Terinspirasi lagu 'White Horse' - Taylor Swift
Ini sudah ketiga kalinya dalam dua minggu ini ia datang ke puskesmas untuk berobat. Seorang pria yang berusia dua puluh sembilan tahun dengan wajah sangat manis, tubuh tinggi semampai dan tutur bahasa yang halus. Mungkin karena ia seorang guru Kesenian di SMA yang terletak sekitar seratus meter dari Puskesmas ini.
Namanya Arif. Ia pasien pertamaku ketika aku sedang menjalani kepaniteraan klinik ilmu kesehatan masyarakat di puskesmas. Ia datang dengan keluhan macam-macam, sakit maag, sesak nafas dan kepala yang berdenyut-denyut, tetapi aku tidak menemukan kelainan yang berarti saat aku memeriksanya. Aku menyangka keluhan yang ia rasakan itu berhubungan dengan pikiran, jadi aku bertanya hati-hati.
"Apa jangan-jangan karena banyak pikiran, Pak Arif?"
Ia terdiam sejenak, wajah manisnya berubah keruh. Tebakanku tepat. Tapi aku tidak tahu itu adalah keuntungan atau bukan, karena selama sepuluh menit ke depan ia menceritakan padaku apa yang menjadi beban pikirannya. Istrinya, yang tidak tahu dan tidak mau tahu mengenai keadaan dirinya. Istrinya manja, malas mengurus rumah dan judes terhadap anak semata wayang mereka. Istrinya juga selalu mengeluh tentang kecilnya gaji yang Arif terima sebagai guru dan mengomel kenapa Arif tidak mau bekerja saja di perusahaan mertua yang lebih menjanjikan.
Aku kebingungan sekaligus kesal. Hari itu pas hari pertama 'tamu bulanan'-ku datang, udara di luar puskesmas panas setengah mati dan itu ikut memicu emosiku. Sabar Eris, kamu dokter muda di sini ... aku mengucapkan itu berulangkali dalam hati. Padahal aslinya aku mau berkata "Pak! Saya ini baru dua puluh tiga tahun, dan terakhir kali saya pacaran itu umur enam belas tahun, gimana saya mau mengerti masalah Bapak?!"
Di depan Arif aku masih bisa tersenyum dan mengangguk. Hanya itu yang aku lakukan sampai akhirnya ia selesai bicara. Aku menyarankan agar ia menjaga kesehatan dan tidak terlalu lelah, juga memberi resep vitamin. Ia tidak langsung pergi setelah menerima kertas resep, ia menatapku dalam-dalam dengan sepasang mata beningnya sampai aku jengah sendiri, kemudian tersenyum.
"Terimakasih dokter Eris, saya merasa lebih baik sekarang. Selama ini dokter-dokter lain tidak ada yang mau mendengarkan saya, mereka hanya memberi resep obat saja ... saya senang masih ada orang seperti dokter."
Pipiku memerah, aku merasa bahagia karena bisa sedikit mengobati sisi psikologis pasienku. Semangatku untuk melanjutkan kepaniteraan klinik sampai nanti mendapat gelar dokter pun semakin besar. Tapi kemudian aku mulai resah ketika aku tidak juga bisa mengenyahkan wajah manis itu dari pikiranku.
Aku mulai sering melihatnya, kadang pagi waktu aku memarkir mobilku di depan puskesmas, kadang siang hari ketika aku pulang.
"Selamat pagi, Bu Dokter! Baru datang?"
"Selamat siang, Bu Dokter! Pulang?"
Awalnya hanya dua kalimat itu yang rutin ia katakan padaku setiap kali bertemu. Aku hanya mengangguk, lalu membalas basa-basi. "Iya Pak Guru. Bagaimana? Sehat-sehat?"
Suatu kali motornya berhenti dan ia menghampiriku, memberiku sebuah buku yang katanya ia pinjam dari perpustakaan dekat rumah. Buku karya pengarang favoritku, Mira W. ia meminjamkannya padaku karena pengarang buku itu adalah dokter. Aku sudah membaca buku 'Cinta Cuma Sepenggal Dusta' ketika aku SMA dulu dan kami pun berdiskusi soal buku itu sambil duduk-duduk di kantin depan puskesmas.
"Inilah yang saya perlukan, dok ..." kata Arif. "Teman diskusi, yang bisa saya ajak bertukar pikiran mengenai kesukaan saya pada sastra dan seni. Istri saya tidak pernah mau tahu masalah begini, ia hanya suka sinetron dan gosip. Heran kenapa suka sekali mengurusi rumah tangga orang yang bahkan tidak pernah kita temui?"
"Orang kan beda-beda Pak!" aku mulai merasa tidak nyaman.
"Coba saya ketemu dokter lebih awal." ujarnya seraya menatapku selama beberapa detik, lalu menunduk malu-malu. Kemudian ia minta ijin kembali ke sekolah, karena masih ada kegiatan mengajar.
"Saya kira sudah pulang tadi. Maaf saya jadi membuat Pak Guru terlambat!" kataku gugup.
"Tidak apa-apa." ujarnya sambil menstater motornya. "Saya ke sini hanya mau menemui dokter saja kok."
Dan ia pun berlalu. Meninggalkanku yang tertegun bengong di sana. Selama beberapa detik semua terasa bagai kisah cinta Jane Eyre dan Mr. Rochester, tapi kesadaran memalu kepalaku keras, menghancurkan khayalan-khayalanku dan meninggalkanku dalam rasa takut. Apa-apaan aku ini? Duduk-duduk berdua mengobrol dengan suami orang ... bagaimana kalau ada petugas puskesmas yang melihat? Aku ke sini membawa nama fakultas juga!
Aku berusaha menghindarinya, tapi aku tidak bisa mencegahnya semakin sering datang ke Puskesmas untuk berobat. Ada-ada saja keluhannya, sakit perut, pusing, gatal-gatal... tapi hanya selama 2 menit saja ia mengeluh demikian, selanjutnya selalu tentang istrinya. Ia berkata sudah tidak tahan lagi, semakin stress di rumah dan hanya dengan mengobrol denganku ia merasa lega.
Aku akan berkata jujur, ada rasa senang saat aku mengobrol dengannya. Aku merasa dihargai dan dibutuhkan. Arif sangat berbeda dari orang yang selama ini kukenal. Ia cerdas dan berwawasan luas, tapi tidak kemudian menjadi sombong seperti beberapa orang yang aku tahu. Tutur bahasanya halus dan ia juga menghargai pendapat orang lain. Dan kadang aku berpikir ... apa yang terjadi kalau aku bertemu dengannya ketika kami sama-sama single? Bagaimana kalau aku berada dalam posisi Nindya - bekas murid yang sekarang menjadi istrinya.
Tapi aku tetap tidak bisa membayangkan akhir yang membahagiakan, bahkan dalam khayalanku. Sulit membayangkan diriku menggantikan posisi Nindya dan berperan sebagai ibu-ibu ideal di film, penuh senyum mengurus rumah, memasak, mengantarkan bekal ke sekolah untuk suami, menunggu suami pulang sambil bermain dengan anak-anak ... selalu ada yang terasa salah.
Karena ini bukan drama, dimana jika ada bagian yang tidak ter-shooting maka artinya bagian itu tidak penting. Aku belum pernah bertemu dengan Nindya dan anaknya, tapi mereka tetap keluarga Arif. Ini bukan cerita dongeng, dimana kalau aku sebagai tokoh utama akan selalu dibela oleh nasib dan mendapatkan akhir yang membahagiakan. Ini kehidupan nyata, bukan fantasi. Konsekuensi dari setiap tindakan tidak akan pernah bisa diduga dan dihindari. Kemungkinan terburuk masih mungkin terjadi.
Hari itu setelah kegiatan puskemas selesai, aku mengemasi alat-alat periksa di poliklinik yang sudah sepi. Ketika aku baru saja hendak pergi ke luar, aku tersentak melihat Arif ada di sana. Tersenyum manis, tapi aku tahu ia sama resahnya denganku karena berulangkali ia menoleh kesana-kemari memastikan tidak ada yang melihat.
"Ada apa Pak Guru?" tanyaku tanpa bisa menutupi getaran di suaraku.
"Enggak Bu Dokter, saya hanya mau ngasih ini ..." ia memberiku secarik kertas bertuliskan angka-angka. "Nomor HP saya, kalau nanti dokter perlu teman bicara atau apa!"
"Pak Guru, terimakasih sebelumnya atas perhatian Bapak tapi sebaiknya tidak!" tahu-tahu saja kalimat itu meluncur keluar dari bibirku.
"Kenapa Eris?" ujarnya, mengucapkan namaku untuk pertama kalinya. Hatiku semakin tidak karuan, tapi aku berusaha tetap menatap matanya. "Aku hanya mau ngobrol, diskusi sama kamu. Tidak lebih."
Aku menggeleng. "Rasanya tetap salah. Kamu sudah punya Nindya, Arif!"
"Tapi buat aku rasanya benar." Arif bersikeras. "Semua yang aku lakukan kamu, rasanya benar! Justru aku merasa serbasalah kalau sama Nindya."
"Kalau begitu kenapa kamu harus sembunyi-sembunyi seperti ini? Datang waktu kamu tahu sudah tidak ada orang di poli, tergesa-gesa takut ketahuan dan memberi nomer HP?"
Arif terdiam mendengar kata-kataku, kemudian menundukkan kepalanya. Aku tidak melepaskan pandanganku darinya ... seharusnya inilah saat dimana aku menangis, di sinetron-sinetron selalu begitu kan? Tapi tidak. Hatiku terasa sakit, tapi mataku tetap kering.
"Aku merasa bahagia di samping kamu..." lirih suara Arif. "Kamu ramah, kamu perhatian, kamu cerdas dan aku merasa kamu sangat mengerti aku. Tapi sepertinya aku salah ya?"
"Rif, kita hanya bertemu seminggu dua sampai tiga kali, mengobrol selama setengah jam... tidak adil kalau kamu membandingkan aku sama Nindya yang sudah bersama-sama dengan kamu selama enam tahun." kataku. "Kalau kita memutuskan menjalani hidup sama-sama, semakin kita mengenal pasangan kita pasti semakin banyak hal-hal baru yang kita ketahui tentang mereka. Kalau kita terus menghindar dan mencari yang lain setiap kali ada yang tidak berkenan, mau sampai kapan?"
Arif terdiam lagi, kemudian ia menatapku. "Lalu kita harus bagaimana?"
"Aku yakin, kamu lebih tau apa yang harus kamu lakukan."
Arif menjatuhkan kertas berisi nomor HP-nya ke lantai, lalu berbalik dan melangkah pergi dari sana. Langkahnya gontai dan ia tidak menoleh sama sekali. Ia berjalan ke luar, samar-samar aku mendengar suara motor distater. Ah, rupanya ia sengaja memarkir motornya di luar puskesmas supaya tidak menarik perhatian.
Aku mengambil kertas nomor HP Arif dari lantai, menyobek-nyobek lalu membuangnya di tempat sampah. Kemudian sambil berusaha menenangkan diri, aku keluar dari poliklinik menuju mobil. Masih ada sedikit rasa tidak enak ketika aku melewati kantin tempat pertama kali Arif mengutarakan perasaan hatinya padaku dulu, apa yang aku jalani ini bisa dinamakan ... perselingkuhan?
Setidaknya aku sudah mengakhirinya sekarang.
Catatan :
Empat minggu kemudian aku mengakhiri masa kepaniteraan klinik ilmu kesehatan masyarakat. Aku tidak bertemu lagi dengan Arif, tapi di hari terakhir aku sempat melihatnya ketika aku sedang menunggu kereta lewat di lintasan kereta api. Ia sedang duduk di depan klinik bidan bersama seorang wanita yang aku yakini adalah Nindya dan seorang anak kecil yang aku yakini adalah anak mereka. Perut Nindya agak membuncit di bawah daster batik yang ia kenakan. Nindya mengomel sambil mengipas-ngipas wajahnya, tapi dari wajahnya aku tahu sebenarnya ia hanya mau bermanja-manja pada suaminya. Arif tertawa lalu membukakan sebotol air mineral untuk istrinya, sementara anak mereka mengibar-ngibarkan sebuah pamflet di depan wajah ibunya. Aku tidak bisa lama-lama menatap mereka, karena saat itu pintu lintasan kereta mulai dibuka dan angkot di belakangku mulai mengklakson dengan tidak sabar. Itulah kali terakhir aku melihat Arif.
Cause I'm not your princess, this ain't a fairytale
I'm gonna find someone someday who might actually treat me well
This is a big world, that was a small town
There in my rearview mirror disappearing now
White Horse-Taylor Swift
Saturday, November 12, 2011
Thursday, November 10, 2011
Cerita Si Seratus
Akhirnya aku menulis juga di blog ini :) blog ini nantinya akan menjadi blog khusus cerpenku. Aku dapat cerita ini dari salah seorang dokter pembimbingku di stase Obgyn RS Polri, dr. Eka yang minta aku menulis cerita 'Andai Aku Adalah Gundu' tahu-tahu aku terpikir cerita ini. Hehehe ... minta komentarnya ya, thank you :)
Aku adalah salah satu dari seratus gundu yang ada di dalam stoples kaca berwarna bening. Setiap hari kerjaku hanya berdiam diri, tapi kadang pemilikku menyuntakkan seluruh isi stoples ke luar. Ia tidak kemudian mengadu kami dengan gundu lain kemudian memberikan salah satu dari kami sebagai hadiah untuk si pemenang. Ia mengelap tubuh kami satu demi satu dengan kertas tisu dan cairan pembersih kaca, lalu menaruh kami kembali di dalam kantong beludru kuning dalam keadaan bersih berkilat.
Entah sudah berapa lama sejak aku berpindah tangan. Tadinya aku adalah milik seorang anak bernama ‘Abang’. Dulu aku bagaikan prajurit perang baginya. Aku beserta sepuluh gundu lain, setiap hari kami maju perang melawan gundu-gundu milik lawan Abang. Setiap kali tubuh kami mengenai gundu milik lawan Abang, Abang bersorak gembira dan kemudian gundu itu bergabung dengan pasukan kami. Benar-benar mirip medan perang, hanya saja tidak ada prajurit yang bisa memilih untuk ‘Harakiri’ ala prajurit negeri matahari terbit. Kami berpindah kubu atas kehendak pemimpin pasukan, tidak ada tawar-menawar. Jumlah kami terus bertambah, kadang berkurang tapi kemudian bertambah lebih banyak lagi.
Kemudian tiba masa dimana kami tinggal di stoples dan hanya berdiam diri saja di dalam sana. Tepat ketika jumlah kami genap seratus pasukan gundu. Abang tidak lagi menyuruh kami berperang, dari balik kaca aku sering melihat Abang menghadap sebuah benda berbentuk kotak yang memancarkan cahaya aneka warna. Kotak itu bisa membuat Abang tertawa, marah dan menangis. Abang bisa duduk di depan kotak itu berjam-jam, sampai seorang wanita yang dipanggil ‘Ibu’ oleh Abang menarik telinganya. Kadang kotak itu dibawa keluar oleh Ibu, kalau sudah begitu Abang marah-marah dan mengacak-acak kamarnya. Kami tetap diam di sudut lemari buku Abang, tidak diperdulikan.
“Bagaimana ini? Kita sudah tidak pernah lagi berperang melawan kubu lain!” salah satu dari kami berkata jengkel. Dia adalah gundu berwarna biru telur asin, dulu Abang menyebutnya ‘gundu keberuntungan’ yang selalu berhasil membawa prajurit baru ke markas kami.
Cerita Si Seratus
Aku adalah salah satu dari seratus gundu yang ada di dalam stoples kaca berwarna bening. Setiap hari kerjaku hanya berdiam diri, tapi kadang pemilikku menyuntakkan seluruh isi stoples ke luar. Ia tidak kemudian mengadu kami dengan gundu lain kemudian memberikan salah satu dari kami sebagai hadiah untuk si pemenang. Ia mengelap tubuh kami satu demi satu dengan kertas tisu dan cairan pembersih kaca, lalu menaruh kami kembali di dalam kantong beludru kuning dalam keadaan bersih berkilat.
Entah sudah berapa lama sejak aku berpindah tangan. Tadinya aku adalah milik seorang anak bernama ‘Abang’. Dulu aku bagaikan prajurit perang baginya. Aku beserta sepuluh gundu lain, setiap hari kami maju perang melawan gundu-gundu milik lawan Abang. Setiap kali tubuh kami mengenai gundu milik lawan Abang, Abang bersorak gembira dan kemudian gundu itu bergabung dengan pasukan kami. Benar-benar mirip medan perang, hanya saja tidak ada prajurit yang bisa memilih untuk ‘Harakiri’ ala prajurit negeri matahari terbit. Kami berpindah kubu atas kehendak pemimpin pasukan, tidak ada tawar-menawar. Jumlah kami terus bertambah, kadang berkurang tapi kemudian bertambah lebih banyak lagi.
Kemudian tiba masa dimana kami tinggal di stoples dan hanya berdiam diri saja di dalam sana. Tepat ketika jumlah kami genap seratus pasukan gundu. Abang tidak lagi menyuruh kami berperang, dari balik kaca aku sering melihat Abang menghadap sebuah benda berbentuk kotak yang memancarkan cahaya aneka warna. Kotak itu bisa membuat Abang tertawa, marah dan menangis. Abang bisa duduk di depan kotak itu berjam-jam, sampai seorang wanita yang dipanggil ‘Ibu’ oleh Abang menarik telinganya. Kadang kotak itu dibawa keluar oleh Ibu, kalau sudah begitu Abang marah-marah dan mengacak-acak kamarnya. Kami tetap diam di sudut lemari buku Abang, tidak diperdulikan.
“Bagaimana ini? Kita sudah tidak pernah lagi berperang melawan kubu lain!” salah satu dari kami berkata jengkel. Dia adalah gundu berwarna biru telur asin, dulu Abang menyebutnya ‘gundu keberuntungan’ yang selalu berhasil membawa prajurit baru ke markas kami.
“Kita sudah digantikan oleh mereka!” kata gundu bermotif jingga. Ia yang paling agresif, karena sudah pernah berpindah tangan berkali-kali sebelum kemudian bertahan di markas kami. “Benda bernama ‘televisi’ dan ‘game’ itu. Jahat sekali mereka! Mereka bahkan meniru kita, aku pernah melihat mereka membuat ilusi di mata Abang, meniru cara kita berperang sehingga Abang percaya kalau ia sedang bermain dengan kita! Padahal, puih! Yang Abang lakukan hanya duduk diam saja di atas karpet serupa agar-agar raksasa!”
“Hey, kenapa kamu diam saja dari tadi?! Kamu tidak kesal dengan semua ini?!” seru gundu berwarna hitam.
“Terang saja. Dia kan pesolek, kerjanya hanya duduk manis di dasar stoples! Dia dulu langsung lari terbirit-birit ketika aku menyerangnya, sama sekali tidak mau mencoba bertahan. Apa yang ia tahu soal perang?” cemooh gundu berwarna jingga.
Aku tidak menjawab, karena saat itu aku sedang beradu pandang dengan seorang anak perempuan kecil bermata serupa tubuhku. Anak itu bernama ‘Adik’, kadang ia masuk ke kamar Abang dan hanya duduk diam saja memandangi kami berjam-jam. Seringkali Abang marah-marah dan menyuruhnya keluar, padahal ia tidak melakukan apa-apa kecuali memandangi kami. Aku tahu aku tidak boleh gede rasa, karena ada seratus dari kami di dalam stoples ... tapi aku rasa ia tertarik padaku. Ia menatapku lekat-lekat, sesekali menyentuh bagian luar stoples dengan jari mungilnya.
“Adik, kamu ngapain sih?” Abang menghampiri Adik. “Kan Abang sudah bilang jangan masuk ke sini! Nanti kalau kamu kenapa-kenapa Abang yang dimarahi, tau?!”
Adik tidak menjawab. Abang kemudian meraih stoples kami. Seluruh gundu bersorak gembira, menyangka kami akan pergi berperang lagi. Bunyi ‘klik klik klik’ nyaring terdengar, seperti prajurit yang membentur-benturkan tombak mereka ke lantai kalau sedang bersemangat. Akhirnya hari pertempuran ini tiba juga!
Tapi kemudian bunyi itu meredup, ketika Adik tidak menyuruh kami berperang seperti Abang. Adik membuka stoples, mengeluarkan kami satu demi satu, menjejerkan kami di atas hamparan empuk berwarna merah dan bukan di atas tanah berpasir seperti dulu. Mulut Adik menggumamkan ‘satu dua tiga’ sampai ‘seratus’. Aku adalah gundu nomer seratus. Adik memandangiku cukup lama, serius sekali seperti seorang peneliti, kemudian ia mengambil semacam kain basah, mengelap tubuhku sampai berkilau dan wangi. Adik mengamati keadaanku, tersenyum bahagia sebelum memasukkanku lagi ke dalam stoples. Begitu terus, sampai seratus gundu berkumpul lagi di dalam stoples dalam keadaan berkilau dan wangi.
Seluruh gundu kembali bergumam kecewa, khususnya si gundu jingga karena tadi ia yang paling bersemangat maju perang. Aku diam di dasar stoples, menyimpan rasa bahagiaku. Baru kali ini aku dianggap begitu berharga oleh seseorang ... dulu ketika aku masih bersama Abang, Abang menganggapku tidak cukup layak maju perang. Aku tahu karena pernah sekali ketika Abang tidak sengaja mengambilku dari dalam stoples, ia berdecak kesal dan melemparkanku lagi ke dalam stoples.
“Yang itu enggak mantap. Dulu aku gampang banget dapetinnya.” Kata Abang. Gundu-gundu yang lain tertawa mencemoohku, sejak saat itu aku diletakkan di dalam stoples dan tidak pernah maju perang lagi.
Sekarang semua gundu bernasib sama sepertiku. Setiap hari Adik menjejerkan kami, menghitung jumlah kami, mengelap tubuh kami satu-persatu sebelum memasukkan kami ke dalam stoples. Tiga kali sehari, rutin, sampai aku bisa memperkirakan kapan waktunya.
Gundu yang lain tidak lagi marah-marah. Kami sudah pasrah dengan nasib kami sebagai ‘pajangan’. Aku tetap tidak bicara apa-apa, tapi dalam hati aku merasa sedikit gembira. Aku selalu menjadi yang paling terakhir dikeluarkan, paling lama dipandangi, paling teliti dibersihkan dan paling pertama dimasukkan ke dalam stoples. Aku merasa istimewa.
Gundu yang lain tidak lagi marah-marah. Kami sudah pasrah dengan nasib kami sebagai ‘pajangan’. Aku tetap tidak bicara apa-apa, tapi dalam hati aku merasa sedikit gembira. Aku selalu menjadi yang paling terakhir dikeluarkan, paling lama dipandangi, paling teliti dibersihkan dan paling pertama dimasukkan ke dalam stoples. Aku merasa istimewa.
Aku tidak sekedar ‘gede rasa’ di mata Adik aku memang istimewa. Setiap kali Adik ketakutan, aku yang selalu ia cari di dalam stoples dan kemudian ia genggam erat-erat. Aku bisa mendengar suara denyut nadi Adik, yang tadinya cepat kemudian melambat. Hanya dengan menggenggamku atau memutar-mutar tubuhku, Adik bisa tetap tenang sementara Ibu dan Ayah saling berteriak satu sama lain di luar kamar.
“Ini semua gara-gara kamu!” kata Abang suatu kali. “Kenapa kamu tidak bisa normal seperti anak-anak lain? Aku benci kamu. Bikin malu keluarga.”
Kadang Adik membawaku ke luar, tapi bukan untuk berperang. Bagi Adik, aku menjadi semacam jimat keberuntungan. Samar-samar aku mendengar Adik sering diteriaki ‘autis’ dan ‘idiot’, kalau sudah begitu seperti macan betina yang terluka Ibu akan balik meneriaki orang-orang itu. Adik tidak bereaksi, tidak ketika Ibu menciumi keningnya berulangkali sambil menangis dan berkata kalau Ibu tetap mencintainya apapun yang terjadi, juga nanti kalau Ayah jadi menceraikan Ibu dan membawa pergi Abang. Ibu akan tetap mencintai Adik.
Aku rasa itu yang membuatku bisa dekat dengan Adik. Kami saling membutuhkan satu sama lain. Sama seperti Adik yang tidak punya teman, aku juga tidak dianggap oleh gundu yang lain karena aku lemah dalam berperang. Aku tidak bisa bicara atau mengeluarkan cahaya-cahaya seperti ‘televisi’ dan ‘game’ milik Abang, aku hanya bisa berdiam diri dan tampak secemerlang mungkin untuk Adik.
Bagi Adik, aku bisa memberinya rasa aman, membuatnya merasa terlindungi dari dunia luar yang sering membuatnya takut. Kadang aku heran ... dari seratus gundu di dalam stoples, kenapa aku? Seperti apa diriku di mata Adik? Sampai sekarang, ketika Adik semakin besar dan semakin mirip dengan Ibu aku tetap tidak bisa menjawab pertanyaan itu.
Mungkin ... karena Adik mirip Ibu, yang juga bisa mencintai Adik tanpa syarat apa-apa.
Friday, January 7, 2011
Tentang Rasa ...
Aku berlari sekuatku menaiki tangga itu
Aku merasa ia ada di sana, di hadapanku
Ingin sekali aku menyusul langkahnya
Namun ia bagai bersayap
Kepakannya keras
Kecepatannya jauh melampaui tapak kakiku yang letih
Kadang aku terhenti ditengah-tengah anak tangga
Yang seolah tak berujung itu
Tapi dengan keras kepala aku kembali berjalan lagi
Karena aku yakin beberapa langkah lagi aku akan menggapainya
Aku hanya ingin menepuk bahunya
Agar ia berbalik dan tersenyum padaku
Itu saja
Aku ingin memanggil namanya
Sayang nafasku tidak cukup untuk mengucapkan sepatah katapun
Tiba-tiba saja di suatu bagian yang kuyakini sebagai puncak tangga ia berbalik
Aku tidak dapat melihat dengan jelas wajahnya
Karena di belakangnya cahaya matahari bersinar terang
Namun aku yakin, itu dia
Ia melambaikan tangannya di depan dada
Seolah berkata 'jangan menyusulku'
Kemudian ia berbalik dan kini aku bisa melihat dengan jelas
Di punggungnya ada sepasang sayap raksasa keperakan
Hembusan angin menerpa wajahku saat sayapnya mengepak
Aku kembali menaiki anak tangga itu namun langkahku terhenti di puncak tangga
Di hadapanku terhampar langit tak berbatas
Namun ... tidak ada dia
Aku hanya terdiam di sana,
Sementara air mata meleleh membasahi wajahku
Dadaku sesak dan kedua kakiku terasa begitu letih
Karena sudah entah berapa lama aku mengejar sesuatu yang semu
Sampai aku merasakan ada yang menyentuh bahuku
Aku menoleh dan aku lihat dia, adikku ...
Di belakangnya muncul wajah-wajah yang sangat kukenal
Dan mereka semua tersenyum padaku
Adikku mengulurkan tangannya padaku,
Tersenyum tanpa sedikitpun kesan mengejek kebodohanku
Ia hanya berkata
'Sudah siap turun?'
Aku merasa ia ada di sana, di hadapanku
Ingin sekali aku menyusul langkahnya
Namun ia bagai bersayap
Kepakannya keras
Kecepatannya jauh melampaui tapak kakiku yang letih
Kadang aku terhenti ditengah-tengah anak tangga
Yang seolah tak berujung itu
Tapi dengan keras kepala aku kembali berjalan lagi
Karena aku yakin beberapa langkah lagi aku akan menggapainya
Aku hanya ingin menepuk bahunya
Agar ia berbalik dan tersenyum padaku
Itu saja
Aku ingin memanggil namanya
Sayang nafasku tidak cukup untuk mengucapkan sepatah katapun
Tiba-tiba saja di suatu bagian yang kuyakini sebagai puncak tangga ia berbalik
Aku tidak dapat melihat dengan jelas wajahnya
Karena di belakangnya cahaya matahari bersinar terang
Namun aku yakin, itu dia
Ia melambaikan tangannya di depan dada
Seolah berkata 'jangan menyusulku'
Kemudian ia berbalik dan kini aku bisa melihat dengan jelas
Di punggungnya ada sepasang sayap raksasa keperakan
Hembusan angin menerpa wajahku saat sayapnya mengepak
Aku kembali menaiki anak tangga itu namun langkahku terhenti di puncak tangga
Di hadapanku terhampar langit tak berbatas
Namun ... tidak ada dia
Aku hanya terdiam di sana,
Sementara air mata meleleh membasahi wajahku
Dadaku sesak dan kedua kakiku terasa begitu letih
Karena sudah entah berapa lama aku mengejar sesuatu yang semu
Sampai aku merasakan ada yang menyentuh bahuku
Aku menoleh dan aku lihat dia, adikku ...
Di belakangnya muncul wajah-wajah yang sangat kukenal
Dan mereka semua tersenyum padaku
Adikku mengulurkan tangannya padaku,
Tersenyum tanpa sedikitpun kesan mengejek kebodohanku
Ia hanya berkata
'Sudah siap turun?'
Friday, December 31, 2010
Cerita Dari Tahun Nol
Namaku Luna, usiaku enam belas tahun dalam perhitungan tahun masehi. Jujur saja agak aneh rasanya menggunakan perhitungan tahun masehi saat ini. Banyak orang yang mulai protes tentang cara perhitungan hari, bulan dan tahun, mengingat pergerakan planet saat ini sangat berbeda dibandingkan dulu. Walaupun kami masih menggunakan aturan 1 hari 24 jam, tapi sekarang kami sudah tidak bisa membedakan siang dan malam.
Laboratorium pusat yang menjadi patokan penuh waktu kami, mereka yang menentukan kapan waktunya bekerja dan kapan waktunya beristirahat melalui siaran di televisi.
Dulu sempat ada beberapa kalangan yang protes, tapi toh mereka tidak bisa memberikan solusi yang tepat tentang bagaimana cara menghitung waktu, jadi untuk sementara ini kami masih menggunakan cara yang ditentukan oleh laboratorium pusat.
Aku akan menceritakan sedikit tentang masa sekarang ini. Dari yang aku dengar, dulu di masa ketika Mamaku masih seusiaku, terjadi bencana besar di bumi. Alam yang sudah tidak tahan lagi terus-menerus disiksa oleh manusia melawan balik dan manusia pun tidak berdaya melawan kemurkaannya. Apa yang ada di atas permukaan laut habis tanpa sisa.
Segelintir manusia yang bisa bertahan hidup terpaksa hidup dalam tempat-tempat perlindungan yang sebelumnya telah mereka bangun. Hanya manusia yang membangun tempat perlindungan dalam air saja yang bisa bertahan hidup hingga sekarang, karena yang berada di atas tanah ikut hangus terkena amukan cahaya matahari yang sudah tidak terkendali sejak lapisan ozon tercabik habis. Kini manusia yang tinggal dalam tempat perlindungan di bawah air berusaha menemukan cara untuk tetap hidup dan syukur-syukur bisa mengembalikan sekian persen kualitas hidup mereka seperti dulu.
Hal itu tidak mudah, karena apapun yang berada di atas tanah kini sudah hancur lebur. Sampai saat ini, tidak mungkin kami mencapai kedalaman kurang dari seribu meter dari permukaan laut tanpa terpanggang panasnya sinar matahari. Masa ini dinamakan tahun nol oleh para ilmuwan, karena saat ini manusia dikembalikan lagi ke titik nol dimana kami harus memulai segalanya dari awal lagi.
Aku termasuk yang beruntung karena ketika aku lahir, peradaban sudah mulai stabil dan tidak sekacau dulu. Salah satu langkah besar yang berhasil dicapai adalah, para ilmuwan sudah mulai menyetujui penggunaan makanan dan minuman sintetis untuk kelangsungan hidup kami – yah, mereka tidak punya banyak pilihan juga, karena sedikit sekali hewan dan tumbuhan yang masih bisa bertahan hidup di laboratorium khusus mereka.
Sekarang buah-buahan, sayur, telur, daging dan susu sudah mulai dijual lagi walaupun hanya tersedia di toko-toko khusus. Keluarga pemilik perusahaan udara bersih yang menjadi sponsor penjualannya dan mereka menggelar gala dinner untuk meresmikannya. Aku melihat liputannya di televisi, benar-benar luar biasa. Mereka makan sayur dan buah yang tampak segar, minum susu murni dari gelas-gelas kristal ... entah berapa trilyun uang yang mereka keluarkan untuk makanan mewah seperti itu.
Aku sendiri hanya pernah minum susu murni di acara pernikahan salah seorang teman Mama. Aku hanya boleh minum secicip saja karena bagaimanapun juga tubuhku sudah terbiasa dengan bahan-bahan sintetik sejak lahir, takutnya aku bakal sakit kalau terpapar makanan dan minuman murni dalam jumlah besar. Aku tahu kenapa sebotol susu murni harganya bisa sampai ratusan ribu ... rasanya sangat lezat dan tidak bisa aku lukiskan dengan kata-kata. Sekarang saja mulutku sudah berair mengingat-ingat rasa gurih dan manisnya.
Aku iri mendengar cerita orang-orang dewasa yang sempat merasakan kemewahan hidup sebelum tahun nol. Katanya, mereka bisa menikmati makanan-makanan mewah itu setiap hari (sampai bosan!) dan mereka juga tidak pernah khawatir jatuh sakit. Bahkan katanya, mereka bisa memakan daging sapi dan ayam! Bayangkan! Padahal sekarang ini hewan-hewan itu termasuk hewan-hewan yang dilindungi dan dijaga secara ketat di laboratorium karena tidak bisa hidup di lingkungan sembarangan.
Aku termasuk pengagum makhluk hidup. Sejak film animasi ‘Life Before Zero’ mulai booming, aku mulai tahu soal hewan-hewan unik di zaman sebelum tahun nol. Anjing, kucing, tikus, cicak ... film itu luar biasa sekali! Sebelumnya aku tidak bisa membayangkan melihat hewan-hewan itu dalam keadaan hidup, bukan sekedar foto di buku ensiklopedia. Aku bisa menonton film itu setiap hari dan tidak pernah bosan. Kadang aku suka berpura-pura kalau aku hidup di zaman itu, ketika anjing dan kucing liar berkeliaran, cicak merembet di dinding rumah dan tikus mengintip dari sela-sela dinding.
Sekarang di tempatku hidup, sudah tidak ada sama sekali hewan atau serangga yang bisa bertahan hidup di luar laboratorium. Walaupun aku tinggal di dasar laut, tapi aku tidak pernah melihat makhluk bernama ‘ikan’ yang dulu katanya hidup di dalam air. Kalau aku menyibakkan gorden jendela rumah, sejauh mata memandang hanya terlihat air yang berwarna biru suram, pasir kelabu, gedung-gedung bawah air yang kusam, dan sesekali ada kapal selam bermotif tentara yang lewat.
Beberapa orang dewasa yang aku kenal sering menyindir tentang betapa beruntungnya anak-anak muda sekarang ini, karena selama beberapa tahun setelah bencana besar terjadi hanya para ilmuwan yang berhak menggunakan kapal selam itu. Sempat ada suatu masa dimana para manusia betul-betul stuck di rumah bawah air mereka tanpa bisa kemana-mana. Masa itu dinamakan ‘masa kegelapan’, banyak manusia yang menjadi gila lalu bunuh diri atau mencelakakan teman mereka yang lain. Para ilmuwan sempat kewalahan menangani masalah itu, karena saat itu mereka masih setengah mati memikirkan cara bertahan hidup dengan makanan dan minuman sintetis. Beberapa ilmuwan stres, jatuh sakit dan ada yang meninggal ketika mereka memaksakan diri untuk membuat puluhan kapal selam yang kini kami gunakan sebagai alat transportasi. Manusia tidak lagi terjebak di satu tempat dan perlahan-lahan mereka mulai membangun pertokoan dan tempat hiburan.
Aku merasa beruntung, karena katanya sebentar lagi akan dibuka kebun binatang tidak jauh dari tempat tinggalku. Para ilmuwan berhasil merekonstruksi tulang-belulang binatang yang tersisa dan mereka akan memamerkannya di sana. Tidak hanya itu, katanya akan ada teater dengan film dokumenter alam bebas, juga patung fiber glass yang menyerupai hewan-hewan itu! Aku melihat iklannya di televisi dan rasanya aku bisa meledak oleh kegembiraan. Akhirnya aku akan melihat kehidupan di hutan tropis, laut dan padang rumput Afrika zaman dulu! Setelah selama ini hanya memelototi gambarnya di internet atau buku ensiklopedia tua milik Mamaku, aku bisa melihat filmnya! Aku harus datang ke acara pembukaan kebun binatang itu. Mama sudah janji akan mengantarku ke sana. Aku tidak sabar lagi! Lusa, cepatlah datang ...
Aku enggak percaya kalau beberapa jam yang lalu aku masih bersenang-senang membayangkan serunya petualanganku nanti di kebun binatang. Saat ini aku sudah enggak bisa lagi merasakan rasa gembira dan penuh harapan yang tadi sempat aku rasakan. Sekarang yang aku rasakan hanya marah, kecewa dan sedih sekali. Barusan saja, Mama berkata kalau pembukaan kebun binatang dibatalkan sampai batas waktu yang belum bisa ditentukan. Alasannya, beberapa replika binatang, tulang-tulang dan beberapa file film dokumenter hilang secara misterius. Polisi menduga hal ini ada hubungannya dengan perdagangan gelap yang belakangan ini mulai marak.
Serius ya, aku sangat, sangat marah! Para pelakunya pasti termasuk dari golongan senior kan? Mereka pasti pernah merasakan hidup di zaman penuh kemewahan sebelum bencana besar terjadi! Apa sih salahnya membiarkan orang-orang yang tidak seberuntung mereka untuk merasakan sepersekian dari apa yang pernah mereka rasakan dulu? Aaargh! Pokoknya aku kesal, kesal, kesal!
“Begitulah, Luna ...” Mama berkata dengan sedih tadi ketika melihatku marah-marah. “Rupanya sampai sekarang ini beberapa manusia memang belum bisa berubah ...”
“Apa mereka tidak puas merasakan bencana besar?!” ujarku marah. “Apa mereka mau kalau air laut di atas kita habis terkena cahaya matahari seperti ozon dulu, lalu peradaban manusia benar-benar tamat?!”
Tadinya aku menyangka Mama akan menegurku untuk tidak berbicara ngawur, tapi ternyata tidak. Mama terdiam lama, sementara aku berusaha menenangkan diri dengan menenggak sari buah sintetis yang dingin banyak-banyak. Tenggorokanku terasa sakit karena kandungan zat entah apa di dalamnya, tapi aku tetap menenggaknya untuk melampiaskan rasa marahku.
Tidak lama, aku mendengar Mama berbisik lirih. “Maafkan Mama Luna ...”
“Kenapa Mama yang minta maaf?” tanyaku. “Mama kan enggak berbuat apa-apa ...”
Tahu-tahu saja aku melihat dua butir air mata mengalir di pipi Mama. Aku kaget dan bingung melihatnya. Aku tidak tahu kenapa Mama menangis.
“Justru karena itu, Nak!” kata Mama dengan suara bergetar. “Justru karena Mama enggak berbuat apa-apa ...”
Setelah itu Mama bangkit dan masuk ke kamarnya, meninggalkan aku yang hanya bisa terpaku di ruang makan sendirian.
Laboratorium pusat yang menjadi patokan penuh waktu kami, mereka yang menentukan kapan waktunya bekerja dan kapan waktunya beristirahat melalui siaran di televisi.
Dulu sempat ada beberapa kalangan yang protes, tapi toh mereka tidak bisa memberikan solusi yang tepat tentang bagaimana cara menghitung waktu, jadi untuk sementara ini kami masih menggunakan cara yang ditentukan oleh laboratorium pusat.
Aku akan menceritakan sedikit tentang masa sekarang ini. Dari yang aku dengar, dulu di masa ketika Mamaku masih seusiaku, terjadi bencana besar di bumi. Alam yang sudah tidak tahan lagi terus-menerus disiksa oleh manusia melawan balik dan manusia pun tidak berdaya melawan kemurkaannya. Apa yang ada di atas permukaan laut habis tanpa sisa.
Segelintir manusia yang bisa bertahan hidup terpaksa hidup dalam tempat-tempat perlindungan yang sebelumnya telah mereka bangun. Hanya manusia yang membangun tempat perlindungan dalam air saja yang bisa bertahan hidup hingga sekarang, karena yang berada di atas tanah ikut hangus terkena amukan cahaya matahari yang sudah tidak terkendali sejak lapisan ozon tercabik habis. Kini manusia yang tinggal dalam tempat perlindungan di bawah air berusaha menemukan cara untuk tetap hidup dan syukur-syukur bisa mengembalikan sekian persen kualitas hidup mereka seperti dulu.
Hal itu tidak mudah, karena apapun yang berada di atas tanah kini sudah hancur lebur. Sampai saat ini, tidak mungkin kami mencapai kedalaman kurang dari seribu meter dari permukaan laut tanpa terpanggang panasnya sinar matahari. Masa ini dinamakan tahun nol oleh para ilmuwan, karena saat ini manusia dikembalikan lagi ke titik nol dimana kami harus memulai segalanya dari awal lagi.
Aku termasuk yang beruntung karena ketika aku lahir, peradaban sudah mulai stabil dan tidak sekacau dulu. Salah satu langkah besar yang berhasil dicapai adalah, para ilmuwan sudah mulai menyetujui penggunaan makanan dan minuman sintetis untuk kelangsungan hidup kami – yah, mereka tidak punya banyak pilihan juga, karena sedikit sekali hewan dan tumbuhan yang masih bisa bertahan hidup di laboratorium khusus mereka.
Sekarang buah-buahan, sayur, telur, daging dan susu sudah mulai dijual lagi walaupun hanya tersedia di toko-toko khusus. Keluarga pemilik perusahaan udara bersih yang menjadi sponsor penjualannya dan mereka menggelar gala dinner untuk meresmikannya. Aku melihat liputannya di televisi, benar-benar luar biasa. Mereka makan sayur dan buah yang tampak segar, minum susu murni dari gelas-gelas kristal ... entah berapa trilyun uang yang mereka keluarkan untuk makanan mewah seperti itu.
Aku sendiri hanya pernah minum susu murni di acara pernikahan salah seorang teman Mama. Aku hanya boleh minum secicip saja karena bagaimanapun juga tubuhku sudah terbiasa dengan bahan-bahan sintetik sejak lahir, takutnya aku bakal sakit kalau terpapar makanan dan minuman murni dalam jumlah besar. Aku tahu kenapa sebotol susu murni harganya bisa sampai ratusan ribu ... rasanya sangat lezat dan tidak bisa aku lukiskan dengan kata-kata. Sekarang saja mulutku sudah berair mengingat-ingat rasa gurih dan manisnya.
Aku iri mendengar cerita orang-orang dewasa yang sempat merasakan kemewahan hidup sebelum tahun nol. Katanya, mereka bisa menikmati makanan-makanan mewah itu setiap hari (sampai bosan!) dan mereka juga tidak pernah khawatir jatuh sakit. Bahkan katanya, mereka bisa memakan daging sapi dan ayam! Bayangkan! Padahal sekarang ini hewan-hewan itu termasuk hewan-hewan yang dilindungi dan dijaga secara ketat di laboratorium karena tidak bisa hidup di lingkungan sembarangan.
Aku termasuk pengagum makhluk hidup. Sejak film animasi ‘Life Before Zero’ mulai booming, aku mulai tahu soal hewan-hewan unik di zaman sebelum tahun nol. Anjing, kucing, tikus, cicak ... film itu luar biasa sekali! Sebelumnya aku tidak bisa membayangkan melihat hewan-hewan itu dalam keadaan hidup, bukan sekedar foto di buku ensiklopedia. Aku bisa menonton film itu setiap hari dan tidak pernah bosan. Kadang aku suka berpura-pura kalau aku hidup di zaman itu, ketika anjing dan kucing liar berkeliaran, cicak merembet di dinding rumah dan tikus mengintip dari sela-sela dinding.
Sekarang di tempatku hidup, sudah tidak ada sama sekali hewan atau serangga yang bisa bertahan hidup di luar laboratorium. Walaupun aku tinggal di dasar laut, tapi aku tidak pernah melihat makhluk bernama ‘ikan’ yang dulu katanya hidup di dalam air. Kalau aku menyibakkan gorden jendela rumah, sejauh mata memandang hanya terlihat air yang berwarna biru suram, pasir kelabu, gedung-gedung bawah air yang kusam, dan sesekali ada kapal selam bermotif tentara yang lewat.
Beberapa orang dewasa yang aku kenal sering menyindir tentang betapa beruntungnya anak-anak muda sekarang ini, karena selama beberapa tahun setelah bencana besar terjadi hanya para ilmuwan yang berhak menggunakan kapal selam itu. Sempat ada suatu masa dimana para manusia betul-betul stuck di rumah bawah air mereka tanpa bisa kemana-mana. Masa itu dinamakan ‘masa kegelapan’, banyak manusia yang menjadi gila lalu bunuh diri atau mencelakakan teman mereka yang lain. Para ilmuwan sempat kewalahan menangani masalah itu, karena saat itu mereka masih setengah mati memikirkan cara bertahan hidup dengan makanan dan minuman sintetis. Beberapa ilmuwan stres, jatuh sakit dan ada yang meninggal ketika mereka memaksakan diri untuk membuat puluhan kapal selam yang kini kami gunakan sebagai alat transportasi. Manusia tidak lagi terjebak di satu tempat dan perlahan-lahan mereka mulai membangun pertokoan dan tempat hiburan.
Aku merasa beruntung, karena katanya sebentar lagi akan dibuka kebun binatang tidak jauh dari tempat tinggalku. Para ilmuwan berhasil merekonstruksi tulang-belulang binatang yang tersisa dan mereka akan memamerkannya di sana. Tidak hanya itu, katanya akan ada teater dengan film dokumenter alam bebas, juga patung fiber glass yang menyerupai hewan-hewan itu! Aku melihat iklannya di televisi dan rasanya aku bisa meledak oleh kegembiraan. Akhirnya aku akan melihat kehidupan di hutan tropis, laut dan padang rumput Afrika zaman dulu! Setelah selama ini hanya memelototi gambarnya di internet atau buku ensiklopedia tua milik Mamaku, aku bisa melihat filmnya! Aku harus datang ke acara pembukaan kebun binatang itu. Mama sudah janji akan mengantarku ke sana. Aku tidak sabar lagi! Lusa, cepatlah datang ...
Aku enggak percaya kalau beberapa jam yang lalu aku masih bersenang-senang membayangkan serunya petualanganku nanti di kebun binatang. Saat ini aku sudah enggak bisa lagi merasakan rasa gembira dan penuh harapan yang tadi sempat aku rasakan. Sekarang yang aku rasakan hanya marah, kecewa dan sedih sekali. Barusan saja, Mama berkata kalau pembukaan kebun binatang dibatalkan sampai batas waktu yang belum bisa ditentukan. Alasannya, beberapa replika binatang, tulang-tulang dan beberapa file film dokumenter hilang secara misterius. Polisi menduga hal ini ada hubungannya dengan perdagangan gelap yang belakangan ini mulai marak.
Serius ya, aku sangat, sangat marah! Para pelakunya pasti termasuk dari golongan senior kan? Mereka pasti pernah merasakan hidup di zaman penuh kemewahan sebelum bencana besar terjadi! Apa sih salahnya membiarkan orang-orang yang tidak seberuntung mereka untuk merasakan sepersekian dari apa yang pernah mereka rasakan dulu? Aaargh! Pokoknya aku kesal, kesal, kesal!
“Begitulah, Luna ...” Mama berkata dengan sedih tadi ketika melihatku marah-marah. “Rupanya sampai sekarang ini beberapa manusia memang belum bisa berubah ...”
“Apa mereka tidak puas merasakan bencana besar?!” ujarku marah. “Apa mereka mau kalau air laut di atas kita habis terkena cahaya matahari seperti ozon dulu, lalu peradaban manusia benar-benar tamat?!”
Tadinya aku menyangka Mama akan menegurku untuk tidak berbicara ngawur, tapi ternyata tidak. Mama terdiam lama, sementara aku berusaha menenangkan diri dengan menenggak sari buah sintetis yang dingin banyak-banyak. Tenggorokanku terasa sakit karena kandungan zat entah apa di dalamnya, tapi aku tetap menenggaknya untuk melampiaskan rasa marahku.
Tidak lama, aku mendengar Mama berbisik lirih. “Maafkan Mama Luna ...”
“Kenapa Mama yang minta maaf?” tanyaku. “Mama kan enggak berbuat apa-apa ...”
Tahu-tahu saja aku melihat dua butir air mata mengalir di pipi Mama. Aku kaget dan bingung melihatnya. Aku tidak tahu kenapa Mama menangis.
“Justru karena itu, Nak!” kata Mama dengan suara bergetar. “Justru karena Mama enggak berbuat apa-apa ...”
Setelah itu Mama bangkit dan masuk ke kamarnya, meninggalkan aku yang hanya bisa terpaku di ruang makan sendirian.
Tuesday, December 28, 2010
After Lunch
Keributan di sekolah mulai berangsur menyepi. Aku sudah selesai ditanyai oleh polisi dan kini tinggal menunggu Mama datang menjemputku.
Aku melirik ke kanan, beberapa orang dari berbisik-bisik sambil melirik tajam ke arahku. Aku melengos tak perduli, melirik ke kiri, ke arah kantin. Sekeliling kantin dihiasi pita, tapi bukan pita warna-warni seperti waktu ada pesta ulang tahun. Pita itu berwarna kuning bertulisan hitam: DILARANG MELINTAS, GARIS POLISI.
Keadaan kantin porak-poranda. Meja-meja terbalik, piring dan gelas bergelimpangan disana-sini. Beberapa tubuh terbungkus kain masih tergeletak, sementara lebih banyak lagi polisi yang mencegah beberapa orangtua murid yang mencoba meraih jasad anak-anak mereka sambil menjerit histeris.
Aku menoleh ke depan. Seseorang tengah menatapku. Ia mudah dikenali, karena warna lebam di pipinya begitu kontras dengan kulitnya yang putih - tidak ada anak lain di sekolah yang memiliki tanda begitu jelas di wajahnya.
Ia tersenyum, menaruh telunjuknya di bibir dan mengangguk. Aku tidak tahu apa-apa, tapi aku ikut menaruh telunjukku di bibir dan mengangguk.
Aku melirik ke kanan, beberapa orang dari berbisik-bisik sambil melirik tajam ke arahku. Aku melengos tak perduli, melirik ke kiri, ke arah kantin. Sekeliling kantin dihiasi pita, tapi bukan pita warna-warni seperti waktu ada pesta ulang tahun. Pita itu berwarna kuning bertulisan hitam: DILARANG MELINTAS, GARIS POLISI.
Keadaan kantin porak-poranda. Meja-meja terbalik, piring dan gelas bergelimpangan disana-sini. Beberapa tubuh terbungkus kain masih tergeletak, sementara lebih banyak lagi polisi yang mencegah beberapa orangtua murid yang mencoba meraih jasad anak-anak mereka sambil menjerit histeris.
Aku menoleh ke depan. Seseorang tengah menatapku. Ia mudah dikenali, karena warna lebam di pipinya begitu kontras dengan kulitnya yang putih - tidak ada anak lain di sekolah yang memiliki tanda begitu jelas di wajahnya.
Ia tersenyum, menaruh telunjuknya di bibir dan mengangguk. Aku tidak tahu apa-apa, tapi aku ikut menaruh telunjukku di bibir dan mengangguk.
Sunday, August 29, 2010
The Call
Dia baru pulang dan ketakutan ketika mendengar telepon itu berdering. Gadis yang masih mengenakan seragam putih merah itu gemetar. Kaki kurusnya seolah tidak sanggup menopang tubuhnya yang mungil. Ia meraih gagang telfon dan berbisik setenang mungkin. “Selamat siang, rumah keluarga-...”
“Joan?” suara wanita di sana memotong kata-katanya.
Joan mendeguk ludah. “Iya, Tante Erin.”
“Kenapa lama sekali sih? Sudah dari tadi Tante menelfon!” bentak Tante Erin di seberang sana.
“Maaf, Tante Erin ... tadi saya sedang membuat PR.” Jawab Joan.
“Ck! Alasan saja kamu! Mana Mbak Inem?”
“Sebentar, Tante Erin ...” Joan membawa telfon cordless itu ke ruang tengah, tempat para pembantu sedang menonton TV dengan suara pol. Jeritan seorang gadis yang sedang dijambak rambutnya sambil ditampari oleh seorang wanita berdandanan menor itu terdengar memenuhi ruangan, sementara para pembantu yang berjumlah tiga orang itu menatapi layar dengan tatapan haus.
“Mbak Inem, telfon dari Tante Erin...” kata Joan.
Mbak Inem yang berbadan subur itu melonjak bangkit dan menyambar telfon itu. Joan menundukkan kepalanya, tasnya terasa jauh lebih berat ketika ia menyeret langkahnya menjauh.
“DASAR ANAK JALANG! KELAKUANMU MACAM PELACUR!” teriak televisi itu dengan suara keras, disusul lebih banyak lagi bunyi tamparan yang menyerupai bunyi cemeti, bersahut-sahutan dengan lolongan minta ampun.
Joan merasa perutnya mulas. Ia berlari ke lantai 2, ke kamarnya, masuk ke dalam kamar mandi kamar dan mengunci pintunya.
Malamnya, Joan tidak bisa tidur. Rasa berdenyut di punggungnya akibat lima kali sabetan ikat pinggang sudah mereda sejak Mbok Isah mengolesinya dengan balsem. Kini punggungnya terasa panas terbakar, tapi lebih panas lagi perasaan di hati Joan. Ia bangkit dari tidurnya, berjalan ke arah lemari bukunya dan mengambil sesuatu dari balik kardus ensiklopedi. Sebuah boneka Barbie.
“Kamu memang wanita jalang. Kelakuanmu seperti pelacur.” Bisik Joan, mengambil sebuah cutter dan menggorok leher Barbie itu. “Mati kamu. Mati...”
“Kenapa kamu datang ke rumah? Gara-gara kamu Mami pergi dan tidak kembali. Aku mau Mamiku. Aku mau Mamiku. Pergi sana kamu ke neraka. Mati dan membusuk di sana selamanya. Kembalikan Mamiku. Mati kamu perempuan jalang. Mati.” Bisikan Joan semakin parau,rasa panas di dadanya menggelegak, ia merasakan rasa ekstasi yang begitu meluap-luap... enak sekali rasanya membaret-baret boneka seperti itu, apalagi ia membayangkan Tante Erin yang saat itu dalam genggamannya ... tergolek tanpa daya sementara ia dengan leluasa bisa menyiksanya. Gantian!
“Huhh ...” setengah jam kemudian Joan terduduk lelah. Boneka Barbie itu tetap tidak putus lehernya, tapi Joan merasa cukup puas telah menjambaki rambut pirangnya yang indah dan menyobek-nyobek baju glamornya.
Joan merasa lega ... dan ia ingin tidur lelap sampai besok pagi. Jam sudah menunjukkan pukul dua pagi, ia hanya punya waktu 4 jam lagi sebelum ia harus bangun ... mandi ... sarapan ... lalu sekolah ... PR-nya belum dikerjakan. Pasti besok ia kena marah ...
Joan menarik nafas tajam tiba-tiba, memeluk kedua lututnya. Ia teringat sesuatu... pada sepucuk surat yang sudah seminggu ia sembunyikan di dasar tasnya. Surat panggilan.
Bu Diah yang menulisnya sendiri. Ia marah karena memergoki Joan dan beberapa orang temannya kepergok men-download sebuah video di HP milik Joan. Padahal Joan tidak menonton video itu sama sekali. Teman-temannya yang berkata hendak meminjam HP Joan yang canggih. Melihat temannya tertawa cekikikan seru sambil sesekali menjerit ‘ih jorok’ Joan penasarn dan ingin ikut melihat, tapi salah seorang dari mereka menyikutnya keras. Sakit sekali karena sikutan itu tepat mengenai antara kedua dada Joan. Rasa itu kini menetap ... setelah kejadian itu terjadi.
Bu Diah tahu-tahu saja datang, merebut HP itu dan wajahnya berubah merah-ungu. “HP SIAPA INI?!” jeritnya. Takut-takut, Joan mengangkat tangan dan satu tamparan langsung mengenai samping tubuhnya. Ia diseret ke ruang KEPSEK untuk diadili. Sekolah pun memutuskan untuk memanggil kedua orangtua Joan. Bu Diah memberikan surat panggilan yang ditulisnya dalam waktu kurang dari lima menit.
“Saya mohon, Bu ... jangan panggil orangtua saya ...” rintih Joan. Tubuhnya gemetar membayangkan hukuman macam apa yang akan ia terima. Kemarin ia mendapat sabetan rotan di punggungnya karena Tante Erin menuduhnya diam-diam berpacaran. Luka-luka bekas ‘pelajaran untuk tidak bertingkah bagai pelacur’ itu masih ada sampai sekarang. Satu-satunya hal baik yang bisa Joan rasakan dari hukuman itu adalah ia bebas ikut pelajaran olah raga sampai waktu yang tidak ditentukan.
“Tidak bisa!” Bu Diah menggeleng, wajahnya angkuh. “Orangtua kamu harus tahu soal ini. Apa yang kamu lakukan itu sangat tidak bermoral! Melanggar norma suslia! Memalukan nama sekolah! Anak sekecil kamu sudah menonton video cabul ... ini harus dihentikan sebelum merusak anak-anak yang lain!”
Sia-sia Joan memohon dan meminta. Bu Diah bersikeras tetap memanggil orangtua Joan. Seminggu penuh Joan berdoa semoga Bu Diah lupa. Bu Diah itu ‘tua bangka pikun’, seperti kata teman-temannya. Karena itu siapa tahu saja Bu Diah lupa ... tapi ternyata tidak. Malah sejak 3 hari lalu Bu Diah megancam akan menelfon orangtua Joan sendiri kalau mereka tidak juga datang.
Joan gemetar hebat. Perutnya mual. Ia lari ke kamar mandi dan muntah-muntah. Setelah yang keluar dari perutnya hanya cairan pahit,tubuhnya terasa sangat lemas. Ia jatuh duduk di lantai kamar mandi, terisak-isak. “Indigo ...” bisiknya lirih. “Indigo, tolonglah aku ...”
“Sshh ... jangan takut, manis. Aku di sini ...” suara berat itu terdengar tepat di samping Joan. Joan bisa menghirup dalam-dalam wangi cengkeh yang kuat, wangi khas Indigo yang sudah sangat ia kenal. “Hei... jangan takut. Semua akan baik-baik saja. Aku janji.”
“No, it’s fucking not!” Joan menirukan kata-kata yang pernah ia dengar dari Tante Erin. “Besok mungkin Bu Diah akan benar-benar menelfon rumah, perempuan jalang itu akan memilih waktu dimana aku masih di sekolah dan ia yakin ada orang di rumah. Lalu apa yang bisa aku lakukan untuk mencegahnya? Hah? Enggak ada! Aku enggak tahu hukuman apa lagi yang akan aku terima ... mungkin oom-oom berbadan besar yang suka datang ke rumah membawa orang untuk dipukuli di gudang belakang rumah itu akan menyeretku ke sana, lalu aku akan dipukuli habis-habisan... dulu laki-laki berbadan tinggi itu saja jadi lemas seperti tikus mati... bagaimana aku? Satu injakan saja dari mereka dan aku akan mati! Aku akan mati kesakitan!”
“Manisku, semua itu tidak akan terjadi. Tidak kalau kamu menuruti apa yang akan aku katakan.” Joan merasakan tangan Indigo menyentuh rambutnya, membelainya penuh sayang. “Bu Diah tidak akan menelfon siapapun besok. Pak KEPSEK juga akan lebih sibuk dengan urusan lain.”
“Urusan apa?” potong Joan nyaris tak percaya.
“Sini, sini, aku bisikin ...” Indigo berbisik di telinga Joan.
Joan tertawa mengikik. “Indigo kamu pintar sekali!”
“Apapun untukmu, Joan-ku yang manis ...”
Satu hari berlalu, setiap telfon berdering Joan masih sering gemetar...
Dua hari berlalu, Joan masih agak tegang tapi sudah lebih mendingan ...
Tiga hari berlalu ...
Empat hari ...
Lima hari ...
Dan akhirnya satu minggu berlalu ... Joan mulai tidak lagi mendengar suara telfon itu. Ia sudah bisa tenang-tenang duduk di kamarnya membaca buku cerita atau menyayat-nyayat wajah boneka Barbie-nya. Tidak ada lagi yang perlu ia takuti.
(Tulisan di papan pengunguman sekolah)
Berita duka. Telah meninggal dunia Ibu Guru kita tercinta : IBU DIAH kemarin pukul 11.35 WIB. Hari ini kegiatan belajar/mengajar hanya sampai jam 10, setelah itu akan dilanjutkan dengan melayat ke rumah duka.
“Asik kan, Joan?” Indigo berkata sembari nyengir lebar ketika mereka berdua sedang menggambar bersama di lantai kamar Joan.
“Asik sekali Indigo! Asik sekali!” Joan mengangguk sambil tertawa senang. Tangannya yang menggenggam krayon semakin bersemangat mencoret-coret kertas gambarnya. Gambar stick figure, mengenakan rok yang berarti orang itu perempuan. Terbaring di lantai. Ada gelas pecah di sampingnya. Dari mulut gambar perempuan itu ada coretan-coretan warna hitam yang berbentuk seperti awan.
Kring ... kring ... kring ... terdengar suara telfon samar-samar dari lantai 1.
Joan menatap Indigo. Makhluk aneh berbadan pria tegap tapi berkepala kelinci itu balik menatapnya dengan jenaka, matanya dijulingkan dan bibirnya menggerak-gerakkan cangklong yang mengepulkan asap berbau tembakau.
Joan menirukan ekspresi mata juling Indigo, dan mereka berdua pun tertawa keras.
Sementara itu telfon masih terus berdering.
Tidak ada yang mau perduli.
This story is highly inspired by a short-movie ‘Doll’ by Mouly Surya. For anyone who is curious, the movie can be seen in youtube. Here’s the link: http://www.youtube.com/watch?v=7GqCVUZEnQs
“Joan?” suara wanita di sana memotong kata-katanya.
Joan mendeguk ludah. “Iya, Tante Erin.”
“Kenapa lama sekali sih? Sudah dari tadi Tante menelfon!” bentak Tante Erin di seberang sana.
“Maaf, Tante Erin ... tadi saya sedang membuat PR.” Jawab Joan.
“Ck! Alasan saja kamu! Mana Mbak Inem?”
“Sebentar, Tante Erin ...” Joan membawa telfon cordless itu ke ruang tengah, tempat para pembantu sedang menonton TV dengan suara pol. Jeritan seorang gadis yang sedang dijambak rambutnya sambil ditampari oleh seorang wanita berdandanan menor itu terdengar memenuhi ruangan, sementara para pembantu yang berjumlah tiga orang itu menatapi layar dengan tatapan haus.
“Mbak Inem, telfon dari Tante Erin...” kata Joan.
Mbak Inem yang berbadan subur itu melonjak bangkit dan menyambar telfon itu. Joan menundukkan kepalanya, tasnya terasa jauh lebih berat ketika ia menyeret langkahnya menjauh.
“DASAR ANAK JALANG! KELAKUANMU MACAM PELACUR!” teriak televisi itu dengan suara keras, disusul lebih banyak lagi bunyi tamparan yang menyerupai bunyi cemeti, bersahut-sahutan dengan lolongan minta ampun.
Joan merasa perutnya mulas. Ia berlari ke lantai 2, ke kamarnya, masuk ke dalam kamar mandi kamar dan mengunci pintunya.
Malamnya, Joan tidak bisa tidur. Rasa berdenyut di punggungnya akibat lima kali sabetan ikat pinggang sudah mereda sejak Mbok Isah mengolesinya dengan balsem. Kini punggungnya terasa panas terbakar, tapi lebih panas lagi perasaan di hati Joan. Ia bangkit dari tidurnya, berjalan ke arah lemari bukunya dan mengambil sesuatu dari balik kardus ensiklopedi. Sebuah boneka Barbie.
“Kamu memang wanita jalang. Kelakuanmu seperti pelacur.” Bisik Joan, mengambil sebuah cutter dan menggorok leher Barbie itu. “Mati kamu. Mati...”
“Kenapa kamu datang ke rumah? Gara-gara kamu Mami pergi dan tidak kembali. Aku mau Mamiku. Aku mau Mamiku. Pergi sana kamu ke neraka. Mati dan membusuk di sana selamanya. Kembalikan Mamiku. Mati kamu perempuan jalang. Mati.” Bisikan Joan semakin parau,rasa panas di dadanya menggelegak, ia merasakan rasa ekstasi yang begitu meluap-luap... enak sekali rasanya membaret-baret boneka seperti itu, apalagi ia membayangkan Tante Erin yang saat itu dalam genggamannya ... tergolek tanpa daya sementara ia dengan leluasa bisa menyiksanya. Gantian!
“Huhh ...” setengah jam kemudian Joan terduduk lelah. Boneka Barbie itu tetap tidak putus lehernya, tapi Joan merasa cukup puas telah menjambaki rambut pirangnya yang indah dan menyobek-nyobek baju glamornya.
Joan merasa lega ... dan ia ingin tidur lelap sampai besok pagi. Jam sudah menunjukkan pukul dua pagi, ia hanya punya waktu 4 jam lagi sebelum ia harus bangun ... mandi ... sarapan ... lalu sekolah ... PR-nya belum dikerjakan. Pasti besok ia kena marah ...
Joan menarik nafas tajam tiba-tiba, memeluk kedua lututnya. Ia teringat sesuatu... pada sepucuk surat yang sudah seminggu ia sembunyikan di dasar tasnya. Surat panggilan.
Bu Diah yang menulisnya sendiri. Ia marah karena memergoki Joan dan beberapa orang temannya kepergok men-download sebuah video di HP milik Joan. Padahal Joan tidak menonton video itu sama sekali. Teman-temannya yang berkata hendak meminjam HP Joan yang canggih. Melihat temannya tertawa cekikikan seru sambil sesekali menjerit ‘ih jorok’ Joan penasarn dan ingin ikut melihat, tapi salah seorang dari mereka menyikutnya keras. Sakit sekali karena sikutan itu tepat mengenai antara kedua dada Joan. Rasa itu kini menetap ... setelah kejadian itu terjadi.
Bu Diah tahu-tahu saja datang, merebut HP itu dan wajahnya berubah merah-ungu. “HP SIAPA INI?!” jeritnya. Takut-takut, Joan mengangkat tangan dan satu tamparan langsung mengenai samping tubuhnya. Ia diseret ke ruang KEPSEK untuk diadili. Sekolah pun memutuskan untuk memanggil kedua orangtua Joan. Bu Diah memberikan surat panggilan yang ditulisnya dalam waktu kurang dari lima menit.
“Saya mohon, Bu ... jangan panggil orangtua saya ...” rintih Joan. Tubuhnya gemetar membayangkan hukuman macam apa yang akan ia terima. Kemarin ia mendapat sabetan rotan di punggungnya karena Tante Erin menuduhnya diam-diam berpacaran. Luka-luka bekas ‘pelajaran untuk tidak bertingkah bagai pelacur’ itu masih ada sampai sekarang. Satu-satunya hal baik yang bisa Joan rasakan dari hukuman itu adalah ia bebas ikut pelajaran olah raga sampai waktu yang tidak ditentukan.
“Tidak bisa!” Bu Diah menggeleng, wajahnya angkuh. “Orangtua kamu harus tahu soal ini. Apa yang kamu lakukan itu sangat tidak bermoral! Melanggar norma suslia! Memalukan nama sekolah! Anak sekecil kamu sudah menonton video cabul ... ini harus dihentikan sebelum merusak anak-anak yang lain!”
Sia-sia Joan memohon dan meminta. Bu Diah bersikeras tetap memanggil orangtua Joan. Seminggu penuh Joan berdoa semoga Bu Diah lupa. Bu Diah itu ‘tua bangka pikun’, seperti kata teman-temannya. Karena itu siapa tahu saja Bu Diah lupa ... tapi ternyata tidak. Malah sejak 3 hari lalu Bu Diah megancam akan menelfon orangtua Joan sendiri kalau mereka tidak juga datang.
Joan gemetar hebat. Perutnya mual. Ia lari ke kamar mandi dan muntah-muntah. Setelah yang keluar dari perutnya hanya cairan pahit,tubuhnya terasa sangat lemas. Ia jatuh duduk di lantai kamar mandi, terisak-isak. “Indigo ...” bisiknya lirih. “Indigo, tolonglah aku ...”
“Sshh ... jangan takut, manis. Aku di sini ...” suara berat itu terdengar tepat di samping Joan. Joan bisa menghirup dalam-dalam wangi cengkeh yang kuat, wangi khas Indigo yang sudah sangat ia kenal. “Hei... jangan takut. Semua akan baik-baik saja. Aku janji.”
“No, it’s fucking not!” Joan menirukan kata-kata yang pernah ia dengar dari Tante Erin. “Besok mungkin Bu Diah akan benar-benar menelfon rumah, perempuan jalang itu akan memilih waktu dimana aku masih di sekolah dan ia yakin ada orang di rumah. Lalu apa yang bisa aku lakukan untuk mencegahnya? Hah? Enggak ada! Aku enggak tahu hukuman apa lagi yang akan aku terima ... mungkin oom-oom berbadan besar yang suka datang ke rumah membawa orang untuk dipukuli di gudang belakang rumah itu akan menyeretku ke sana, lalu aku akan dipukuli habis-habisan... dulu laki-laki berbadan tinggi itu saja jadi lemas seperti tikus mati... bagaimana aku? Satu injakan saja dari mereka dan aku akan mati! Aku akan mati kesakitan!”
“Manisku, semua itu tidak akan terjadi. Tidak kalau kamu menuruti apa yang akan aku katakan.” Joan merasakan tangan Indigo menyentuh rambutnya, membelainya penuh sayang. “Bu Diah tidak akan menelfon siapapun besok. Pak KEPSEK juga akan lebih sibuk dengan urusan lain.”
“Urusan apa?” potong Joan nyaris tak percaya.
“Sini, sini, aku bisikin ...” Indigo berbisik di telinga Joan.
Joan tertawa mengikik. “Indigo kamu pintar sekali!”
“Apapun untukmu, Joan-ku yang manis ...”
Satu hari berlalu, setiap telfon berdering Joan masih sering gemetar...
Dua hari berlalu, Joan masih agak tegang tapi sudah lebih mendingan ...
Tiga hari berlalu ...
Empat hari ...
Lima hari ...
Dan akhirnya satu minggu berlalu ... Joan mulai tidak lagi mendengar suara telfon itu. Ia sudah bisa tenang-tenang duduk di kamarnya membaca buku cerita atau menyayat-nyayat wajah boneka Barbie-nya. Tidak ada lagi yang perlu ia takuti.
(Tulisan di papan pengunguman sekolah)
Berita duka. Telah meninggal dunia Ibu Guru kita tercinta : IBU DIAH kemarin pukul 11.35 WIB. Hari ini kegiatan belajar/mengajar hanya sampai jam 10, setelah itu akan dilanjutkan dengan melayat ke rumah duka.
“Asik kan, Joan?” Indigo berkata sembari nyengir lebar ketika mereka berdua sedang menggambar bersama di lantai kamar Joan.
“Asik sekali Indigo! Asik sekali!” Joan mengangguk sambil tertawa senang. Tangannya yang menggenggam krayon semakin bersemangat mencoret-coret kertas gambarnya. Gambar stick figure, mengenakan rok yang berarti orang itu perempuan. Terbaring di lantai. Ada gelas pecah di sampingnya. Dari mulut gambar perempuan itu ada coretan-coretan warna hitam yang berbentuk seperti awan.
Kring ... kring ... kring ... terdengar suara telfon samar-samar dari lantai 1.
Joan menatap Indigo. Makhluk aneh berbadan pria tegap tapi berkepala kelinci itu balik menatapnya dengan jenaka, matanya dijulingkan dan bibirnya menggerak-gerakkan cangklong yang mengepulkan asap berbau tembakau.
Joan menirukan ekspresi mata juling Indigo, dan mereka berdua pun tertawa keras.
Sementara itu telfon masih terus berdering.
Tidak ada yang mau perduli.
This story is highly inspired by a short-movie ‘Doll’ by Mouly Surya. For anyone who is curious, the movie can be seen in youtube. Here’s the link: http://www.youtube.com/watch?v=7GqCVUZEnQs
The Choice is Yours ...
Gelap. Bau apak. Kepalaku pusing. Tiga hal itu yang mendominasi semua inderaku ketika aku mulai mengembalikan kesadaranku. Aku tersadar aku sedang berada di sebuah gudang tua. Kedua tanganku terikat di belakang punggung. Apa yang terjadi? Aku mencoba mengingat-ingat disela-sela denyutan nyeri yang terasa di kepalaku.
Ah iya ... aku mendadak terkekeh geli. Aku ingat, aku sedang melakukan ‘kop-dar’ dengan seorang temanku di dunia maya. Ia mengajakku ke sebuah kafe yang belum pernah kukunjungi sebelumnya. Tidak ada orangtua, jangan bilang-bilang Mama kamu ya ... itu katanya, aku ingin kita hanya berdua saja. Biar lebih romantis. Oke. Romantis. Lalu ... setelah itu aku minum ... atau makan sesuatu? Dan kemudian tahu-tahu saja aku sudah berada di sini.
“Sudah sadar, cantikku?”
Di depanku ada sepasang kaki. Aku tidak perlu mendongak untuk mengkonfirmasi siapa orang yang ada di hadapanku ini. Dia.
“Martin ...” gumamku. Kalau itu memang namamu! Aku melirik ke arah jendela, tubuhku gemetaran saat melihat langit yang gelap gulita. Sudah tengah malamkah ini? Sial. Sudah berapa lama aku pingsan?
“Loe itu cantik-cantik tapi tolol ya!” ia terkekeh. “Dan sekarang loe akan membayar mahal atas ketololan loe itu.”
“Martin, loe enggak perlu melakukan ini.” Kataku.
Jdaaakkk!! Kakinya menendang perutku.
Shit. Tendangan tadi keras juga. Punggungku ikut terasa nyeri karena tubuhku terpental dan menabrak dinding di belakangku. Martin kemudian berjongkok di depanku, tangannya menjambak rambutku dan memaksaku mendongak menatap wajahnya.
“Itu adalah apa yang akan loe terima kalau loe bicara tanpa ijin gue.” Desisnya. Matanya menyala-nyala liar. “Di sini, gue yang menentukan semuanya, termasuk apa loe masih boleh hidup atau tidak. Oke?!!”
Orang ini sakit jiwa, pikirku. Yeah, obviously ... apa sih yang aku harapkan dari seseorang yang begitu banyak mengumbar kata-kata manis penuh rayuan, mulai dari yang wajar sampai yang begitu intim, di setiap pertemuan di dunia maya? Aku ingat kata-katanya kemarin, ketika aku curhat soal Mama yang sepertinya tidak mengertiku sama sekali.
“Suatu saat nanti gue akan membawa loe pergi dari dunia loe yang menyebalkan itu. Percayalah sama gue, sayang ... gue bakal menjauhkan loe dari semua hal-hal brengsek di sekitar loe. Gue akan membawa loe ke suatu dunia yang enggak pernah loe bayangin sebelumnya, dimana hanya ada gue dan elo. Loe hanya butuh gue, sayang ... percaya sama gue, loe enggak butuh orang lain.”
“Elo itu milik gue. Gue harap loe tau itu. Gue enggak suka melihat comment orang lain di account facebook loe. Apalagi ngeliat foto loe sama orang lain. Semua itu menyakiti gue, tau! Gue cuma mau loe itu milik gue seorang. Enggak ada urusan lagi sama orang lain.”
Dan kenapa aku masih mau kop-dar dengannya ya? Hahahaha ...
“LOE DENGER APA ENGGAK?!! Jawab gue, sialan!!” Martin berteriak lagi, sekali ini tangannya bergerak menampar wajahku.
“Loe masih punya kesempatan untuk melepaskan gue. Gue enggak akan bilang ke siapa-siapa.” Kataku setelah meludahkan darah yang mengucur keluar dari mulut. “Gue janji.”
“Diam!!” tangannya bergerak lagi meninju wajahku sampai aku terpelanting ke belakang. “Diam!! Diam!! Diam!!” ia terus berteriak, menendang dan menginjak-injakku. Tubuhku tersentak beberapa kali terkena serangannya. Nafasku terkesiap beberapa kali ketika kakinya menendang perutku. Setelah ia lelah, ia berbalik dan sambil berteriak keras melemparkan sebuah kursi ke dinding.
Hening. Hanya terdengar deru nafasnya yang liar. “Gue akan membiarkan loe di sana sementara waktu dan ketika gue kembali, gue harap loe bakal bersikap lebih kooperatif ... kalau loe masih menolak ... gue bakal liat berapa lama loe bisa bertahan ... sial ... kenapa cewek-cewek brengsek itu keras kepala banget sih? Mereka kira diri mereka itu siapa? Gue tuan mereka. Mereka harus nurut sama gue.”
Aku melirik ke jendela. Perlahan-lahan awan gelap mulai bergerak ditiup angin malam. Bayangan bulan purnama mulai nampak.
“Ini udah yang ke ... ke berapa ya? Hahahahaha ... gue bahkan enggak mau ngitung berapa banyak cewek-cewek brengsek yang pernah gue ... hahahahaha ... maka, bekerjasamalah, manisku ... loe tentu enggak mau masuk daftar orang hilang untuk selamanya, kan? Maka saat gue kembali nanti, gue harap loe udah jadi budak gue yang baik ...”
Tubuhku gemetaran hebat. Aku menyeringai. “Tentu saja, sayang. Tapi sebelumnya ...”
Dalam satu sentakkan aku melepaskan pengikat yang mengikat pergelangan tanganku. Aku melompat dan berdiri tegak di hadapan Martin sambil meraung keras. Aku menyaksikan wajah Martin yang tadinya dipenuhi amarah liar, berubah pucat pasi ketika aku berubah dari sosok gadis ringkih berpakain sobek-sobek menjadi makhluk raksasa yang tingginya nyaris menyentuh langit-langit. Kesepuluh jemariku melengkung, menunjukkan cakar-cakar setajam pisau yang panjangnya nyaris mencapai 10 sentimeter. Dari mulut yang lebih tepat kusebut moncong, aku mengeluarkan raungan liar yang menggetarkan seisi ruangan.
“Aaaaaaa!!!” ia berteriak sambil melemparkan sebuah bangku, dengan mudah aku menepisnya seakan-akan bangku itu terbuat dari styrofoam. Ia mencoba memukulku dengan batangan besi. Menikamku dengan potongan kayu berujung tajam. Semuanya sia-sia. Aku melompat maju dan menepiskan tubuhnya dalam satu hantaman. Ia menabrak dinding gudang dan sebelum ia mencoba berdiri, aku mencengkeram lehernya dengan sebelah tangan dan mengangkat tubuhnya. Kakinya menendang-nendang.
“Aku tidak akan menyia-nyiakan tenagaku kalau aku jadi kamu ...” geramku sambil menunjukkan sederetan gigi-gigi tajam.
“Inilah masalahku yang sebenarnya, sayangku!” aku terbahak. “Mamaku tidak suka dengan hobiku ini... ia takut kalau aku akan membuka rahasia klan kami suatu hari nanti... hahaha ... ia tidak merasakan nikmatnya melihat bagaimana si pemburu menjadi yang diburu dalam hitungan detik. “ aku menatap tajam ke wajah Martin. Ahh ... itu dia ... lihat aku dengan matamu yang penuh ketakutan itu. Sadarlah: aku yang berkuasa di sini sekarang. Aku mengalahkanmu! Ha-ha! Beat you to it!
Aku menjatuhkan tubuhnya ke lantai. “Tadi gue sudah ngasih loe pilihan kan? Loe bisa aja melepaskan gue. Gue udah tau kalau loe yang menguasai keadaani. Cukup itu aja kan sebenarnya eh? Loe udah merasa berkuasa tadi. Tapi enggak ... loe terlalu rakus dan rakus itu adalah hal yang membahayakan diri loe sendiri.”
Aku terkekeh melihatnya merayap di lantai menjauhiku. Tangannya mencakar-cakar lantai kayu, menuju pintu. “Sekarang gue bakal ngasih loe kesempatan kedua.” Geramku. “Pilihannya ada di tangan loe. Baik sekali ya, gue ini ... enggak semua orang mau ngasih kesempatan kedua ...”
Ia membuka pintu dan berlari keluar sambil berteriak-teriak keras. “Tolong! Tolong aku!!”
Aku tertawa keras. Sepertinya ia sudah lupa alasannya memilih tempat ini untuk menculikku. Mau berteriak sekeras apapun, tidak akan ada yang mendengar. Tidak ada yang akan datang untuk menolong.
“Tu-wa-ga-pat-ma-nam-ju-pan-lan-luh!” gumamku pada diri sendiri, lalu mengambil ancang-ancang menerjang keluar dari sana. “READY OR NOT, HERE I COME!!!”
Ah iya ... aku mendadak terkekeh geli. Aku ingat, aku sedang melakukan ‘kop-dar’ dengan seorang temanku di dunia maya. Ia mengajakku ke sebuah kafe yang belum pernah kukunjungi sebelumnya. Tidak ada orangtua, jangan bilang-bilang Mama kamu ya ... itu katanya, aku ingin kita hanya berdua saja. Biar lebih romantis. Oke. Romantis. Lalu ... setelah itu aku minum ... atau makan sesuatu? Dan kemudian tahu-tahu saja aku sudah berada di sini.
“Sudah sadar, cantikku?”
Di depanku ada sepasang kaki. Aku tidak perlu mendongak untuk mengkonfirmasi siapa orang yang ada di hadapanku ini. Dia.
“Martin ...” gumamku. Kalau itu memang namamu! Aku melirik ke arah jendela, tubuhku gemetaran saat melihat langit yang gelap gulita. Sudah tengah malamkah ini? Sial. Sudah berapa lama aku pingsan?
“Loe itu cantik-cantik tapi tolol ya!” ia terkekeh. “Dan sekarang loe akan membayar mahal atas ketololan loe itu.”
“Martin, loe enggak perlu melakukan ini.” Kataku.
Jdaaakkk!! Kakinya menendang perutku.
Shit. Tendangan tadi keras juga. Punggungku ikut terasa nyeri karena tubuhku terpental dan menabrak dinding di belakangku. Martin kemudian berjongkok di depanku, tangannya menjambak rambutku dan memaksaku mendongak menatap wajahnya.
“Itu adalah apa yang akan loe terima kalau loe bicara tanpa ijin gue.” Desisnya. Matanya menyala-nyala liar. “Di sini, gue yang menentukan semuanya, termasuk apa loe masih boleh hidup atau tidak. Oke?!!”
Orang ini sakit jiwa, pikirku. Yeah, obviously ... apa sih yang aku harapkan dari seseorang yang begitu banyak mengumbar kata-kata manis penuh rayuan, mulai dari yang wajar sampai yang begitu intim, di setiap pertemuan di dunia maya? Aku ingat kata-katanya kemarin, ketika aku curhat soal Mama yang sepertinya tidak mengertiku sama sekali.
“Suatu saat nanti gue akan membawa loe pergi dari dunia loe yang menyebalkan itu. Percayalah sama gue, sayang ... gue bakal menjauhkan loe dari semua hal-hal brengsek di sekitar loe. Gue akan membawa loe ke suatu dunia yang enggak pernah loe bayangin sebelumnya, dimana hanya ada gue dan elo. Loe hanya butuh gue, sayang ... percaya sama gue, loe enggak butuh orang lain.”
“Elo itu milik gue. Gue harap loe tau itu. Gue enggak suka melihat comment orang lain di account facebook loe. Apalagi ngeliat foto loe sama orang lain. Semua itu menyakiti gue, tau! Gue cuma mau loe itu milik gue seorang. Enggak ada urusan lagi sama orang lain.”
Dan kenapa aku masih mau kop-dar dengannya ya? Hahahaha ...
“LOE DENGER APA ENGGAK?!! Jawab gue, sialan!!” Martin berteriak lagi, sekali ini tangannya bergerak menampar wajahku.
“Loe masih punya kesempatan untuk melepaskan gue. Gue enggak akan bilang ke siapa-siapa.” Kataku setelah meludahkan darah yang mengucur keluar dari mulut. “Gue janji.”
“Diam!!” tangannya bergerak lagi meninju wajahku sampai aku terpelanting ke belakang. “Diam!! Diam!! Diam!!” ia terus berteriak, menendang dan menginjak-injakku. Tubuhku tersentak beberapa kali terkena serangannya. Nafasku terkesiap beberapa kali ketika kakinya menendang perutku. Setelah ia lelah, ia berbalik dan sambil berteriak keras melemparkan sebuah kursi ke dinding.
Hening. Hanya terdengar deru nafasnya yang liar. “Gue akan membiarkan loe di sana sementara waktu dan ketika gue kembali, gue harap loe bakal bersikap lebih kooperatif ... kalau loe masih menolak ... gue bakal liat berapa lama loe bisa bertahan ... sial ... kenapa cewek-cewek brengsek itu keras kepala banget sih? Mereka kira diri mereka itu siapa? Gue tuan mereka. Mereka harus nurut sama gue.”
Aku melirik ke jendela. Perlahan-lahan awan gelap mulai bergerak ditiup angin malam. Bayangan bulan purnama mulai nampak.
“Ini udah yang ke ... ke berapa ya? Hahahahaha ... gue bahkan enggak mau ngitung berapa banyak cewek-cewek brengsek yang pernah gue ... hahahahaha ... maka, bekerjasamalah, manisku ... loe tentu enggak mau masuk daftar orang hilang untuk selamanya, kan? Maka saat gue kembali nanti, gue harap loe udah jadi budak gue yang baik ...”
Tubuhku gemetaran hebat. Aku menyeringai. “Tentu saja, sayang. Tapi sebelumnya ...”
Dalam satu sentakkan aku melepaskan pengikat yang mengikat pergelangan tanganku. Aku melompat dan berdiri tegak di hadapan Martin sambil meraung keras. Aku menyaksikan wajah Martin yang tadinya dipenuhi amarah liar, berubah pucat pasi ketika aku berubah dari sosok gadis ringkih berpakain sobek-sobek menjadi makhluk raksasa yang tingginya nyaris menyentuh langit-langit. Kesepuluh jemariku melengkung, menunjukkan cakar-cakar setajam pisau yang panjangnya nyaris mencapai 10 sentimeter. Dari mulut yang lebih tepat kusebut moncong, aku mengeluarkan raungan liar yang menggetarkan seisi ruangan.
“Aaaaaaa!!!” ia berteriak sambil melemparkan sebuah bangku, dengan mudah aku menepisnya seakan-akan bangku itu terbuat dari styrofoam. Ia mencoba memukulku dengan batangan besi. Menikamku dengan potongan kayu berujung tajam. Semuanya sia-sia. Aku melompat maju dan menepiskan tubuhnya dalam satu hantaman. Ia menabrak dinding gudang dan sebelum ia mencoba berdiri, aku mencengkeram lehernya dengan sebelah tangan dan mengangkat tubuhnya. Kakinya menendang-nendang.
“Aku tidak akan menyia-nyiakan tenagaku kalau aku jadi kamu ...” geramku sambil menunjukkan sederetan gigi-gigi tajam.
“Inilah masalahku yang sebenarnya, sayangku!” aku terbahak. “Mamaku tidak suka dengan hobiku ini... ia takut kalau aku akan membuka rahasia klan kami suatu hari nanti... hahaha ... ia tidak merasakan nikmatnya melihat bagaimana si pemburu menjadi yang diburu dalam hitungan detik. “ aku menatap tajam ke wajah Martin. Ahh ... itu dia ... lihat aku dengan matamu yang penuh ketakutan itu. Sadarlah: aku yang berkuasa di sini sekarang. Aku mengalahkanmu! Ha-ha! Beat you to it!
Aku menjatuhkan tubuhnya ke lantai. “Tadi gue sudah ngasih loe pilihan kan? Loe bisa aja melepaskan gue. Gue udah tau kalau loe yang menguasai keadaani. Cukup itu aja kan sebenarnya eh? Loe udah merasa berkuasa tadi. Tapi enggak ... loe terlalu rakus dan rakus itu adalah hal yang membahayakan diri loe sendiri.”
Aku terkekeh melihatnya merayap di lantai menjauhiku. Tangannya mencakar-cakar lantai kayu, menuju pintu. “Sekarang gue bakal ngasih loe kesempatan kedua.” Geramku. “Pilihannya ada di tangan loe. Baik sekali ya, gue ini ... enggak semua orang mau ngasih kesempatan kedua ...”
Ia membuka pintu dan berlari keluar sambil berteriak-teriak keras. “Tolong! Tolong aku!!”
Aku tertawa keras. Sepertinya ia sudah lupa alasannya memilih tempat ini untuk menculikku. Mau berteriak sekeras apapun, tidak akan ada yang mendengar. Tidak ada yang akan datang untuk menolong.
“Tu-wa-ga-pat-ma-nam-ju-pan-lan-luh!” gumamku pada diri sendiri, lalu mengambil ancang-ancang menerjang keluar dari sana. “READY OR NOT, HERE I COME!!!”
Subscribe to:
Posts (Atom)