Thursday, November 10, 2011

Cerita Si Seratus

Akhirnya aku menulis juga di blog ini :) blog ini nantinya akan menjadi blog khusus cerpenku. Aku dapat cerita ini dari salah seorang dokter pembimbingku di stase Obgyn RS Polri, dr. Eka yang minta aku menulis cerita 'Andai Aku Adalah Gundu' tahu-tahu aku terpikir cerita ini. Hehehe ... minta komentarnya ya, thank you :)


Cerita Si Seratus

Aku adalah salah satu dari seratus gundu yang ada di dalam stoples kaca berwarna bening. Setiap hari kerjaku hanya berdiam diri, tapi kadang pemilikku menyuntakkan seluruh isi stoples ke luar. Ia tidak kemudian mengadu kami dengan gundu lain kemudian memberikan salah satu dari kami sebagai hadiah untuk si pemenang. Ia mengelap tubuh kami satu demi satu dengan kertas tisu dan cairan pembersih kaca, lalu menaruh kami kembali di dalam kantong beludru kuning dalam keadaan bersih berkilat.

Entah sudah berapa lama sejak aku berpindah tangan. Tadinya aku adalah milik seorang anak bernama ‘Abang’. Dulu aku bagaikan prajurit perang baginya. Aku beserta sepuluh gundu lain, setiap hari kami maju perang melawan gundu-gundu milik lawan Abang. Setiap kali tubuh kami mengenai gundu milik lawan Abang, Abang bersorak gembira dan kemudian gundu itu bergabung dengan pasukan kami. Benar-benar mirip medan perang, hanya saja tidak ada prajurit yang bisa memilih untuk ‘Harakiri’ ala prajurit negeri matahari terbit. Kami berpindah kubu atas kehendak pemimpin pasukan, tidak ada tawar-menawar. Jumlah kami terus bertambah, kadang berkurang tapi kemudian bertambah lebih banyak lagi.

Kemudian tiba masa dimana kami tinggal di stoples dan hanya berdiam diri saja di dalam sana. Tepat ketika jumlah kami genap seratus pasukan gundu. Abang tidak lagi menyuruh kami berperang, dari balik kaca aku sering melihat Abang menghadap sebuah benda berbentuk kotak yang memancarkan cahaya aneka warna. Kotak itu bisa membuat Abang tertawa, marah dan menangis. Abang bisa duduk di depan kotak itu berjam-jam, sampai seorang wanita yang dipanggil ‘Ibu’ oleh Abang menarik telinganya. Kadang kotak itu dibawa keluar oleh Ibu, kalau sudah begitu Abang marah-marah dan mengacak-acak kamarnya. Kami tetap diam di sudut lemari buku Abang, tidak diperdulikan.

“Bagaimana ini? Kita sudah tidak pernah lagi berperang melawan kubu lain!” salah satu dari kami berkata jengkel. Dia adalah gundu berwarna biru telur asin, dulu Abang menyebutnya ‘gundu keberuntungan’ yang selalu berhasil membawa prajurit baru ke markas kami.

“Kita sudah digantikan oleh mereka!” kata gundu bermotif jingga. Ia yang paling agresif, karena sudah pernah berpindah tangan berkali-kali sebelum kemudian bertahan di markas kami. “Benda bernama ‘televisi’ dan ‘game’ itu. Jahat sekali mereka! Mereka bahkan meniru kita, aku pernah melihat mereka membuat ilusi di mata Abang, meniru cara kita berperang sehingga Abang percaya kalau ia sedang bermain dengan kita! Padahal, puih! Yang Abang lakukan hanya duduk diam saja di atas karpet serupa agar-agar raksasa!”

“Hey, kenapa kamu diam saja dari tadi?! Kamu tidak kesal dengan semua ini?!” seru gundu berwarna hitam.

“Terang saja. Dia kan pesolek, kerjanya hanya duduk manis di dasar stoples! Dia dulu langsung lari terbirit-birit ketika aku menyerangnya, sama sekali tidak mau mencoba bertahan. Apa yang ia tahu soal perang?” cemooh gundu berwarna jingga.

Aku tidak menjawab, karena saat itu aku sedang beradu pandang dengan seorang anak perempuan kecil bermata serupa tubuhku. Anak itu bernama ‘Adik’, kadang ia masuk ke kamar Abang dan hanya duduk diam saja memandangi kami berjam-jam. Seringkali Abang marah-marah dan menyuruhnya keluar, padahal ia tidak melakukan apa-apa kecuali memandangi kami. Aku tahu aku tidak boleh gede rasa, karena ada seratus dari kami di dalam stoples ... tapi aku rasa ia tertarik padaku. Ia menatapku lekat-lekat, sesekali menyentuh bagian luar stoples dengan jari mungilnya.

“Adik, kamu ngapain sih?” Abang menghampiri Adik. “Kan Abang sudah bilang jangan masuk ke sini! Nanti kalau kamu kenapa-kenapa Abang yang dimarahi, tau?!”

Adik tidak menjawab. Abang kemudian meraih stoples kami. Seluruh gundu bersorak gembira, menyangka kami akan pergi berperang lagi. Bunyi ‘klik klik klik’ nyaring terdengar, seperti prajurit yang membentur-benturkan tombak mereka ke lantai kalau sedang bersemangat. Akhirnya hari pertempuran ini tiba juga!

Tapi kemudian bunyi itu meredup, ketika Adik tidak menyuruh kami berperang seperti Abang. Adik membuka stoples, mengeluarkan kami satu demi satu, menjejerkan kami di atas hamparan empuk berwarna merah dan bukan di atas tanah berpasir seperti dulu. Mulut Adik menggumamkan ‘satu dua tiga’ sampai ‘seratus’. Aku adalah gundu nomer seratus. Adik memandangiku cukup lama, serius sekali seperti seorang peneliti, kemudian ia mengambil semacam kain basah, mengelap tubuhku sampai berkilau dan wangi. Adik mengamati keadaanku, tersenyum bahagia sebelum memasukkanku lagi ke dalam stoples. Begitu terus, sampai seratus gundu berkumpul lagi di dalam stoples dalam keadaan berkilau dan wangi.

Seluruh gundu kembali bergumam kecewa, khususnya si gundu jingga karena tadi ia yang paling bersemangat maju perang. Aku diam di dasar stoples, menyimpan rasa bahagiaku. Baru kali ini aku dianggap begitu berharga oleh seseorang ... dulu ketika aku masih bersama Abang, Abang menganggapku tidak cukup layak maju perang. Aku tahu karena pernah sekali ketika Abang tidak sengaja mengambilku dari dalam stoples, ia berdecak kesal dan melemparkanku lagi ke dalam stoples.

“Yang itu enggak mantap. Dulu aku gampang banget dapetinnya.” Kata Abang. Gundu-gundu yang lain tertawa mencemoohku, sejak saat itu aku diletakkan di dalam stoples dan tidak pernah maju perang lagi.

Sekarang semua gundu bernasib sama sepertiku. Setiap hari Adik menjejerkan kami, menghitung jumlah kami, mengelap tubuh kami satu-persatu sebelum memasukkan kami ke dalam stoples. Tiga kali sehari, rutin, sampai aku bisa memperkirakan kapan waktunya.
Gundu yang lain tidak lagi marah-marah. Kami sudah pasrah dengan nasib kami sebagai ‘pajangan’. Aku tetap tidak bicara apa-apa, tapi dalam hati aku merasa sedikit gembira. Aku selalu menjadi yang paling terakhir dikeluarkan, paling lama dipandangi, paling teliti dibersihkan dan paling pertama dimasukkan ke dalam stoples. Aku merasa istimewa.

Aku tidak sekedar ‘gede rasa’ di mata Adik aku memang istimewa. Setiap kali Adik ketakutan, aku yang selalu ia cari di dalam stoples dan kemudian ia genggam erat-erat. Aku bisa mendengar suara denyut nadi Adik, yang tadinya cepat kemudian melambat. Hanya dengan menggenggamku atau memutar-mutar tubuhku, Adik bisa tetap tenang sementara Ibu dan Ayah saling berteriak satu sama lain di luar kamar.

“Ini semua gara-gara kamu!” kata Abang suatu kali. “Kenapa kamu tidak bisa normal seperti anak-anak lain? Aku benci kamu. Bikin malu keluarga.”

Kadang Adik membawaku ke luar, tapi bukan untuk berperang. Bagi Adik, aku menjadi semacam jimat keberuntungan. Samar-samar aku mendengar Adik sering diteriaki ‘autis’ dan ‘idiot’, kalau sudah begitu seperti macan betina yang terluka Ibu akan balik meneriaki orang-orang itu. Adik tidak bereaksi, tidak ketika Ibu menciumi keningnya berulangkali sambil menangis dan berkata kalau Ibu tetap mencintainya apapun yang terjadi, juga nanti kalau Ayah jadi menceraikan Ibu dan membawa pergi Abang. Ibu akan tetap mencintai Adik.

Aku rasa itu yang membuatku bisa dekat dengan Adik. Kami saling membutuhkan satu sama lain. Sama seperti Adik yang tidak punya teman, aku juga tidak dianggap oleh gundu yang lain karena aku lemah dalam berperang. Aku tidak bisa bicara atau mengeluarkan cahaya-cahaya seperti ‘televisi’ dan ‘game’ milik Abang, aku hanya bisa berdiam diri dan tampak secemerlang mungkin untuk Adik.

Bagi Adik, aku bisa memberinya rasa aman, membuatnya merasa terlindungi dari dunia luar yang sering membuatnya takut. Kadang aku heran ... dari seratus gundu di dalam stoples, kenapa aku? Seperti apa diriku di mata Adik? Sampai sekarang, ketika Adik semakin besar dan semakin mirip dengan Ibu aku tetap tidak bisa menjawab pertanyaan itu.

Mungkin ... karena Adik mirip Ibu, yang juga bisa mencintai Adik tanpa syarat apa-apa.

3 comments:

cindy wijaya said...

stephieee... aku ada disiniii..... *jingkrak2norak* hehehehee..

itu ada yg janggal ya..
* "abang kemudian meraih stoples", kelereng2nya bunyi. "tapi kemudian bunyi itu meredup" pas stoplesnya tahu2 udah di tangan si adik. kapan pindah tangannya?

* kenapa stoples dan kelereng2nya gampang bgt berpindah tangan ke adik, malah sering bgt dimainin sama adik. padahal kalo baca sebelumnya, abangnya marah pas adik masuk kamar & nyentuh stoples.

ah... sesalu suka cerpennya stephie, anyway! :D

Stephie Daydream said...

Hai2 gadis manis berponi! XD selamat datang, selamat datang! *menyambut bersama dengan ondel2 + tanjidor*

Hihihi, ceritanya si Abang kesel dan merasa terganggu sama si Adik terus akhirnya biar si Adik pergi dikasih aja kelereng2nya (karena si Abang udah punya mainan baru)

Thank you banget komennya! seneng banget ada yang suka baca cerpenku *terharu* XD

Stephie Daydream said...

lanjutan: noted & mudah2an nanti aku lebih jeli lagi dalam menulis ;D yaay!