Wednesday, November 21, 2012

Satu Jam Saja

Aku menatap wajah ayumu. Matamu terpejam, bibir mungilmu yang mengatup mulai membiru, menandakan kalau waktuku tidak banyak. Kita hanya punya waktu satu jam, sayang ... dimulai dari sekarang. Jam sudah dihitung mundur, detik demi detik menguap di udara tanpa sanggup kucegah. Dalam pelukanku, kamu tertidur pulas tanpa menyadari kalau angkot yang membawa kita melewati jalan terjal yang semakin sulit untuk diarungi karena hujan lebat di luar sana. Di dalam angkot ini masih tersisa empat orang. Aku, kamu dan dua orang ibu-ibu. 

Mereka menatap aku dan kamu bergantian. Sorot mata mereka berubah-ubah, sebentar penuh belas kasihan ke arahmu kemudian penuh kutukan ke arahku. Biasanya aku akan memelototi mereka, mata merahku akan menyiratkan perintah untuk mengurusi urusan mereka dan jika tetap tidak dihiraukan, maka terpaksa kusuratkan isyarat itu melalui bentakan dan kata-kata kasar. Tapi kali ini tidak. Aku ingin memuaskan mataku menatap wajah cantikmu yang ada dalam dekapanku, berbisik penuh sayang di telingamu agar kamu tahu betapa aku mencintaimu.

Kita hanya punya waktu satu jam untuk bersama. Sekarang sudah berkurang lagi menjadi empat puluh lima menit. Kalau perkiraanku tepat, empat puluh lima menit lagi kita akan sampai ke tujuan. Ke tempat yang kuibaratkan sebagai pelabuhan dan kamu adalah nahkoda atas perahu kehidupanmu. Aku tidak berhak ikut karena orang yang wajahnya pasti sudah dipajang di dinding pos polisi bagian 'D.P.O' hanya akan menambah sulit perjalananmu.

Cukuplah badai dari luar yang akan menantang langkahmu, sayang ... jangan ada badai dari dalam juga.

Andai saja bisa kumanipulasi waktu semudah aku memanipulasi orang-orang dengan alasan bertahan hidup, aku akan meminta waktu berhenti di sini. Jangan berjalan lagi. Biarlah sisa empat puluh lima menit - ah sekarang sudah tinggal empat puluh empat menit! - tidak habis. Aku tidak ingin meminta terlalu banyak. Tidak ke masa remaja dimana kemarahanku mulai menggelegak seperti lava yang perlahan-lahan merembes naik ke permukaan bumi, sebelum kemudian meledak dan menghancurkan setiap makhluk hidup maupun mati di sekitarnya. 

Aku tidak mau kembali ke masa itu karena aku tahu tidak akan ada yang bisa diperbaiki. Aku harus tetap keluar dari rumah sejak orang-orang berseragam cokelat itu menyeret laki-laki itu keluar dan aku diseret oleh seorang perempuan bersergam sama keluar dari rumah, agar tidak lagi menyentuh pergelangan tangan ibuku sudah tak berdenyut. Aku harus tetap melarikan diri agar tidak masuk ke mulut harimau, padahal aku baru saja lepas dari mulut buaya. Aku harus tetap belajar melumpuhkan nurani karena nurani tidak bisa ditukar dengan perlengkapan untuk memperpanjang hidup. Tidak di kota bernama Jakarta yang serupa rimba beton penuh predator yang tidak hanya membunuh demi makan, tapi juga demi kesenangan. Aku harus tetap mengintimidasi, mencabik, mengerkah dan merampas atau kalau tidak maka imbuhan 'me' akan berubah menjadi 'di'.

Aku juga tidak akan memutar balik waktu agar kamu tidak pernah ada di hidupku, sayangku. Sepanjang hidupku, aku telah membuat kesalahan. Bahkan kelahiranku pun adalah kesalahan. Itu yang terus dikatakan oleh lelaki yang gemar menghantam tubuhku dan belum puas sebelum aku berlumur lebam dan darah. Itu juga yang dikatakan oleh ibu, walau ia mengatakannya sambil mencuci darahku yang bercampur dengan darahnya. Aku lahir dengan kesalahan. Setiap tindakan dan kata-kataku adalah kesalahan. Aku adalah kesalahan.

Lalu kamu datang dalam hidupku. Kamu bidadari yang turun dari khayangan, untuk pertama kali dalam hidupku aku tidak lagi membuat kesalahan. Aku sudah melakukan hal yang tepat ketika aku merengkuhmu dalam dekapanku dan membawamu pergi bersamaku. Kini kamu ada di sini, bersamaku. Tidak bisa aku ungkapkan perasaan bahagia yang ada dalam hatiku, sayangku. Kuucap nama-Nya seolah baru pertama kali aku menyebut. Kuhaturkan syukur pada-Nya atas dirimu.

Andai bisa kubalas kebaikan-Nya, aku rela menjual jiwaku karena sampai sekarang aku tidak tahu apa gunanya jiwa itu masih bercokol dalam ragaku. Sudah kutenggak racun hitam dalam bentuk gas, padat maupun cair, tapi tetap saja jiwa itu masih dengan keras kepalanya melekat. Setiap malam aku menjual jiwaku, menawarkannya pada setiap setan yang lewat, tapi tetap saja tidak ada yang mau. Apa jiwaku seburuk itu sampai setanpun tidak mau? Kalau begitu apa Ia mau membelinya?

Ah, omong apa aku ini. Ia bukanlah pedagang yang bermain jual beli. Bila kuberi sekian maka ia akan memberiku sekian. Tidak. Ia adalah ... 

Aku sudah tidak ingat lagi apa saja perumpamaan tentang diri-Nya yang diciptakan manusia untuk bisa memahami-Nya. Sebagian otakku sudah mati. 

Sayangku, tiga puluh menit sudah berlalu. Lima belas menit sisa waktu kita. Angkot yang membawa kita sudah menderu pergi setelah menurunkan kita di pinggir jalan. Ia melesat bagai kesetanan, seakan masih mengejar setoran. Padahal sekarang sudah jam sebelas malam. Mungkin ia sudah tidak sabar cepat-cepat menepi ke pangkalan dan mencuci seisi angkot luar dalam dengan air kembang. Lihat sayangku, bahkan di mata orang yang tidak kukenal pun mereka sudah tahu aku ini kesalahan. 

Aku menggendong tubuh mungilmu. Matamu membuka, menatapku. Menatap setiap rajahan yang ada di tubuhku yang tak berbaju. Andai saja masih ada waktu, aku akan menerangkan apa cerita di setiap rajahan itu. Tapi kali ini, cukuplah kamu tahu satu. Gambar malaikat dengan tulisan namamu di bawahnya : Liana. 

"Kamu lihat ini sayang? Ini aku buat untuk kamu ..." bisikku. Dua bulir air mata meluncur turun dari pipiku, ke pipimu. Kuhapus air mata itu tanpa bicara karena tenggorokanku seperti sedang dicekik orang. 

Lima, empat, tiga, dua, satu. Waktu kita sudah habis sayang. Harus kuucapkan selamat berpisah padamu sekarang. Kutatap rumah megah di hadapanku. Inilah pelabuhan tempat aku akan melepasmu sayang. Maaf tidak ada letusan senjata atau deru marching band bisa kusiapkan untukmu. Aku hanya bisa mengantar kepergianmu dengan doaku. Semoga jalan hidupmu tidak sedikitpun sama denganku. Bila harus kubayar semua kesalahanku dengan kematian di ujung belati atau timah panas, aku rela. Asal tidak dengan satu saja goresan di lahir ataupun batinmu. 

Aku melangkah gontai. Meninggalkanmu yang mulai menangis, berteriak-teriak membelah kesunyian malam. Aku bersembunyi di balik bayangan gelap malam. Seorang wanita berdaster bunga-bunga keluar dari rumah, bibirnya meneriakan nama-Nya saat melihatmu. Ia mengangkat tubuh mungilmu dan mengambil kertas yang kuselipkan di balik bebatan kain batik yang membungkus tubuhmu. Ia membaca tulisan di sana tanpa bicara, tapi aku masih hafal sekali apa isi tulisan itu. 

Tolong rawat bayi ini baik-baik, namanya Liana. 
Ibunya sudah meninggal dunia saat melahirkannya.
Ayahnya seorang preman yang mungkin sebentar lagi mati atau dipenjara.
Beritahu Liana bila ia sudah cukup besar untuk mengerti,
Bahwa tidak pernah sekalipun kami ingin menyingkirkannya,
Kami berdua sangat mencintainya

Ayah Liana

Thursday, August 23, 2012

Bintang di Mata Jelita


Miris sekali hatiku melihat keadaannya saat ini. Rambutnya kusut masai menutupi sebagian wajah tirus dengan mata cekung yang redup. Ah Jelita, tidak seharusnya kau seperti ini … dulu kau begitu cantik, dengan rambut panjang halus terurai, pipi bersemu kemerahan dan bintang yang bersinar di matamu. Dulu kau bagai bunga mawar yang merekah segar. Pesonamu memikat banyak kumbang … namun kau tidak membiarkan mereka lolos begitu saja dari semak durimu. 
Tidak sedikit orang yang iri padamu, menganggap kau memagari tubuhmu dengan duri-duri karena kau begitu sombong akan kecantikanmu. Mereka tidak tahu kalau di balik duri-durimu itu bukanlah kecantikanmu yang kau lindungi, melainkan aku. Aku yang rapuh serupa daun kering … namun kau perlakukan seperti permata yang paling berharga.
Itulah nama yang kau pilih untukku, Permata. Hampir semua orang tertawa mengejek saat tahu itu namaku. Nama itu tidak layak untuk seorang anak kurus kerempeng, berkulit cokelat kelam dan rutin sebulan sekali berobat ke puskesmas. Hanya di sampingmu aku merasa cantik dan berharga.
“Tersenyumlah, Permata …” itu yang selalu kau ucapkan setiap pagi. “Senyum adalah kunci keindahan seorang wanita.”
Kenapa kini kau begitu murung, Jelita? Tersenyumlah.
Aku baru menyadari secarik kertas yang ada di pangkuannya. Sebuah poster yang warnanya mulai pudar, tapi masih bisa kukenali tulisan dan gambarnya. Hatiku semakin miris …
“Klub Bintang Kejora Mempersembahkan … Jelita sang Primadona!”
Di bawahnya terdapat foto sang Primadona. Bintang di matanya bersinar terang menyilaukan, kedua tangannya terentang ke atas bagai sang juara, bibir merahnya yang semanis madu mengembang dalam seulas senyuman jumawa, wajahnya begitu ayu dan sangat serasi dengan gaun mewah yang ia kenakan … Jelita sang Primadona.
Kau menoleh, matamu beradu pandang denganku. Tidak ada bintang yang bersinar di sana. Tapi aku tahu bintang di matamu hanya tertutup awan, tidak lenyap. Bintang di galaksi mungkin punya batas usia, sebelum mereka hancur jadi debu yang beterbangan di ruang hampa udara … tapi tidak dengan bintang di matamu, Jelita.
Aku akan terus berusaha menyingkirkan awan di kedua mata itu. Di mata kanannya terdapat awan putih tipis bernama katarak yang rencananya akan dioperasi. Tapi aku tahu, aku bisa mendahului operasi dalam mengembalikan sinarnya. 
Kalau orang lain menganggap Jelita tidak bisa bersinar tanpa Klub Bintang Kejora yang sudah habis dibakar massa lima tahun lalu, mereka salah besar. Jelita punya sinarnya sendiri. Akan aku buat Jelita kembali bersinar sendiri. Seperti sepuluh tahun yang lalu …

Sepuluh tahun yang lalu, ketika itu aku sedang mengerjakan setumpuk PR yang harus kukerjakan untuk mengejar ketinggalan – lagi-lagi aku harus absen seminggu karena sakit. Suara gemericik air dari MCK sebelah berhenti, disusul suara pintu berderit membuka dan gumaman Jelita yang menyenandungkan lagu ‘Sirih Kuning’, kemarin ia membantuku belajar lagu itu untuk pelajaran kesenian.
Pintu depan membuka dan aku langsung menyimpan PR-ku. Aku tidak ingin melewatkan ritual yang sudah kulihat entah sudah keberapa ratus kalinya, tapi tetap saja tidak membosankan. Perlahan, aku menyibak sedikit gorden yang memisahkan ruang tidur dan ruang depan. Jeliat membuka tas berisi kosmetik, menegakkan kaca dan menatap bayangannya di cermin. Ia tersenyum pada bayangannya sendiri.
Ia selalu memulai ritual beriasnya dengan senyuman, mengenakan kunci keindahan setiap wanita seperti katanya. Tidak heran orang memanggilnya Jelita, siapa yang tidak terpesona melihat senyuman seindah itu? Terutama bintang yang selalu berbinar di kedua matanya setiap kali ia tersenyum. Bintang yang memiliki kekuatan seperti lubang hitam di luar angkasa, menarik benda-benda di sekitarnya.
Aku sudah hafal urutan ritualnya, dimulai dengan susu pembersih. Perlahan-lahan diusapkan ke pipi, kening dan dagu dengan kapas. Menurutku, Jelita sudah cukup cantik hanya dengan susu pembersih itu. Ia tidak perlu bedak, lipstik, pinsil alis atau kosmetik lainnya. Aku paling suka melihatnya setelah mencuci muka dan mengenakan susu pembersih, seperti saat ia membangunkanku setiap pagi.
Ia selalu bangun lebih awal dariku. Kemudian setelah mandi dan membersihkan wajah, ia membangunkanku, mengantarku ke MCK untuk mandi, mendandaniku, dengan bedak bayi dan minyak telon, sebelum kemudian mengantarku ke sekolah. Di jalan menuju gang depan rumah kami, aku menyadari beberapa mata yang menatap Jelita dengan hina dari ujung rambut hingga ujung kaki … kemudian bertambah jijik saat melihatku. Jelita tidak perduli, dengan dagu tegak ia berjalan penuh percaya diri, menggandeng tanganku erat-erat dan kadang menarikku pelan kalau aku mulai bersembunyi di belakang punggungnya.
“Jangan bersembunyi begitu, Permata …” ujar Jelita. “Biar semua orang melihat keindahan perhiasanku yang satu ini!”
Melihat bayanganku di etalase toko yang masih tutup saat kami lewati, terkadang aku minder. Jelita dengan segala pesonanya dan aku yang tampak bagai itik buruk rupa.
“Kamu adalah perhiasanku yang paling indah!” Jelita menatap mataku dalam-dalam. “Karena kamu adalah bukti kalau aku masih memiliki cinta di hidupku.”
Akal anak kecilku tidak bisa mencerna apa arti kata-kata Jelita saat itu. Tapi satu hal yang aku yakini, Jelita mencintaiku dan ia adalah sosok yang paling sempurna di mataku. Ketika wanita yang pernah kupanggil ‘Ibu’ meninggalkan rumah dan tidak kembali lagi, kukira ia akan langsung membawaku ke panti asuhan seperti yang dikatakan teman-temanku. Apalagi sebelum pergi, ‘Ibu’ sempat berkata kalau aku adalah kesalahan, tidak seharusnya aku lahir dan ia tidak mau melihat wajahku lagi.
Namun Jelita berkata padaku kalau ia tidak perduli kalau ada berkompi-kompi serdadu yang menyerang rumah ini, ia tidak akan pernah menyerahkanku pada siapapun. Jelas, aku jauh lebih mempercayai Jelita ketimbang sekelompok anak-anak yang bahkan sering berbohong untuk hal-hal kecil seperti tugas piket di sekolah. Jelita tidak pernah berbohong padaku.
Setiap kali hendak melepasku di gerbang sekolah, kurasakan genggaman tangan Jelita semakin erat. Jelita tahu, gedung bercat warna-warni dengan anak-anak yang bermain dengan riang di lapangan itu hampir sama menegangkannya dengan hutan rimba yang dipenuhi pemangsa. Jelita pernah mengalami penindasan kejam yang membuatnya pernah mencoba bunuh diri di sekolah dulu, sampai sekarang bekas luka di pergelangan tangan kirinya masih tampak samar-samar kalau diperhatikan dengan seksama.
“Baik-baik di sekolah, Permata …” Jelita memelukku erat-erat, aku menghirup dalam-dalam wangi tubuhnya. “Sampai nanti jam 1 siang.”
Kemudian ia membungkuk, menunjuk pipinya agar kucium. Aku mencium kedua pipinya masing-masing sekali, kadang dua kali. Teman-teman yang melihat meneriaki dan mengejekku, tapi aku tidak perduli. Aku tidak malu mencium Jelita di depan umum, walau mereka menganggap kelakuanku itu ‘seperti anak kecil’. Kalau syarat ‘menjadi remaja’ menurut mereka adalah tidak boleh mencium pipi keluarga di depan umum tapi harus mencium bibir cowok asing secara sembunyi-sembunyi di belakang sekolah, aku memilih tetap menjadi anak kecil.
Ketika aku pulang, Jelita sudah mempersiapkan makan siang untukku. Seperti sudah dikomando, perutku langsung berbunyi. Di sekolah, aku jarang merasa lapar dan paling hanya membeli minum di jam istirahat siang. Gara-gara ini juga guru di sekolah sempat menyangka aku kena gangguan perilaku makan dan memanggil Jelita ke sekolah untuk bicara 4 mata. Jelita tertawa mendengar prasangka guru-guruku itu. Ia yang tahu kalau di rumah aku menyantap habis semua makanan yang ia sajikan.
“Jangan dihiraukan!” kata Jelita. “Mereka tidak mengenal kita sama sekali. Tidak ada yang lebih mengenal aku ketimbang kamu, dan begitu juga sebaliknya!”
Jelita benar seratus persen soal itu. Hanya Jelita yang benar-benar mengenalku luar dalam. Walaupun secara fisik aku dan Jelita bagai bumi dan langit, tapi entah kenapa aku merasa aku jauh lebih mirip dengan Jelita ketimbang Ibu kandungku. Ketika Ibu kandungku pergi, aku sama sekali tidak merasa kehilangan. Di lain pihak, ketika Jelita terlambat pulang setengah jam saja, aku pasti sudah tidak bisa tidur dan menunggu di kamar depan sampai mendengar langkah kaki Jelita mendekati rumah.
“Maaf terlambat, Permata …” Jelita akan menggendongku dan memelukku erat. “Tadi ada sedikit gangguan di jalan, tapi sudah tidak apa-apa sekarang.”
Aku memeluk Jelita semakin erat. Aku tahu gangguan apa yang ia maksud. Pasti deretan laki-laki yang terpesona dengan Jelita dan menginginkan Jelita menjadi milik mereka. Aku tidak mau membagi Jelita dengan siapapun. Persetan walau laki-laki itu berkata mau menerimaku sekalian. Aku tidak mau ada orang lain di antara aku dan Jelita.
Pernah sekali hal itu terjadi, seorang lelaki yang datang hanya untuk menghisap madu Jelita kemudian pergi. Lelaki itu tidak ketahuan jejaknya, setelah menguras hampir separuh tabungan Jelita yang ia siapkan untuk membayar biaya ujian nasionalku. Jelita sempat layu, namun ia bukan tipe orang yang hanya duduk menangis dan mengasihani diri. Dengan cepat ia bangkit, mencari pinjaman kesana-kemari sampai biaya ujianku tercukupi.
“Jelita, kamu luar biasa!” kata salah seorang temannya yang tahu kejadian itu.
“Ini semua karena Permata!” kata Jelita tersenyum bahagia. “Ia adalah rantingku. Tidak perduli seberapa layunya aku, aku pasti akan bangkit kembali selama masih ada Permata.”
Kejadian itu baru sebulan yang lalu, tapi melihat betapa segarnya Jelita seakan-akan kejadian itu sudah berlangsung berpuluh-puluh tahun lalu. Ah, ia sudah selesai berdandan. Kini di hadapanku berdiri sosok Jelita sang primadona Klub Bintang Kejora, glamor dan mempersona. Jelita melangkah keluar dari rumah dan mengunci pintu. Mataku menangkap benda mungil di atas meja makan tempat Jelita berias tadi. Aku mendekati meja makan dan melihat benda itu. Sebuah kartu tanda pengenal.
Bram – Klub Bintang Kejora
Aku meraih kartu itu, tergesa membuka kunci dan berlari mengejarnya.
“Bapaakk!!” teriakku.
Sosok bergaun indah itu berbalik, langkahnya tergesa mendekati rumah. “Permata, jangan keluar rumah sendiri, nduk! Bahaya! Kenapa? Kamu sakit?”
“Kartu Bapak ketinggalan, nanti Bapak tidak bisa masuk kerja …” kataku memberikan kartu itu padanya.
“Aduh, nduk … terimakasih ya! Tapi habis ini kamu jangan keluar-keluar rumah ya. Bahaya, ini sudah malam. Ayo masuk rumah …” Jelita membimbingku masuk lagi ke dalam rumah dan menyuruhku segera mengunci pintu. Ia tidak beranjak sampai ia yakin aku sudah mengunci pintu dan masuk lagi ke dalam kamar.
Aku naik ke atas tempat tidur, memejamkan mata dan mencoba tidur. Bersabar menunggu esok pagi, dimana aku bisa melihat binar cahaya Jelita yang asli.

Aku membimbing Jelita turun ke tempat tidur, ke meja rias kecil yang ada di sudut kamar. Jelita tidak berkata apa-apa. Semenjak serangan stroke yang ia alami, ia menjadi jarang bicara. Hanya sesekali saja ia memanggilku dengan suara pelat. Ia juga jadi jarang tersenyum, sebagian karena sisi kiri wajahnya lumpuh dan kalaupun sedang begitu aku tidak bisa melihat binar bintang di matanya.
Tapi aku adalah ranting bagi Jelita. Aku tidak akan membiarkannya layu berlama-lama.
Aku mendudukannya di atas meja, mengambil sisir dan menyisiri rambut panjangnya. Aku mengepang rambut panjangnya ke belakang punggung, sekarang ia tampak lebih segar dan wajahnya pun lebih jelas terlihat. Aku mengambil susu pembersih, menuangnya di atas kapas dan mulai mengusap wajah yang sudah mulai kisut itu. Perlahan-lahan kabut yang menyelimutinya mulai terhapus. Kedua pipi yang tirus itu seolah mulai bersemu merah muda lagi dan keriput-keriput di wajahnya terasa memudar.
“Lihat, Bapak …” aku menempelkan pipiku ke pipinya, menatap ke arah cermin dengan haru. “Itu cahaya aslinya Jelita. Cantik sekali, Pak … paling cantik diantara yang cantik …”
Dua bulir air mata turun menelusuri pipi tirus itu. Tangan kanannya yang masih kuat bergerak, membelai-belai pipiku.
“Permataku.” Ujarnya dengan suara yang pelat, tapi sarat dengan kasih sayang. “Rantingku.”
Aku memeluk bahu kurusnya dan mencium pipinya. Pandangan mataku sendiri sudah kabur oleh air mata, tapi aku masih bisa melihat dengan jelas kelip bintang di mata Jelita. Bersinar jauh lebih terang dari yang sudah-sudah. 

Saturday, July 28, 2012

Diary Anonim

*this story based on a true event, dengan nama, kejadian dan tempat yang sudah kuganti ;) 

Hari itu sesi jaga malamku di stase forensik lumayan sibuk. Aku baru saja menyelesaikan visum ketika HP-ku berbunyi. Ada pesan yang masuk di blackberry messenger, mengatakan ada pemeriksaan luar di ruang post mortem. Huff ... padahal saat meminta keterangan dari korban pemukulan yang adalah seorang anak perempuan berusia tiga belas tahun itu, aku sudah cukup memakan banyak energi. Cerita anak itu agak berbelit-belit dan beberapa kali ia bungkam. Aku membujuknya berkali-kali, memintanya untuk bercerita dan tidak usah takut, karena banyak orang yang melindunginya di sini. Akhirnya ia mau bercerita, kalau pacarnya lah yang memukulinya saat mereka bertengkar.

Miris sekali hatiku mendengarnya ... dia anak  perempuan yang masih berusia13 tahun ... aku ingat betapa insecure-nya aku dulu ketika seusianya. Apalagi pelakunya berusia 18 tahun, lebih tua, lebih dipercaya oleh gadis itu ... apa yang ada di pikiran laki-laki itu ketika melayangkan tinjunya?

"Kamu itu terlalu sabar, Kay." kata Sandy, salah seorang teman jagaku. "Apalagi menghadapi kasus semacam itu. Aku sudah hilang sabar tadi, dikira kerjaan kita hanya dia apa?!"

"Ya namanya juga kasus pemukulan. Apalagi pelakunya pacar sendiri, wajarlah kalau dia shock dan masih denial ... selama ini dia sayang sama pacarnya, percaya sama dia ... pasti dia mikir lah, apa jangan-jangan dia yang salah.", kataku sambil berjalan di sebelah Sandy.

"What bullshit!!" maki Sandy. "Laki-laki yang memukul wanita itu bahkan kebagusan kalau dibilang "sampah masyarakat". By God ya, kalau sampai ada yang berani kayak gitu ke adikku atau ke orang terdekatku, aku akan membuat mereka merasakan hell on earth!"

"Ups, sabar, sabar Mas ... kita harus netral, remember? Tidak boleh memihak. Aku juga marah tadi, aku juga ingin pelakunya dihukum berat. Tapi itu sudah di luar kapasitas kita. Kita sudah melakukan apa yang kita bisa. Selebihnya, urusan penyidik ..." kataku.

Sandy menatapku, lalu nyengir. "Kamu memang calon dokter forensik yang baik."

Aku terbahak. "Amin!"

Kami sampai di ruang post mortem. Desta sedang memeriksa barang-barang si 'pasien' sementara Cathy  mencatat deskripsinya. "Nah syukurlah elo berdua dateng. Kay elo gantiin gue ya, Sandy elo bantu Cathy memeriksa pasiennya."

"Oke. Sip!"

Aku mengenakan sarung tangan dan mulai memeriksa barang-barang yang ada di samping si korban. "Meninggalnya kenapa?" tanyaku.

"Gak tau. Ditemukan di jalan. Belum ada keluarga yang bisa dihubungi." jawab Desta.

"Oh." aku melihat benda-benda yang ada. Sebuah handphone, seplastik uang dan sebuah buku notes kecil bersampul merah. Aku meraih buku itu, karena benda itu yang pertama kali menarik perhatianku. Tanganku hendak membuka halaman pertama buku itu, berharap di dalam buku itu ada nomor telfon keluarga si korban. Tapi kemudian aku teringat. AKu menoleh ke si korban ... seorang pria berusia dua puluhan yang tubuhnya kurus, mengenakan kaus hitam bertuliskan kata makian kasar, jins sobek-sobek dan sandal jepit.

"Bapak, maaf saya lihat bukunya ya. Siapa tahu ada nomer telfon yang bisa saya hubungi.", ujarku.

"Iya, Mbak'e ... buka aja!" Desta menyahut iseng. Aku nyengir.

Halaman pertama buku itu berisi lirik lagu. 'Jujur Saja' by Wonderboy ... begitu tulisannya. Ada huruf-huruf yang ditulis dengan huruf kapital, pertanda itulah bagian yang ditekankan si penulis.

JUJUR SAJA KAU ANGGAP AKU APA?
MENGAPA KAU TAK BERTERUS TERANG?
JUJUR SAJA KU RAGUKAN CINTAMU
KARENA DIRIMU TAK SEPERTI DULU

Di bawah lirik lagu itu ada tulisan : Jujur saja, kau anggap aku apa??

Dheg. Lagi-lagi aku merasa miris. Jika benar si korban (Ia masih dinamakan Mr.X, karena tidak ditemukan KTP atau tanda pengenal lain) yang menulisnya ... saat menulis ini ia pasti sedang galau luar biasa karena merasa terombang-ambing dalam ketidakpastian. Aku membuka halaman berikutnya, mencoba fokus pada menemukan nomer telfon yang bisa dihubungi, tapi lagi-lagi perhatianku teralihkan pada sketsa wajah seorang perempuan berambut keriting panjang seperti ilustrasi novel-novel roman zaman dulu, di bawahnya tertulis : I love you Kirana ... 


Di halaman lain ada catatan kecil. Hari ini ada satu kebahagiaan kecil yang kamu berikan untukku, yaitu kamu membalas sms-ku. Memang singkat, tapi aku tidak berharap banyak kok. Aku tahu kamu sibuk. Aku cukup senang kamu mau membalas sms-ku. 


Aku membalik lagi halamannya. Aku akan tetap menunggu kamu, mencintai kamu ... walau aku tahu kamu tidak perduli sama aku.  


Kirana,
satu nama itu selalu terpatri di hatiku
Kirana,
nama yang sempurna, sesempurna keindahanmu
Kirana,
nama yang menjadi pengganti doaku
setiap fajar membuka hari
Kirana,
ditengah malam beku ini, 
namamu bagaikan lilin kecil yang hangatkan hatiku
Kirana,
aku percaya suatu saat nanti 
kau akan pecaya betapa aku mencintaimu
Kirana,
biarlah kukecap pahit dan hujaman nyeri ini
karena aku yakin, akulah tempatmu pulang


Lalu ada lagi tulisan yang agak cakar ayam, menandakan penulisnya sedang dilanda emosi. Kamu jahat. Kamu hancurkan hatiku. Aku tulus sayang sama kamu, melebihi cinta tunangan kamu itu. Tunangan kamu enggak perduli sama kamu. Dia sering membuat kamu menangis kan? Buka hati kamu, Kirana. Buka sedikit untuk aku. Kenapa kamu tidak pernah menganggap aku ada? Lihat aku di sini, aku tulus mencintai kamu.


Kamu bilang kamu sayang aku. Tiga kata itu kamu ucapkan pagi ini ketika aku tanya bagaimana perasaan kamu ke aku. Dengan gampangnya aku luluh ... ah Kirana, aku memang selalu lemah kalau menyangkut kamu. 


Kirana, malam ini aku sakit lagi. Mungkin besok aku sudah tidak bernyawa. Aku menulis ini dengan sisa-sisa tenaga terakhir aku. Kirana, Kirana ... kamu di mana? Aku mau melihat kamu, sekali saja sebelum aku mati. Aku mencintai kamu, Kirana .... 


"Kay! Kok sampe terpesona gitu sih?" Cathy menepuk bahuku, ia melongok ke buku notes yang masih kubaca. "Ya ampunnn ... lebay sekali!" komentarnya.

"Bapaknya masih bisa denger kata-kata kamu lho!" ujarku.

"Ups! Maaf ya Pak ..." kata Cathy. "Tapi kamu yang fokus dong Kay ... kamu kan mau nyari nomer telfon yang bisa dihubungi, remember?"


"Iya, iya ... sori ..." aku membalik-balik halaman buku itu, mengabaikan tulisan demi tulisan yang melafalkan satu nama : Kirana. Lalu akhirnya aku menemukan beberapa nomer HP, salah satunya adalah nomer HP Kirana. Setelah mendeskripsikan barang-barang korban, aku meminta ijin sejenak menyerahkan buku itu ke petugas administrasi untuk menghubungi nomor telfon itu.

Pemeriksaan luar selesai, dan kami beristirahat di ruang jaga.

Aku memutuskan untuk tidur sejenak, karena tidak tahu apa yang akan datang nanti malam. Kupejamkan mata dan berusaha tidur. Aku teringat dua kasus yang aku hadapi hari ini ... yang satu dikhianati kepercayaannya oleh orang yang ia cintai, yang satu setengah mati mencintai (atau bisa dikatakan ... terobsesi?) ... tanpa bisa kucegah, imajinasiku melayang membayangkan apa jadinya kalau hidup mereka berdua adalah sebuah film romantic comedy. 


Si gadis bertemu dengan si Mr.X ... mungkin saat ia berlari menghindari kejaran pacarnya yang mau memukulinya? Mr.X menghajar pacar si gadis dengan maksud melindungi, kemudian mereka berkenalan, kemudian mereka saling curhat, kemudian mereka jatuh cinta, kemudian mereka melupakan yang menyia-nyiakan mereka dan akhirnya mereka hidup bahagia selamanya? Kenapa tidak bisa seperti itu? Itu ending yang ideal bukan? Menurutku sih ... 


Oh well ...lagi-lagi aku hanya bisa menemukan 'itulah hidup' - whatever that means - sebagai jawaban atas pertanyaanku. Semua orang ingin bahagia, ingin mencintai dan dicintai. Tapi dalam hidup, seringkali tidak bisa sesederhana itu. Haish ... memikirkannya saja sudah pusing. Lebih baik aku tidur dulu, mudah-mudahan nanti malam jagaku aman.

Aku tidak tahu kapan aku terlelap. Tahu-tahu saja aku merasa ada yang berdiri di depanku. Aku memicingkan mata, melihat sosok samar-samar yang kemudian semakin jelas. Seorang pria berambut emo, mengenakan baju hitam bertuliskan makian, jins sobek-sobek dan sandal jepit, tengah menatapku.  Ini kan ... Mr.X yang tadi!! Seruku dalam hati, tapi tidak ada kata-kata yang keluar. Ketika wajahnya semakin jelas, aku melihat sudut-sudut bibirnya terangkat sedikit dan ia mengangguk padaku, sebelum berjalan keluar kamar jaga.

"Kayla ..."

Ada suara laki-laki memanggil namaku. "Kayla? Kayla?" aku merasa ada yang mengguncang bahuku dan aku bangun gelagapan.

Desta nyengir melihatku. "Sori elo udah tidur yah? Barusan ada panggilan ke IGD, ada visum."

"Oh? Mmm ... okeh okeh, bentar ..."

Aku meraih HP yang tadi sedang di- charge, memastikan notesku ada di kantong baju jaga, sebelum mengikuti Desta dan teman-teman lain ke luar kamar jaga. Sepertinya, masih banyak cerita yang akan aku dengar malam ini ...