sudah tidak ingat lagi apa saja perumpamaan tentang diri-Nya yang diciptakan manusia untuk bisa memahami-Nya. Sebagian otakku sudah mati. 

Sayangku, tiga puluh menit sudah berlalu. Lima belas menit sisa waktu kita. Angkot yang membawa kita sudah menderu pergi setelah menurunkan kita di pinggir jalan. Ia melesat bagai kesetanan, seakan masih mengejar setoran. Padahal sekarang sudah jam sebelas malam. Mungkin ia sudah tidak sabar cepat-cepat menepi ke pangkalan dan mencuci seisi angkot luar dalam dengan air kembang. Lihat sayangku, bahkan di mata orang yang tidak kukenal pun mereka sudah tahu aku ini kesalahan. 

Aku menggendong tubuh mungilmu. Matamu membuka, menatapku. Menatap setiap rajahan yang ada di tubuhku yang tak berbaju. Andai saja masih ada waktu, aku akan menerangkan apa cerita di setiap rajahan itu. Tapi kali ini, cukuplah kamu tahu satu. Gambar malaikat dengan tulisan namamu di bawahnya : Liana. 

"Kamu lihat ini sayang? Ini aku buat untuk kamu ..." bisikku. Dua bulir air mata meluncur turun dari pipiku, ke pipimu. Kuhapus air mata itu tanpa bicara karena tenggorokanku seperti sedang dicekik orang. 

Lima, empat, tiga, dua, satu. Waktu kita sudah habis sayang. Harus kuucapkan selamat berpisah padamu sekarang. Kutatap rumah megah di hadapanku. Inilah pelabuhan tempat aku akan melepasmu sayang. Maaf tidak ada letusan senjata atau deru marching band bisa kusiapkan untukmu. Aku hanya bisa mengantar kepergianmu dengan doaku. Semoga jalan hidupmu tidak sedikitpun sama denganku. Bila harus kubayar semua kesalahanku dengan kematian di ujung belati atau timah panas, aku rela. Asal tidak dengan satu saja goresan di lahir ataupun batinmu. 

Aku melangkah gontai. Meninggalkanmu yang mulai menangis, berteriak-teriak membelah kesunyian malam. Aku bersembunyi di balik bayangan gelap malam. Seorang wanita berdaster bunga-bunga keluar dari rumah, bibirnya meneriakan nama-Nya saat melihatmu. Ia mengangkat tubuh mungilmu dan mengambil kertas yang kuselipkan di balik bebatan kain batik yang membungkus tubuhmu. Ia membaca tulisan di sana tanpa bicara, tapi aku masih hafal sekali apa isi tulisan itu. 

Tolong rawat bayi ini baik-baik, namanya Liana. 
Ibunya sudah meninggal dunia saat melahirkannya.
Ayahnya seorang preman yang mungkin sebentar lagi mati atau dipenjara.
Beritahu Liana bila ia sudah cukup besar untuk mengerti,
Bahwa tidak pernah sekalipun kami ingin menyingkirkannya,
Kami berdua sangat mencintainya

Ayah Liana